Monday, November 18, 2013

MEDIA PERSPEKTIF FEMINIS

 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki dihadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.[1]
Menurut teori feminis, perspektif feminis tentang media dan masyarakat tertarik kepada bagaimana media mengonstruksi pandangan-pandangan tentang perempuan.[2] Pandangan ini melihat banyaknya kesenjangan antara kaum laki-laki dan perempuan, seperti objektifikasi perempuan, proporsi perempuan dalam organisasi media serta perempuan dalam pemberitaan media.
Selama ini perempuan adalah obyek utama dari media, hal ini dapat diamati dari iklan-iklan produk-produk kecantikan maupun acara lain yang mengetengahkan perempuan sebagai obyeknya. Tidak ada yang salah dengan media, namun bagaimana peran media dalam mengedukasi masyarakat adalah suatu hal yang patut dicermati. Malalui medialah masyarakat mengetahui banyak informasi. Membahas menganai perempuan, bisa dilihat fenomena saat ini ketika perempuan banyak termakan oleh iklan-iklan kecantikan yang banyak membuat kaum hawa justru ingin meniru orang lain (merubah kondisi fisik misalnya ingin terlihat lebih putih dan lainnya).
Ketika terjadi kasus tindak pidana yang melibatkan perempuan misalanya, terkadang yang dibahas bukanlah kasusnya secara lebih detail, namun terkadang lebih menonjolkan sisi keperempuannya misalnya lebih dibahas mengenai tersangkanya yang merupakan perempuan yang cantik, seksi ataupun mengenai pakaian yang sedang digunakan. Hal ini yang terkadang diekspose oleh media dari seorang perempuan yang justru menutupi masalah-masalah krusial yang seharusnya lebih dapat dijadikan edukasi bagi masyarakat.[3]
Rach Alia dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), telah melakukan penelitian tentang bagaimana perempuan digambarkan di sejumlah media nasional (Indo Pos, Kompas, Warta Kota, Republika, Suara Pembaruan, Koran Tempo dan Media Indonesia) periode Juli-Agustus 2010. Hasil penelitian tersebut ditemukan masih banyak berita dengan kategori kekerasan terhadap perempuan yang mendominasi berita dalam 7 koran tersebut.
Sementara pemberitaan mengenai kiprah perempuan masih kurang. Penggunakaan bahasa juga menjadi perhatian dalam penelitian itu, karena misalnya pemberitaan kasus-kasus permerkosaan, atau korupsi yang dituduhkan kepada perempuan cenderung menggunakan pelabelan pada korban atau pelaku (yang notabenenya seorang perempuan). Sehingga menciptakan stigma dan praduga di masyarakat.
Dengan lahirnya stigma “miring” terhadap perempuan secara langsung maupun tidak berdampak pada aktivitas perempuan di ruang publik, sehingga lahirlah kebijakan-kebijakan berbasis agama yang membatasi ruang gerak perempuan di tengah-tengah masyarakat. Dampaknya ketika terjadi kejahatan terhadap perempuan baik sebagai korban maupun pelaku ada kecenderungan yang melahirkan stigmatisasi dan pengecapan bahwa perempuan itu bukan orang “baik-baik”. Semua itu tidak bisa dilepaskan karena kurangnya kesadaran gender dari para penulis berita maupun pengambil kebijakan di media dan juga kurang pemahaman dan pengawasan pelaksanaan kode etik jurnalistik itu sendiri..[4]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang sebelunya, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
1. Bagaimana sejarah dan aliran feminis?
2. Bagaimana media dalam perspektif feminis?

C. Manfaat Pembahasan
Secara umum pembahasan media dan perspektif feminis dalam makalah ini berguna untuk memberikan informasi kepada kita semua tentang posisi atau derajat perempuan di mata media sedangakan secara khusus mengajak kaum perempuan untuk lebih menghargai diri agar tidak menyuburkan stereotype bahwa perempuan hanyalah makhluk lemah.




BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Aliran Feminisme
Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" (The Subjection of Women) pada tahun (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Pergerakan di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik. Pada tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul "Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right of Woman) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktik perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan, diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak pilih. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).[5]
Gerakan yang bertujuan agar wanita mandiri, tak bergantung pada pria dan memberontak pada dominasi pria juga terjadi di Amerika Serikat. Gerakan ini disebut Women’s Lib yang dimulai sejak 1960-an (Deddy Mulyana, 2011: 44). Sedangkan di Indonesia dikenal nama R.A Kartini sebagai pahlawan yang memperjuangkan emansipasi wanita.
Seiring dengan perkembangan gerakan ini maka akhirnya feminisme dapat dikelompokkan dalam beberapa aliran[6], diantaranya sebagai berikut:

a. Feminisme Liberal

Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah terdapat pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.

b. Feminisme Marxis

Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.

c. Feminisme sosialis

Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini hendak mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

B. Media dari Perspektif Feminis
1. Perempuan Sebagai Objektifikasi Media
Sejak awalnya kegiatan jurnalistik baik cetak maupun elektronik selalu didominasi pria. Beberapa pakar menyebut jurnalistik ini sebgai jurnailistik maskulin yang menggunakan pandangan dan subjektivitas pria untuk meneropong wanita. Pantaslah bila sampul majalah-majalah umum, sering dihiasi dengan gambar wanita. Banyak produk atau jasa yang diiklankan seperti, motor, mobil, dan celana jins dalam majalah dan surat kabar juga dihiasai dengan sosok wanita cantik yang berpenampilan minim. Nilai mereka direduksi menjadi sebatas makhluk biologis semata. Menurut perkiraan, 90 persen periklanan memanfaatkan wanita sebagai model iklannya (Deddy Mulyana, 2008: 81).
Para penulis feminis secara kritis menganalisis media yang menayangkan tubuh perempuan dalam masyarakat Barat patriarki. Sebuah sisi penting argument feminis adalah bahwa media telah berperan dalam objektifikasi tubuh kaum wanita; tubuh wanita dalam pertunjukan; kaum wanita wajib menjadikan tubuh mereka sebagai pertunjukan yang memadai dan diterima; sebagai objek yang eksternal bagi mereka. Beberapa penulis mengalihkan perhatian mereka kepada tubuh perempuan yang lebih kurus yang digambarkan media, yang mencerminkan perubahan pada persepsi tentang bobot ideal biomedis bagi kaum wanita. Standar demikian telah telah diinterpretasikan sebagai mencerminkan penindasan atas kaum wanita yang menonjolkan citra cultural yang tidak realistik tentang kecantikan.
            Lebih jauh banyak feminis yang menganut pendapat mengenai adanya hubungan antara citra media tentang tubuh perempuan yang langsing dan perkembangan kebiasaan buruk makan seperti anoreksia nervosa (Chermin, dkk dalam Alison Shaw, 2007: 311).
Saat ini ketika karya-karya seni kreatif seperti iklan menjadi konsumsi masyarakat dalam berbagai media massa, posisi perempuan ini menjadi sangat potensial untuk dikomersialkan dan dieksploitasi, karena posisi perempuan menjadi sumber inspirasi dan juga tambang uang yang tak habis-habisnya. Permasalahan seperti ini bukan saja terjadi di Indonesia, melainkan juga di negara lain. Bahkan juga di negara-negara Barat yang banyak dihuni para feminis bersuara lantang. Ini kareena iklan, bagaimanapun adalah sebuah produk industri yang berwajah kapitalis. Dan kapitalisme, mana peduli dengan isu kesetaraan gender. (Astuti, 2004: 316)
Eksploitasi peremuan dalam pencitraan media massa tidak saja karena kerelaan perempuan, namun juga karena kebutuhan kelas sosial itu sendiri, sehingga mau ataupun tidak kehadiran perempun menjadi sebuah kebutuhan dalam kelas sosial tersebut. Sayangya kehadiran perempuan dalam kelas sosial itu, masih menjadi bagian dari refleksi realitas sosial masyarakatnya, bahwa perempuan selalu menjadi subordinat kebudayaan laki-laki (Burhan Bungin, 2006: 342)
Fakta ini muncul sebagai sebuah ketidakadilan yang menerpa kaum perempuan. Lambat laun fenomena ini akan menjadi sebuah pembodohan ketika semua perempuan berpendapat bahwa gambar apapun yang Anda lihat melalui media pada dasarnya memberi pesan kepada Anda bahwa seharusnya Anda terlihat seperti itu (Alison Shaw, 2007: 317). Keadaan ini dapat pula dikategorikan sebagai aplikasi teori agenda setting. Dimana media dapat menentukan content apa saja yang akan disajikan kepada audience wanita sebagai penonton televisi terbanyak dan “merayu” nya untuk menjadi konsumen atas semua iklan yang ditayangkan.
Seksploitation merupakan sebutan dari kaum feminis yang menunjukkan betapa tidak adilnya kalangan media karena mengeksploitasi perempuan dengan menginjak-nginjak martabatnya, demi menaikkan tiras surat kabar atau majalah. Dalam hal ini sangat jelas bahwa perempuan dieksploitasi untuk kepentingan komersil. Kalangan media cetak selalu membela diri, dengan menyatakan bahwa pembaca mau membacanya, dan kalangan perempuan sendiri senang pula membaca berita-berita tentang kaumnya.
Perempuan sebagai objek media massa merupakan kenyataan ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam masyarakat. Akar ketidakadilan gender berkaitan dengan budaya patriarki, sebagaimana pemahaman feminisme sosialis. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa laki-laki menjadi subjek dengan kekuatannya, dan perempuan sebagai objek yang lemah dan dipojokkan.[7] Para penganut feminis sangat keberatan dengan hal ini. Namun inilah yang terjadi dan mayoritas kaum perempuan entah sadar atau tidak turut dalam arus pemikiran tersebut. Mereka seolah-olah tunduk pada doktrin media.       
2. Proporsi Perempuan Dalam Organisasi Media
Selain sebagai objek atau “sasaran empuk” pelaku media terutama iklan yang menjadikan perempuan sebagai tokoh utama, ketidakadilan juga muncul pada struktur organisasi media. Ada ketidaksamaan frekuensi atas porsi kehadiran perempuan dalam organisasi media. Di televisi, contohnya lebih banyak menghadirkan peran laki-laki daripada perempuan dan laki laki dimunculkan lebih sering sebagai peran pemimpin (Fejes, 1992). Hanya 12 persen dari penyebaran video MTV pada 1984 satu perempuan sebagai pemimpin (Brown and Campbell, 1986).
Kontrol atas ciptaan dan penghasilan dari citra media juga hanya sampai peran laki-laki. Pertimbangkan media massa. Pada awal 1990 hanya sepertiga saja dari kekuatan kerja jurnalistik diisi oleh wanita. Bagaimanapun level atas dari media perusahaan utama organisasi adalah hampir seluruhnya laki-laki. Sebagai tambahan, wanita menduduki hanyalah 25 persen manajemen tengah dan 6 persen manajemen koran pada posisi teratas. Pada 1994, perempuan menduduki posisi direktur dari surat kabar hanya pada 20,6 persen. Pada 1995, penulis perempuan hanyalah 19 persen untuk cerita halaman depan di koran dan koresponden perempuan hanyalah 20. Penunjukan Hollywood, antara lain menurut sejarah adalah jarang perempuan sebagai direktur (Croteau dan Hoynes, 1997: 147-148).
Seperti juga jumlah karyawan pria yang yang mengelola penerbitan surat kabar atau majalah, jumlah karyawan pria yang mengelola siaran televisi jauh lebih banyak daripada karyawan wanitanya. Bahkan bila terdapat karyawan wanita mereka tidak memegang posisi-posisi kunci yang menentukan kebijakan penerbitan atau penyiaran. Padahal jumlah wanita di seluruh dunia juga di Indonesia, konon lebih besar daripada jumlah pria (Deddy Mulyana, 2008: 81).
Hadirnya seorang perempuan di belakang televisi, masuk dalam proses produksi diharapkan mampu berperanan dan mewarnai penokohan dan kesetaraan perempuan dalam media televisi. Bahkan tidak sekedar memaknai tuntutan emansipasi dan kesetaraan gender belaka, namun juga sikapnya sebagai seorang feminis (Soemandoyo, 1999: 160)
Apabila ditelusuri maka kekuasaan menjadi unsur yang menghubungkan setiap pemikiran feminis tersebut. Utamanya pada pemikiran feminisme marxis yamg menggap dominasi kekuasaan laki-laki yang menjadi sumber ketidakadilan. Kekuasaan dapat menghubungkan dominasi dan subordinasi, dapat juga menjadi sumber, dan juga dapat menjadi pemberdayaan atau transformasi. Feminis mempelajari cara kekuasaan digunakan oleh pria untuk mendominasi wanita dan cara wanita menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi wanita lain berdasarkan usia, kelas, ras, dan sebagainya. Jika dilihat dari teori komunikasi sender-reciever model, feminsime dapat menjelaskan hubungan kekuasaan yang ada.
Sehingga teori komunikasi feminis menganggap jika seseorang yang berada di pusat komunikasi memiliki kekuasaan terhadap massa, maka dia mempunyai andil dalam memutuskan apakah informasi akan dikirimkan seutuhnya atau tidak oleh sender kepada receiver. Seperti dalam struktur newsroom tradisional dimana konten dikategorikan berdasarkan genre konten yang ditulis masyarakat, politi, kesehatan, olahraga, dan sebagainya. Teori feminis beranggapan bahwa batasan yang ada harusnya lebih cair yang memungkinkan banyaknya suara partisipan dan pengalaman yang terlibat sehingga semakin banyak pilihan yang ada.[8]
            Semua aliran feminisme menuntut adanya kesederajatan antara laki-laki dan perempuan. Termasuk dalam hal pekerjaan. Feminis marxisme melihat adanya dominasi kontrol produksi oleh laki-laki sehingga dianggap tidak adil oleh mereka. Sedangkan Feminis liberal menganggap bahwa perempuan dan laki-laki, sebagai makhluk rasional, pada dasarnya sama, meskipun penampilan luar mereka berbeda dan karena itu struktur hierarkis bahwa pria terpisah dan perempuan berdasarkan sifat fisik mereka harus diganti dengan meritokrasi yang adil dan setara.
3. Perempuan Dalam Pemberitaan Media
            Secara global struktur muatan pemberitaan media massa pada umumnya belum secara seimbang merespons kepentingan perempuan. Pemberitaan media massa umumnya memberitakan ruang publik laki-laki. Mulai persoalan negara, politik, militer, olahraga, pemerintahan lokal, sampai dengan berbagai wacana publik laki-laki lainnya. Namun ketika ada pemberitaan masalah perempuan, sorotan menjadi domestik, seperti keterampilan rumah tangga, pengasuhan anak, kosmetika dan kecantikan, terkecuali ketika ada tokoh publik perempuan, baru kemudian menjadi berita utama, itupun terkesan tidak menjadi agenda setting media pada hari itu, karena berita utama tersebut tidak diikuti oleh pemberitan atau tulisan-tulisan lain di bagian lain pemberitaan hari itu. (Burhan Bungin, 2006: 344)
Pemberitaan tentang perempuan di media massa masih menonjolkan peran perempuan di ranah domestik daripada ranah publik. Selain itu, citra perempuan yang ditampilkan oleh media massa pun masih klise, dimana peran perempuan sebagai ibu dan istri saja. Sehingga melahirkan kostruksi sosial secara tidak langsung bahwa perempuan tidak mungkin melakukan kejahatan atau melanggar norma yang berlaku.
Padahal Deklarasi Beijing menyebutkan bahwa gambaran perempuan di media harus seimbang dan tidak klise. Tetapi media di negara kita menampilan citra perempuan sebagian besar cenderung stereotip, bahkan masih diskriminatif, sangat jarang kita menemukan tulisan yang mengeksplorasi kiprah perempuan secara seimbang.[9]
C. Problem Solving
Gender merupakan pelabelan yang pada kenyataannya bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah apabila tidak ada pemberitaan yang menjadikan perempuan sebagai objek yang dieksploitasi. Menurut salah satu wartawan, Ana Nadhya Abrar, Indonesia lebih memiliki sensitifities gender dalam memahami masalah yang dihadapi perempuan. Citra perempuan dalam pandangan pers Indonesia masih rendah, karena kebijakan keredaksian yang ternyata terkalahkan oleh kebijakan pemasaran yaitu segmentasi, konstribusi iklan dan keinginan pembaca.[10]
Kondisi ini juga menjadi salah satu kasus yang dihadapi kaum feminis dan tentu saja ditentang. Selalu ada ketidakadilan dalam memperlakukan perempuan. Mestinya pemberitaan tersebut bisa lebih berimbang dengan memberikan porsi yang sesuai tanpa melihat jenis kelamin tokoh yang diberitakan.
Meskipun Indonesia sudah memiliki Komisi Penyiaran Nasional, namun disisi lain masyarakat juga harus lebih pintar membentuk jati diri sebagai proteksi dari dalam. Jangan mudah tergiur oleh informasi yang diperoleh, lebih bijak dalam mengkonsumsi isi media, serta sebaiknya menggunakan apa yang cocok dan pas untuk digunakan.

















BAB III
PENUTUP
 A. Kesimpulan
Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Seiring dengan perkembangannya, maka feminisme dapat dikelompokkan dalam beberapa aliran, diantaranya yaitu feminisme liberal yang menganggap bahwa perempuan dan laki-laki, sebagai makhluk rasional, pada dasarnya sama, meskipun penampilan luar mereka berbeda dan karena itu struktur hirarkis bahwa pria terpisah dan perempuan berdasarkan sifat fisik mereka harus diganti dengan meritokrasi yang adil dan setara. Sedangkan feminisme marxisme dan sosialis menolak individualisme dan positivisme, berargumen bahwa hubungan dan eksploitasi kapitalis perempuan melalui peran mereka dalam rumah tangga adalah penyebab penindasan mereka.
Menurut teori feminis, perspektif feminis tentang media dan masyarakat tertarik kepada bagaimana media dan masyarakat tertarik kepada bagaimana media mengonstruksi pandangan-pandangan tentang perempuan. Pandangan ini melihat banyaknya kesenjangan antara kaum laki-laki dan perempuan, seperti objektifikasi perempuan, proporsi perempuan dalam organisasi media serta perempuan dalam pemberitaan media.
B. Rekomendasi
Peran media yang selama ini secara lebih luas mampu memberikan pelajaran bagi masyarakat harus lebih memainkan perannya guna memberi pemberitaan yang berimbang dan memberi contoh yang lebih baik bagi masyarakat. Pemerhati isu perempuan dan media harus bergandengan tangan untuk bersama-sama melahirkan pembaca yang sehat tanpa dipenuhi opini dan asumsi negatif tetapi melihat permasalahan secara seimbang
Di sisi lain kaum perempuan harus mampu mempertahankan cara hidup yang sesuai dengan norma. Karena bagaimana mungin seorang perempuan akan memperoleh penghargaan dari kaum lelaki jika dia sendiri tidak menghormati dan menghargai dirinya sendiri, seperti cara berpakaian di depan umum. Banyak di antara mereka yang berpakaian minim dan seksi dengan alasan mengikuti perkembangan mode. Namun kebiasaan semacam ini jelas akan mengundang tindakan negatif.
Jika mereka mampu berperilaku dan berpenampilan yang seuai dengan norma yang berlaku, insya Allah pelecehan dan kekerasan seksual yang saat ini banyak menimpa kaum perempuan dapat dihindarkan, karena pada dasarnya kejahatan dan pelecehan seksual banyak terjadi sebagai akibat dari penampilan si korbannya itu sendiri. Selain itu melalui penghargaan terhadap diri sendiri oleh kaum perempuan diharapkan posisi perempuan yang selalu menjadi objek dalam berbagai kegiatan kaum lelaki dan dunia usaha dapat dihindarkan dan penghargaan yang layak dapat diterima oleh kaum perempuan sesuai dengan prestasi bukan rasa iba atau karena pengorbanan harga diri.
Selain itu diperlukan pentingnya kerjasama yang baik antara pemerhati isu perempuan dengan media, melakukan monitoring terhadap media yang kerap memuat berita yang cenderung diskriminatif dan stereotype terhadap perempuan perlu dilakukan. Selain itu transfer pengetahuan ke media secara perorangan terutama isu kesetaraan guna melahirkan jurnalisme berspektif perempuan juga menjadi penting.




DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Croteau, David dan William Hoynes. 1997. Media/Society: Industries, Images, And Audiences. California: Pine Forge Press.
Mulyana, Deddy. 2008.  Komunikasi Massa. Bandung: Widya Padjajaran.
---------------------. 2011. Komunikasi Lintas Budaya: Pemikiran, Perjalan dan Khayalan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Shaw,  Alison. 2007. Metode Penelitian Komunikasi: Contoh-Contoh Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
Soemandoyo, Priyo. 1999. Wacana Gender & Layar Televisi: Studi Perempuan dalam Pemberitaan Televisi Swasta. Yogyakarta: LP3y dan Ford Foundation.
B. Jurnal
Astuti, Santi Indra. Representasi Perempuan Indonesia dalam Komuniksi Visual: Wacana yang (Belum) Berubah. Jurnal Komunikasi Mediator Volume 5 Nomor 2 2004.
C. Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme
http://www.isi-dps.ac.id/berita/televisi-sebagai-konstruksi-realitas-bagian-i http://psg.uii.ac.id/index.php/RADIO/Amin.html http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=858:bagaimana-media-memotret-perempuan-&catid=1:berita&Itemid=18 http://ekawenats.blogspot.com/2006_03_19_archive.html
http ://konvergensi.komunikasi. or. Id / 18 /post /2012 /10 /konvergensi – media – dalam – perspektif - feminisme. html



[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme, diakses 29 Januari pukul 22.45 wib.
[2]http://www.isi-dps.ac.id/berita/televisi-sebagai-konstruksi-realitas-bagian-i diakses 29 Januari 2013 pukul 09.57 wib.

[3] http://psg.uii.ac.id/index.php/RADIO/Amin.html diakses 29 Januari 2013 pukul 22.34 wib
[4] http://www.rahima.or.id/index.php?option= com_content&view= article&id =858: bagaimana -media-memotret-perempuan-  &catid =1:berita&Itemid=18 diakses 29 Januari pukul 22.53 wib.
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme, diakses 29 Januari pukul 22.45 wib.
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme, diakses 29 Januari pukul 22.45 wib.
[7] http://ekawenats.blogspot.com/2006_03_19_archive.html diakses 29 Januari 2013 pukul 22.30 wib
[8] http ://konvergensi.komunikasi. or. Id / 18 /post /2012 /10 /konvergensi – media – dalam – perspektif - feminisme. html diakses 29 Januari 23.00 wib

[9] http://www.rahima.or.id/index.php?option= com_content&view= article&id=858: bagaimana-media-memotret-perempuan- &catid= 1:berita&Itemid= 18 diakses 29 Januari pukul 22.53 wib.
[10] http://ekawenats.blogspot.com/2006_03_19_archive.html diakses 29 Januari 2013 pukul 22.30 wib

Wednesday, November 6, 2013

Problematika Dakwah Dewasa Ini dan Studi Tokoh (Da'i)


Problematika dakwah yang kita hadapi sekarang adalah tantangan dakwah yang semakin hebat, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Tantangan itu muncul dalam berbagai bentuk kegiatan masyarakat modern, seperti perilaku dalam mendapatkan hiburan (entertain­ment), kepariwisataan dan seni dalam arti luas, yang semakin membuka peluang munculnya kerawanan-kerawanan moral dan etika.
Kerawanan moral dan etik itu muncul semakin transparan dalam bentuk kemaksiatan karena disokong oleh kemajuan alat-alat teknologi informasi mutakhir seperti siaran televisi, keping-keping VCD, jaringan Internet, dan sebagainya.
Kemaksiatan itu senantiasa mengalami peningkatan kualitas dan kuantitas, seperti maraknya perjudian, minum minuman keras, dan tindakan kriminal, serta menjamurnya tempat-tempat hiburan, siang atau malam, yang semua itu diawali dengan penjualan dan pendangkalan budaya moral dan rasa malu.
Tidak asing lagi, akhirnya di negeri yang berbudaya, beradat dan beragama ini, kemaksiatan yang berhubungan dengan apa yang dinamakan sex industry juga mengalami kemajuan, terutama setelah terbukanya turisme internasional di berbagai kawasan, hingga menjamah wilayah yang semakin luas dan menjarah semakin banyak generasi muda dan remaja yang kehilangan jati diri dan miskin iman dan ilmu. Hal yang terakhir ini semakin buruk dan mencemaskan perkembangannya karena hampir-hampir tidak ada lagi batas antara kota dan desa, semuanya telah terkontaminasi dalam eforia kebebasan yang tak kenal batas.
Ledakan-ledakan informasi dan kemajuan teknologi dalam berbagai bidang itu tidak boleh kita biarkan lewat begitu saja. Kita harus berusaha mencegah dan mengantisipasi dengan memperkuat benteng pertahanan aqidah yang berpadukan ilmu dan teknologi. Tidak sedikit korban yang berjatuhan yang membuat kemuliaan Islam semakin terancam dan masa depan generasi muda semakin suram.
Apabila kita tetap lengah dan terbuai oleh kemewahan hidup dengan berbagai fasilitasnya, ketika itu pula secara perlahan kita meninggalkan petunjuk-petunjuk Allah yang sangat diperlukan bagi hati nurani setiap kita. Di samping itu kelemahan dan ketertinggalan umat Islam dalam meng-akses informasi dari waktu ke waktu, pada gilirannya juga akan membuat langkah-langkah dakwah kita semakin tumpul tak berdaya.
Yang menjadi pemisah antara dakwah Islamiyah dengan jalan lain adalah petunjuk Allah yang disampaikan melalui wahyu dan jalan (contoh) yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW. Musuh kita yang sebenarnya adalah syaithan dan konco-konconya yang menjelma melalui al-hawa' (hawa nafsu) yang ada di dalam diri kita serta yang lebih nyata lagi adalah dalam bentuk jahiliyah yang zahir. Jahiliyah yang sekecil-kecilnya dari dosa-dosa yang berupa keingkaran hingga kepada al-kabair (dosa-dosa besar), bid'ah-bid'ah yang menyesatkan, nifaq (kemunafikan), serta kekufuran kepada Allah. Jahiliyah inilah yang seterusnya lahir dan menjelma di dalam bentuk keingkaran kepada Allah baik di dalam bentuk undang-undang, negara, masyarakat, dan segala bentuk sistem yang bukan berasaskan Islam.
Jadi intinya problematika dakwah yaitu diantaranya:
1.        Problematika internal maupun eksternal
2.        Kerawanan moral dan etika
3.        Kemaksiatan yang mengalamai peningkatan kualitas dan kuantitas
4.        Meledaknya informasi dan kemajuan teknologi
5.        Banyak yang terbuai oleh kemewahan hidup
6.        Kelemahan (sumber daya manusia) dalam berbagai bidang ilmu
Bertolak dari faktor-faktor tersebut, agar problematika dakwah tidak semakin kusut dan berlarut-larut, perlu segera dicarikan jalan keluar dari kemelut problematika yang dihadapi itu. Dalam konsep pemikiran yang praktis, Prof. Dr. H. M. Amien Rais,MA. dalam bukunya Moralitas Politik Muhammadiyah, menawarkan lima ‘Pekerjaan Rumah’ yang perlu diselesaikan, agar dakwah Islam di era informasi sekarang tetap relevan, efektif, dan produktif.
1.    Perlu ada pengkaderan yang serius untuk memproduksi juru-juru dakwah dengan pembagian kerja yang rapi. Ilmu tabligh belaka tidak cukup untuk mendukung proses dakwah, melainkan diperlukan pula berbagai penguasaan dalam ilmu-ilmu teknologi informasi yang paling mutakhir.
2.    Setiap organisasi Islam yang berminat dalam tugas-tugas dakwah perlu membangun laboratorium dakwah. Dari hasil “Labda” ini akan dapat diketahui masalah-masalah riil di lapangan, agar jelas apa yang akan dilakukan.
3.    Proses dakwah tidak boleh lagi terbatas pada dakwah bil-lisan, tapi harus diperluas dengan dakwah bil-hal, bil-kitaabah (lewat tulisan), bil-hikmah (dalam arti politik), bil-iqtishadiyah (ekonomi), dan sebagainya. Yang jelas, actions,speak louder than word.
4.    Media massa cetak dan terutama media elektronik harus dipikirkan sekarang juga. Media elektronik yang dapat menjadi wahana atau sarana dakwah perlu dimiliki oleh umat Islam. Bila udara Indonesia di masa depan dipenuhi oleh pesan-pesan agama lain dan sepi dari pesan-pesan Islami, maka sudah tentu keadaan seperti ini tidak menguntungkan bagi peningkatan dakwah Islam di tanah air.
5.    Merebut remaja Indonesia adalah tugas dakwah Islam jangka panjang. Anak-anak dan para remaja kita adalah aset yang tak ternilai. Mereka wajib kita selamatkan dari pengikisan aqidah yang terjadi akibat ‘invasi’ nilai-nilai non islami ke dalam jantung berbagai komunitas Islam di Indonesia. Bila anak-anak dan remaja kita memiliki benteng tangguh (al-hususn al-hamidiyyah) dalam era globalisasi dan informasi sekarang ini, insya Allah masa depan dakwah kita akan tetap ceria.
Menyimak uraian-uraian di atas, dapat diprediksi bahwa misi dan tantangan dakwah tidaklah pernah akan semakin ringan, melainkan akan semakin berat dan hebat bahkan semakin kompleks dan melelehkan. Inilah problematika dakwah kita masa kini. Oleh sebab itu semuanya harus dimenej kembali dengan manajemen dakwah yang profesional dan dihendel oleh tenaga-tenaga berdedikasi tinggi, mau berkorban dan ikhlas beramal.
Mengingat potensi umat Islam yang potensial masih sangat terbatas, sementara kita harus mengakomodir segenap problematika dan tantangan yang muncul, maka ada baiknya kita coba memilih dan memilah mana yang tepat untuk diberikan skala prioritas dalam penanganannya, sehingga dana, tenaga, dan fikiran dapat lebih terarah, efektif, dan produktif dalam penggunaanya. Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan dan petunjuk agar kita tidak salah pilih dan tidak terlambat, insya Allah…Amiiin…
1. Problematika Dakwah Perspektif Materi
Ada beberapa problematika dakwah perspektif materi yaitu diantaranya:
1.    Disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat
2.    Disesuaikan dengan kadar intelektual masyarakat
3.    Mencakup ajaran Islam secara kaffah dan universal yakni aspek ajaran tentang hidup dan kehidupan
4.    Merespon dan menyentuh tantangan dan kebutuhan asasi dan kebutuhan sekunder
5.    Disesuaikan dengan program umum syariat Islam
6.    Adanya sumber kekuatan. Dimanakah sumber kekuatan dakwah? Sebenarnya, kekuatan bermula dari kekuatan Iman, kemudian diikuti oleh kekuatan Ukhuwah Islamiyah, kemudian barulah diikuti dengan kekuatan material dan organisasi.
7.    Wasilah-wasilah (jalan-jalan kerja) dakwah "Wasilah di dalam pembinaan dan pengukuhan setiap dakwah dapat dikenali oleh siapa saja yang mengkaji sejarah jamaah. Intisari dari wasilah ini dapat disimpulkan sebagai berikut: Iman dan Amal, Kasih sayang, dan Persaudaraan"
8.    Berangsur-angsur (tadarruj) di dalam langkah kerja Maksud tadarruj adalah kitatidak tergesa-gesa dalam bekerja mencapai tujuan. Segala amal harus disusun dan direncanakan mengikuti tingakatan-tingkatan atau tahap-tahap yang ditentukan. Misalnya, upaya pembentukan harus didahulukan daripada upaya-upaya lain di dalam medan yang lebih berat dan menantang. "Perlu adanya kesungguhan dan amal, serta usaha pembinaan (takwin) setelah kita melaksanakan upaya penjelasan kepada masyarakat umum. Kemudian diikuti dengan upaya pengasasan setelah kita melasanakan usaha mendidik"
9.    Kesempurnaan di dalam pelaksanaan (Takamul fi tatbiq). Imam Al-Banna menyebutkan bahwa dakwah Islamiah bukanlah partai politik, namun penegakan hukum Allah adalah salah satu tugas kita. Dakwah bukan pula satu mazhab fiqih, kuliah syara, atau institusi fatwa, namun lebih mementingkan syari'ah. Demikian pula, dakwah bukan lembaga sosial, tetapi kita mementingkan problematika menjaga kebajikan masyarakat.
10.              Adanya evaluasi dalam berdakwah baik dalam penyampaian materi ataupun yang lainnya.
2. Problematika Dakwah Perspektif Metodologi
            Dalam penngertian yang sudah umum digunakan, metode difahami sebagai cara atau jalan (methodos). Kaitannya dengan kegiatan keilmuan adalah metode mengandung arti cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Berkaitan dengan itu, setiap cabang ilmu mengembangkan metodologinya (pengetahuan tentang berbagai cara) yang disesuaikan dengan objek studi ilmu-ilmu yang bersangkutan.
            Suatu metode dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaianya dengan karakteristik objek kajian. Objek penelitian dakwah, misalnya, merupakan usaha yang dilakukan oleh jamaah Muslim (lembaga-lembaga dakwah) dalam rangka mewujudkan Islam dalam kehidupan fardhiyah (individu), usrah (keluarga), jamaah (masyarakat), sampai terwujudnya khairu ummah.
Ada beberapa rancangan dakwah yang dapat dilakukan untuk menjawab problematika dewasa ini, yaitu:
1.    Memfokuskan aktivitas dakwah untuk mengentaskan kemiskinan umat.
2.    Menyiapkan elit strategis Muslim untuk disuplai ke berbagai jalur kepemimpinan bangsa sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing.
3.    Membuat peta sosial umat sebagai informasi awal bagi pengembangan dakwah
4.    Mengintregasikan wawasan etika, estetika, logika, dan budaya dalam berbagai perencanaan dakwah
5.    Mendirikan pusat-pusat studi dan informasi umat secara lebih propesional dan berorientasi pada kemajuan iptek
6.    Menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan: ekonomi, kesehatan dan kebudayaan umat Islam. Karenanya, sistem manajemen kemasjidan perlu ditingkatkan
7.    Menjadikan sebagai pelopor yang propertis, humanis, dan transpormatif. Karenanya perlu dirumuskan pendekatan-pendekatan dakwah yang progkresif dan inklusif. Dakwah Islam tidak boleh hanya dijadikan sebagai objek dan alat legitimasi bagi pembangunan yang semata-mata bersifat ekonomis-pragmatis berdasarkan kepentingan sesaat para penguasa.
            Sifat kajian seperti ini tentu menghendaki pilihan metodologis yang lebih komfrehensif dan partisipatif karena sifat objeknya menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat. Suatu catatan penting dalam dakwah Rasulullah Saw yaitu fase Madinah dan Mekah ketika peristiwa hijrah. Karena dalam perspektif metodologi dakwah peristiwa ini dipandang sebagai langkah dakwah yang sangat revolusioner dan secara metodologis peristiwa hijrah setidaknya memberikan pesan dakwah yang sangat jelas.   
            Menurut Syariati (1995:15) hijrah adalah pemutusan keterikatan masyarakat terhadap tanah kelahirannya, yang dapat mengubah pandangan manusia terhadap alam dan mengubahnya menjadi pandangan yang luas dan menyeluruh, dan pada akhirnya hilangnya kejumudan, kemerosotan sosial, pemikiran dan perasaan sehingga masyarakat yang rigad dan jumud berubah menjadi masyarakat yang dinamis.

3. Problematika Dakwah Perspektif Profesionalisme
Dinamisasi kehidupan global yang semakin tinggi dan kompetitif telah mengiringumat manusia senantiasa memandang problematika hidup secara pragmatis, logis, serba instan,dan bahkan matematis. Keadaan demikian di samping membawa manfaat berupa kemajuanilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin memudahkan aktifitas manusia, juga telah membawa implikasi negatif berupa lemahnya semangat transendental dan memudarnyahubungan-hubungan sosial. Implikasi ini berlangsung demikian lama, sehingga dewasa initelah melahirkan berbagai kenyataan sosial yang cukup bertentangan dengan cita-cita ideal Islam.
Realitas sosial di atas ada yang tidak sesuai dengan cita ideal Islam, karenanya harus diubah melalui dakwah Islam. Mengingat kenyataan-kenyataan sosial tersebut banyakdijumpai dalam beberapa komunitas Islam dengan problematika yang berbeda-beda, makadiperlukan paradigma baru dalam melakukan dakwah Islam yang mempertimbangkan jenisdan kualitas problematika yang dihadapi oleh umat. Di sinilah institusi-institusi dakwahdituntut dapat melakukan usaha-usaha dakwah secara sistematis dan profesional melalui langkah-langkah yang srategis, sebagaimana yang diisyaratan dalam surat at-Taubah ayat 105:
È@è%ur (#qè=yJôã$# uŽz|¡sù ª!$# ö/ä3n=uHxå ¼ã&è!qßuur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur ( šcrŠuŽäIyur 4n<Î) ÉOÎ=»tã É=øtóø9$# Íoy»pk¤9$#ur /ä3ã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ ÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÉÎÈ  
Artinya: bekerjalah kamu (secara profesional) maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu. (Q.S AT-Taubah:105).

Untuk mengatasi berbagai problematika umat yang begitu kompleks, institusi dakwah tidak cukup hanya dengan dengan melakukan program dakwah yang konvensional, sporadis, dan reaktif, tetapi harus bersifat profesional, strategis, dan pro-aktif.
Menghadapi sasaran dakwah (mad‟u) yang semakin kritis dan tantangan dunia global yang makin kompleks dewasa ini, maka diperlukan strategi dakwah yang mantap, sehingga aktivitas dakwah yang dilakukan dapat bersaing di tengah bursa informasi yang semakin kompetitif. Pembenaran strategis terhadap unsur tersebut dapat dilakukan melalui langkah- langkah sebagai berikut:
1.        Peningkatan sumber daya muballigh/Da’i (SDM) 
2.        Pemanfaatan Teknologi Modern sebagai Media Dakwah
3.        Pengembangan Metode Dakwah Fardhiyah.
4.        Penerapan Dakwah Kultural
5.        Monitoring dan Evaluasi Dakwah
6.        Membuat Pemetaan (Peta Dakwah)

II.                Studi Tokoh (KH. Abdullah Gymnastiar)

1.      Riwayat Hidup
220px-Aa_gym.jpg
Yan Gymnastiar (lahir di Bandung, Jawa Barat, 29 Januari 1962; umur 51 tahun) atau lebih dikenal sebagai Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym adalah seorang pendakwah, penyanyi, penulis buku dan penerbit, pengusaha dan pendiri Pondok Pesantren Darut Tauhid di Jalan Gegerkalong Girang, Bandung. Istrinya bernama Hj. Ninih Mutmainnah atau Teh Ninih dan Alfarini Eridani atau Teh Rini. Sedangkan nama-nama anaknya diantaranya adalah Ghaida Tsuraya, Muhammad Ghazi Al-Ghifari, Ghina Raudhatul Jannah, Ghaitsa Zahira Shofa, Ghefira Nur Fathimah, Ghaza Muhammad Al-Ghazali.
Ayah Aa Gym bernama Letnan Kolonel H. Engkus Kuswara dan ibunya bernama Ny. Hj. Yeti Rohayati. AA’ Gym diberi nama Gymnastiar oleh ayahnya karena saat itu ayah beliau sangat menggemari olahraga Gym dan berharap anaknya menjadi anak yang sehat dan menyukai olahraga.
AA’ Gym adalah empat bersaudara dimana ketiga saudaranya bernama Abdurrahman Yuri, Agung Gunmartin dan Fathimah Genstreed. Keluarga AA’ Gym adalah keluarga yang sangat disiplin hal ini dikarenakan ayahnya yang menjadi TNI sehingga didikan kepada anak-anaknya juga disiplin layaknya tentara. Namun juga sangat religius.
Sebagai putera seorang tentara, dia bahkan pernah diamanahkan menjadi komandan resimen mahasiswa (menwa) Akademi Teknik Jenderal Ahmad Yani, Bandung. Dan ternyata kekuatan yang semacam inilah yang justru membuat dirinya dan dua orang adiknya memiliki rasa percaya diri, mampu hidup prihatin, pantang menyerah, da kental dengan rasa kesetiakawanan.
Aa’ Gym menempuh sekolah dasar di SD Sukarasa III Bandung, kemudian melanjutkan ke SMP 12 Bandung. Aa’ Gym termasuk siswa yang cerdas sehingga beliau diterima di sekolah favorit yaitu SMA 5 Bandung. Beliau kemudian melanjutkan pendidikannya dengan berkuliah di PAAP Unpad yaitu Pendidikan Ahli Administrasi Perusahaan, namun hanya mengambil D1. 
Setelah lulus D1 beliau kemudian mendaftar di Akademi Teknik Jendral Ahmad Yani yang kini menjadi Universitas Ahmad Yani atau Unjani. Beliau mengambil Teknik Elektro namun tidak sampai selesai karena lebih sibuk berbisnis dan berorganisasi. 
2.      Aktivitas Dakwah
Aa Gym menjadi populer karena mengenalkan cara berdakwah yang unik dengan gaya teatrikal dengan pesan-pesan dakwah Islami yang praktis dan umum diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Pesan-pesan dakwahnya berkisar pada pengendalian diri, hati nurani, toleransi dan keteguhan iman. Aa Gym digemari oleh ibu-ibu rumah tangga karena ia membangun citra sebagai sosok pemuka agama yang berbeda dengan ulama lainnya. Ketika para ulama “konvensional” berdakwah tentang keutamaan salat, puasa, dan kemegahan surga, Aa Gym memilih untuk bercerita tentang pentingnya hati yang tulus, keluarga yang sakinah dengan menggunakan bahasa sehari-hari yang ringan dan menyenangkan. Topik pembahasannya seputar keluarga dan pemirsanya terkonsentrasi pada ibu-ibu rumah tangga, citranya pun didaulat menjadi “ustad keluarga bahagia.”
Pada tahun 2000, Aa Gym mulai tampil berdakwah di TV Nasional. Sayap dakwah Aa’ Gym makin melebar dengan ditawarinya Aa’ Gym untuk memberikan tauziah di RCTI melalui Hikmah Fajar. Pada tahun 2001, Aa Gym memiliki program mandiri di bawah rangkaian program Hikmah Fajar berjudul "Manajemen Qolbu" dan mengisi program Damai Indonesiaku di TV One. Selain itu, dakwahnya juga melalui VCD dan buku-buku yang tersebar di Indonesia dan juga di negara tetangga di sekitar Asia. Perkiraan jumlah undangan yang ingin mengundang Aa’ Gym sebagai pembicara bisa mencapai 1200 per bulan. Bahkan di bulan Ramadhan Aa’ Gym paling laris muncul di TV. Selain itu Aa’ Gym juga menjadi penceramah dengan bayaran termahal yaitu $ 100,000 untuk 1 jam ceramah.
Sosok A’ Gym yang sangat populer mengundang pendapat berbagai kalangan seperti Solahudin Wahid yang merupakan saudara Gus Dur mengatakan bahwa Aa’ Gym bisa seperti itu karena semangat berbaginya yang tulus dari hati seperti konsep tauziahnya yaitu Manajemen Hati dan Jagalah Hati. Tak luput tokoh Islam Liberal yaitu Abshar Abdala mengatakan bahwa Aa’ Gym seperti Brithney Spears dalam Islam, bahkan Majalah Time pernah memuat profil Aa’ Gym dalam covernya dengan topik “The Holy Man”.
3.      Prestasi-prestasi istimewa
Saat SD beliau menjadi juara kelas ke dua dan saat mahasiswa beliau terpilih menjadi mahasiswa teladan. Aa’ Gym juga terpilih menjadi Ketua Menwa yaitu Resimen Mahasiswa, semacam polisi kampus. Di rumahnya Aa’ Gym terpampang berbagai piala dan penghargaan prestasi dirinya di berbagai bidang. Pada 1982, ia menjadi Komandan Resimen Mahasiswa di Akademi Teknik Jenderal Achmad Yani.
Pada tahun 1987, ia bersama teman-temannya melalui lembaga Keluarga Mahasiswa Islam Wiraswasta (KMIW) merintis usaha wiraswasta pada bidang usaha kecil seperti pembuatan stiker, kaos, gantungan kunci, dan peralatan tulis kantor dengan slogan-slogan religius.
Pada tahun 1990, KMIW mendirikan Pondok Pesantren Darut Tauhid (DT) di rumah orang tua Aa Gym yang kemudian pindah lokasi ke Jalan Gegerkalong Girang 38 yang awalnya berupa rumah pondokan dengan 20 kamar yang akhirnya dibeli angsung dari pemiliknya dengan harga Rp 100 juta. Ide pembentukan DT terilhami oleh keberhasilan gerakan Al-Arqom dari Malaysia yang sukses mengembangkan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara Islami. Dengan perbedaannya DT tidak bersifat eksklusif seperti Al-Arqom tetapi terbuka untuk semua orang.
Pada tahun 1993, Yayasan Pondok Pesantren Daarut Tauhid dibangun menjadi gedung permanen berlantai tiga. Lantai satu digunakan untuk kegiatan perekonomian, lantai dua dan tiga dijadikan masjid. Pada 1994, didirikan Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) DT untuk menopang dakwahnya. Pada1995 sekitar 50 meter dari masjid, seorang jemaah membelikan sebidang tanah berikut bangunannya di Jalan Gegerkalong Girang 30 D yang kemudian digunakan sebagai kantor yayasan, kediaman pemimpin pondok, Taman Kanak-kanak Al-Qur’an (TKA) dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), ruang pertemuan, ruang produksi konveksi, gudang, dan kamar para santri. Pada akhir tahun 1997 Gedung Kopontren empat lantai di seberang masjid ini digunakan untuk kantor Baitul Mal wat-Tamwil (BMT), penerbitan dan percetakan, swalayan dan mini market, warung telekomunikasi, dan lainnya.
Pada tahun 1999, DT berhasil memiliki Radio Ummat yang mengudara sejak 9 Desember 1999, mendirikan CV House and Building (HNB), PT MQs (Mutiata Qolbun Salim), PT Tabloid MQ, Asrama Daarul Muthmainnah 2000, Radio Bening Hati, dan membangun Gedung Serba Guna, seluruh aset ini diperkirakan bernilai 6 miliar rupiah.
Buku-buku yang pernah ditulisnya diantaranya: Aa Gym dan fenomena Daarut Tauhid: Memperbaiki Diri Lewat Manajemen Qalbu. Penerbit Daarut Tauhid. Tebal 255 halaman. Cetakan pertama 2001. ISBN-13: 978-9794332894. Saya Tidak Ingin Kaya Tapi Harus Kaya. The Power of Network Marketing - Hikmah Silaturahmi dalam Bisnis oleh Andrew Ho dan Aa Gym. Getaran Allah di Padang Arafah, Indahnya Hidup Bersama Rasulullah, Nilai hakiki Do’a, Seni Menata Hati Dalam Bergaul, Kiat Praktis Menjadi Orang Terpercaya, Seni Mengkritik dan Menerima Kritik, Mengatasi Minder, Ma’rifatullah, Lima Kiat Praktis Menghadapi Persoalan Hidup, Bersikap Ramah Itu Indah dan Mulia,  Menuju Keluarga Sakinah, Aa Gym Apa Adanya ( bekerjasama dengan Hermawan Kertajaya).
Seiring waktu Daarut Tauhiid mengalami pertumbuhan yang pesat. Dengan perjuangan umat Islam yang ikhlas, Daarut Tauhiid kemudian didirikan di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, dan dakwah tersiarkan media radio, radio internet, video streaming, twitter, facebook, youtube, sms Tauhiid dan media lainnya. tentu dengan adanya sarana ini dakwah AaGym bisa melintasi batas negara dan mencapai Jerman, Kanada, Malaysia, Jepang, dan China.
Karena hobi bisnis dan organisasi inilah pada tahun 1987 Aa’ Gym kemudian mengajak teman seangkatannya untuk membuat suatu organisasi berlatar wirausaha dengan nama Keluarga Mahasiswa Islam Wiraswasta atau disingkat KMIW. Dimana organisasi ini menjalankan berbagai bisnis seperti membuat gantungan kunci, pembuatan kaos dengan sablonan kata-kata mutiara tentang Islam serta lainnya.
Usaha ini menempati lahan milik orang tua Aa’ Gym. Dalam organisasi ini tidak melulu berbisnis namun juga ada kegiatan agama Islam seperti tauziah yang diadakan seminggu sekali. Tauziah tersebut mengangkat tema dari kehidupan sehari-hari dengan bahasa yang gampang di cerna dan mudah diaplikasikan sehingga semakin banyaklah anggota organisasi atau jamaahnya.
Oleh karena tempat sudah tidak cukup, mereka (Aa’ Gym dan kawan-kawan) mengontrak sebuah kos-kosan dengan 20 kamar dan kemudian dibeli seharga 100 juta. Pondokan itu kemudian di pugar menjadi bangunan tiga lantai dimana lantai satu untuk kegiatan bisnis dan lantai dua dan tiganya digunakan untuk masjid sebagai kegiatan keagamaan seperti tauziah dan TPA. Pondokan ini kemudian diberi nama Daarut Tauhid yang berlokasi di Geger Kalong Girang 38 seperti saat ini kita kenal.
Sebenarnya model organisasi Aa’ Gym ini mencontoh model organisasi Al- Arqom yang ada di Malaysia dimana telah berhasil memberdayakan kemandirian umat dengan konsep-konsep Islami namun Daarut Tauhid (DT) pimpinan  Aa’ Gym tidaklah se eksklusif Al-Arqom. Ponpes Daarut Tauhid bukanlah bangunan yang terpisah dari masyarakat namun justru membaur dengan masyarakat sehingga masyarakat sekitar juga terkena imbas ekonomi dan nuansa religinya dengan adanya Ponpes DT ini.
Model penggalangan dana dari bisnis yang dijalankan Daarut Tauhid adalah koperasi dengan sistem bagi hasil yang terkenal dengan nama Kopontren Daarut Tauhid dan dari infaq jamaah. Ada juga dari waqaf jamaah yang berupa tanah dan bangunannya yang kemudian digunakan sebagai asrama santri, kediaman pemimpin pondok, TPA, TKA (Taman kanak-kanak Al Quran), gudang, ruang pertemuan, dan ruang konveksi.

4.      Lembaga/organisasi yang pernah dikelola
Pada tahun 2002, Aa Gym telah memiliki 15 usaha penerbitan yang telah menerbitkan 32 judul buku dan lusinan kaset serta VCD nya sebagai media menyebarkan dakwahnya. Aa Gym tercatat menerima 1.200 undangan untuk menjadi pembicara setiap bulannya. Tarif siarnya untuk berdakwah bisa mencapai USD 100.000 per jam pada bulan Ramadhan, dan penampilannya menjadi rebutan stasiun-stasiun TV. Usaha lainnya yang ia miliki adalah penyiaran radio, studio mini televisi, dan usaha media lainnya termasuk kantor situs-situs web, koperasi supermarket, mesjid dan pesantren berkapasitas 500 santri, dua panti asuhan, rumah persinggahan untuk menampung pengunjung yang datang, serta penyelenggaraan seminar-seminar pelatihan manajemen yang tarifnya mencapai USD 200 per kepala.










DAFTAR REFERENSI

Asep Muhyidin, Agus Ahmad Syafei. 2002.  Metode Pengembangan Dakwah. Pustaka Setia: Bandung.

Asep Saeful Muhtadi, Agus Ahmaf Syafei. 2003. Metode Penelitian Dakwah. Pustaka Setia: Bandung.

Masyari, Anwar. 1992. Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiyah. Surabaya: Bina Ilmu.


d'SwEEt piNk