ASPEK EPISTEMOLOGI DALAM PERSPEKTIF
ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Epistemologi disebut juga dengan
filsafat ilmu, merupakan cabang filsafat yang mempelajari dan menentukan ruang
lingkup pengetahuan. Epistemologi berusaha membahas bagaimana ilmu didapatkan,
bukan untuk apa atau mengenai apa. Para filsuf aliran Sokratik, atau
filsauf-filsuf pertama di Barat pada waktu itu belum memberikan perhatian
terhadap filsafat pengetahuan. Dan bukan berarti mereka tidak peduli terhadap
filsafat. Kehidupan filsafat di Barat makin menunjukkan kemajuannya.
Aristoteles mengawali metafisikanya
dengan pernyataan”setiap manusia dari kodratnya ingin tahu.” Aristoteles
meyakini hal tersebut. Keyakinan tersebut tidak hanya untuk orang lain saja,
tetapi juga untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan Socrates, Socrates telah
meniti karirnya sendiri dengan berdasarkan suatu pondasi yang berbeda, ia
meyakini bahwa tidak seorang manusia pun mempunyai pengetahuan (Hardono Hadi, 1994 : 13). Ada
kemungkinan manusia tidak mempunyai pengetahuan karena tidak menggunakan
inderanya untuk mengenali alam ini, sehingga manusia akan
mengetahui ketika ada rasa kagum. Ketika manusia tidak kagum, maka ia tidak
akan pernah mengenal filsafat, karena pada
dasarnya dari rasa kagumlah filsafat bermula. Rasa kagum sebenarnya bukan
muncul dari sesuatu yang sulit, tetapi kekaguman muncul, sering muncul dan
tampak sederhana dalam kehidupan manusia.
Manusia sering menganggap bahwa
sesuatu yang kelihatan adalah dapat dipahami dengan benar dan seolah-olah ia
telah mengetahui keberadaan benda dan materi tersebut secara mendalam. Anggapan
manusia bahwa apa yang terlihat dan dilihatnya serta dikenalnya, belum tentau
dapat dipahami hakikatnya,
belum pasti manusia telah sampai kepada pengetahuan yang ia kenal. Dari sinilah
nantinya ada peluang bagi epistemologi untuk menjelaskan kenapa manusia
mengetahui, kenapa sesuatu itu menjadi seperti itu.
Epistemologi berusaha menjembatani
manusia agar menyadari bahwa sebenarnya pengetahuannya adalah karena ketidaktahuannya.
Pengetahuan itu dianggap sah dan benar ketika benar menurut pengetahuan
tersebut. Terkadang manusia
melakukan trial and error untuk mengetahui sesuatu, dengan harapan
akan mendapatkan kebenaran.
Bahkan, kalau diperhatikan ternyata
pertanyaan-pertanyaan filosof sering muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Terkadang kalau ada orang bertanya tentang sesuatu yang sudah ada di anggap
aneh, bahkan ada kesan bahwa sesuatu yang hadir, dianggap telah diketahui
keadaannya, padahal belum kenal dan tahu apa hakikat benda itu. Hal tersebut
merupakan salah satu persoalan-persoalan pokok dalam epistemologi. Kekaguman
merupakan awal munculnya epistemologi.
Kemudian filsafat sebagai sebuah
pembuka/ perintis terhadap ilmu-ilmu lain. Demikian juga dengan filsafat
pengetahuan, filsafat pengetahuan dianggap luas atau sama luasnya dengan
filsafat. Permasalahan anggapan umum/ akal sehat’common sense’. Secara
kesejarahan gerakan pemikiran reflektif yang mencapai titik kulminasi
memunculkan masalah pengetahuan secara terpisah yang dapat ditelusuri secara
analitis. Pada tahap awal proses sejarah dan analitis merupakan common sense
menemukan dirinya (Hardono Hadi, 1994 : 17). Manusia pada umumnya menyadari diri bahwa dirinya
mempunyai pengetahuan, yang menurutunya pasti dan dianggap benar dan tidak
boleh diremehkan.
Anggapan umum menyadari bahwa
manusia sering tertipu, kesalahan-kesalahan
dalam menetukan jarak, warna dan halusinasi. Semua itu
merupakan hal-hal yang umum terjadi. Tetapi yang perlu disadari bahwa
keyakinan-keyakinan umum dibentuk bukan dari kesalahan-kesalahan. Tetapi banyak
manusia yang merasa lebih tenang dengan pandangan umum.
Pengetahuan berusaha memahami benda
sebagaimana adanya, lalu akan timbul pertanyaan, bagaimana seseorang mengetahui
kalau dirinya telah mencapai pengetahuan tentang benda sebagaimana adanya?
Untuk menjawab apakah manusia telah tahu dengan pengetahuannya, maka
epistemologi adalah jawabannya. Suatu
pikiran tidak akan puas dengan pengetahuan-pengetahuan yang umum, pemikiran
yang telah mencapai tingkat refleksi tidak dapat dipuaskan hanya dengan
jaminan-jaminan umum. Kepastian yang dicari oleh epistemologi
dalam mencari kebenaran apakah manusia sudah benar sesuai dengan tingkat
pengetahuan dimungkinkan oleh suatu keraguan. Dengan keraguan inilah akan
memberi kesempatan kepada epistemologi untuk menjawabnya.
Anggapan umum/akal sehat mempunyai
peranan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan tentang berbagai
fenomena alam. Sebagaimana diketahui bahwa ilmu dan filsafat dimulai dengan
akal sehat. Berbagai peradaban mempunyai berbagai kumpulan pengetahuan yang
berupa akal sehat. Randall dan Buchler mendefinisikan akal sehat sebagai
pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman secara tidak sengaja yang
bersifat sporadis dan kebetulan (Jujun Suriasumantri,
2003 : 111). Pendapat Randall dan Buchler
tersebut dalam satu sisi ada benarnya
dan di sisi lain tidak dapat dibenarkan karena untuk mendapatkan akal sehat
manusia ada kemungkinan mendapatkannnya dengan sadar dan disengaja. Jadi apabila
tidak sengaja hanya dianggap sebagai pengetahuan akal sehat lalu pengetahuan
yang dilakukan secara sadar dan sengaja tidak dikatakan sebagai akal sehat?
Ciri-ciri akal sehat menurut Titus
adalah sebagai berikut, pertama karena landasannya yang berakar pada adat dan tradisi maka akal sehat cenderung untuk
bersifat kebiasaan dan pengulangan. Kedua karena alasannya
berakar kurang kuat maka akal sehat cenderung bersifat kabur dan samar-samar.
Ketiga karena kesimpulannya ditarik berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih
dalam, maka pengetahuan akal sehat sekedar ilmu yang tidak teruji (Jujun Suriasumantri,
2003 : 111)
Dari penjelasan tersebut dapat
dipahami bahwa akal sehat ternyata tidak dapat dijadikan patokan dalam
menentukan suatu kebenaran, akal sehat/anggapan umum ternyata tidak mampu
memberi kesan dan kepuasan batin seseorang yang pada awalnya mereka yakin bahwa
mereka telah tahu tentang sesuatu yang nyata, tetapi setelah dicermati dari
pengetahuan yang didapatkan dari akal sehat, ternyata anggapan umum belum dapat
dikatakan sebagai sebuah pengetahuan yang teruji.
Akal sehat
memang diperlukan, namun tidak cukup karena ia tidak sanggup menjelaskan dan
tidak mengerti sebab-sebab kesesatan dan cara berpikir yang palsu. Terlebih
lagi jika kegiatan berpikir manusia telah meningkat pada masalah-masalah yang
kompleks, prinsip-prinsip dasar, serta menyadari implikasi pemikiran dan
membuat kesimpulan-kesimpulan yang jauh lebih sulit (Rodliyah Khuza’i, 2007 :
85-86).
Persoalan lain yang muncul tentang
epistemologi adalah keraguan/ skeptisisme. Para pendukung skeptisisme keberatan
terhadap pelaksanaan epistemologi, karena dianggap mengusulkan sesuatu yang
tidak nyata dan bersifat khayal bagi diri sendiri. Posisi seorang skeptis
absolut merupakan hal yang paling rapuh di dalam seluruh bidang filsafat.
Menurut aliran skeptis absolut pikiran manusia tidak dapat mencapai kebenaran
objektif (Hardono Hadi, 1994 : 19).
Usaha penyangkalannya terhadap
penyangkalan merupakan ketidak konsistenya. Keyakinannya terhadap penyangkalan
keyakinan merupakan penyangkalan terhadap keyakinannya sendiri terhadap akal.
Meskipun skeptis berusaha menghindar, tetapi kelompok ini secara implisit
menunjukkan apa yang dinyatakannya secara eksplisit. Sebagai contoh mereka
merasa puas dengan meragukan pikiran mampu menyentuh kenyataan.
Berbeda kedudukannya
dengan konsep realitas dalam pemikiran Islam. Menurut Al-Qur'an realitas objek yang dapat
diketahui mencakupi seluruh alam semesta dan penciptanya yakni Allah Swt. Alam semesta yang wujud di luar
diri manusia bersifat irarkis. Maksudnya, ia memiliki berbagai tingkat wujud
atau eksistensi. Selain alam fisik
wujud alam bukan fisik yang juga dapat diketahui oleh manusia. Alam semesta
atau kosmos yang diperlihatkan oleh al-Qur'an terbahagi secara kasarnya kepada
tiga tingkat wujud dengan sifat realitas masing-masing. Realitas tingkat
terendah adalah realitas fisik atau dunia materi. Realitas tingkat teratas
adalah realitas spiritual. Dalam al-Qur'an realitas ini merujuk kepada dunia
malaikat yang menurut hadis adalah dicipta daripada cahaya. Realitas tingkat
tengah adalah realitas psikis atau animistik yang juga disebut sebagai dunia
halus. Dari segi peristilahan keagamaan di dalam al-Qur'an realitas ini merujuk
kepada dunia jin yang dicipta daripada api yang bukan fisik
Dalam epistemologi Islam, nadhariyyat ma’rifiyyat
Islamiyyat, didasarkan pada paradigma tauhid. Metodologi dimulai dengan
penamaan Adam dan pengklasifikasian semua benda yang diikuti oleh penemuan
hasil percobaan-percobaan dan investigasi
metodologis sistematis terkini. Terinspirasi oleh Al Qur’an, umat Muslim
mengembangkan metodologi empiris ilmiah yang menyebabkan timbulnya reformasi
Eropa, Renaissance, serta revolusi ilmiah dan teknologi yang dimulai pada awal abad
16.
B.
Rumusan
Masalah
Untuk lebih memfokuskan pembahasan,
maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
- Apa Pengertian
Epistemologi?
- Bagaimana Aspek Epistemologi
Ilmu dalam
Perspektif Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Epistemologi
Secara etimologis
epistemologi berakar kata dari bahasa Yunani episteme yang mempunyai
arti pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Logos juga berarti pengetahuan. Dari dua
pengertian tersebut dapat dipahami bahwa epistemologi adalah ilmu pengetahuan
tentang pengetahuan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa epistemologi
membicarakan dirinya sendiri, membedah lebih dalam tentang dirinya sendiri.
Epistemologi berhubungan
dengan apa yang perlu diketahui dan bagaimana cara mengetahui pengetahuan.
Lacey mengatakan bahwa epistemologi membahas tentang,”what can we know, and
how do we know it,” (Suparlan Supartono, 2005 : 157).
Sedangkan menurut Qodri Azizy, epistemologi
dikatakan sebagai filsafat ilmu. Lebih lanjut Azizi mengatakan epistemologi
berkecenderungan berdiri sendiri. Ada juga yang menyatakan bahwa episteme
berarti knowledge
atau science, sedangkan logos berarti the theory of the nature of knowing
and the means by which we know (Qodri Azizy,
2003 : 2). Dengan demikian
epistemologi atau teori pengetahuan didefinisikan sebagai cabang filsafat yang
berhubungan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, praanggapan-anggapan dan
dasar-dasarnya serta reliabilitas umum yang dapat untuk mengklaim sesuatu
sebagai ilmu pengetahuan.
Pembicaran tentang epistemologi akan
berkutat pada tataran apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahui.
Dengan demikian dalam pembahasan ini akan mengacu kepada beberapa teori tentang
pengetahuan itu sendiri. Membahas epistemologi tidak akan
lepas dari berbagai teori tentang pengetahuan, meskipun dalam realitasnya
banyak teori-teori tentang pengetahuan mempunyai perbedaan-perbedaan.
Terjadinya perbedaan tersebut akibat adanya perbedaan metode, objek, sistem
dan tingkat kebenarannya yang berbeda.
Menurut Suparlan Suhartono perbedaan
tersebut muncul akibat sudut pandang yang berbeda, metode yang bersumber dari
rasionalisme dan empirisme.menurut Suparlan dari kedua metode tersebut yang
lebih dapat dipercaya tergantung pada jenis dan sifat objek studi.
Sebagai contoh penganut empirisme lebih cenderung kepada teori korespondensi
tentang kebenaran, sedangkan penganut rasionalisme identik dengan teori
koherensi (Suparlan Suahrtono, 2005 :
157).
Dari kutipan tersebut dapat diambil
pemikiran bahwa kedua aliran tersebut membicarakan tentang hakekat kebenaran,
dikatakan membicarakan tentang kebenaran karena pada dasarnya semua pengetahuan
membahas dan mempersoalkan kebenaran. Amsal
Bakhtiar menyatakan bahwa pada hakekatnya epistemeologi adalah berusaha
membahas tentang pengetahuan, yang berhubungan dengan apa itu pengetahuan dan
bagaimana memperoleh pengetahuan (Amsal
Bakhtiar, 1999 : 37). Dari pendapat Amsal Bakhtiar tersebut memperjelas makna
epistemology, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan apa pengetahuan dan
bagaimana memperoleh pengetahuan.
Hal ini
menunjukkan bahwa epistemologi berusaha membedah pengetahuan tentang dirinya
sendiri dan berusaha mencari metode untuk mendapatkan pengetahuan. Mendapatkan
pengetahuan berarti berhubungan dengan mengetahui, menurut Amsal Bakhtiar
mengetahui sesuatu pada dasarnya adalah menyusun pendapat tentang suatu objek
dalam akal tentang sesuatu yang berada di luar akal (Amsal Bakhtiar, 1999 :
37). Pendapat Amsal Bakhtiar merupakan duplikasi dari
pendapat Aristoteles yang juga berpendapat seperti itu. Lebih lanjut Amsal
menyatakan bahwa penyusunan dalam akal bisa jadi sama dengan fakta di luar akal
dan bisa saja berbeda dengan yang diluar akal. Dengan kata lain, apakah
gambaran dalam akal akan sama dengan realitas di luar akal. Hal ini akan
merujuk kepada hakikat kebenaran.
Ada dua teori tentang kebenaran dan
hakikat pengetahuan, dua teori tersebut adalah realisme yang mempunyai
pandangan bahwa gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada di alam
nyata (dari fakta atau hakikat) (Amsal Bakhtiar, 1999 :
37). Artinya apa yang digambarkan akal
adalah sesuai dengan realitas di luar akal atau diri manusia. Dengan pendapat
tersebut aliran realisme berpendapat bahwa pengetahuan dianggap benar ketika
sesuai dengan kenyataan. Teori kedua tentang hakikat pengetahuan adalah idealisme.
Idealisme meyakini bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai
dengan realitas adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses mental/psikologis
yang bersifat subyektif (Amsal
Bakhtiar, 1999 : 39).
Dengan
demikian pengetahuan seorang idealis adalah bersifat subyektif. Sedangkan
menurut Suparlan Supartono, teori kebenaran
epistemologi dapat dibagi menjadi tiga yaitu, pertama, teori koherensi teori
dibangun berdasarakan hakikat pribadi rasional ilmu pengetahuan, karena
bersifat rasional, maka kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam ruang lingkup
bertaraf abstrak ideal (Suparlan Supartono, 2005 : 163-164). Ukuran kebenaran
diukur berdasarkan tingkat rasional,sejauh dapat diterima oleh akal. Kedua,
teori koresponden, teori ini dibangun berdasarkan hakikat empirik ilmu
pengetahuan. Karena itu, kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam ruanag
lingkup bertaraf konkret realistik. Ukuran kebenaran ditentukan dengan tingkat
empirik, sejauh dapat dialami di dalam realita konkret, artinya kebenaran ada
jika ada kesesuaian antara idea dengan pengalaman konkret. Ketiga, teori
pragmatik, teori ini dibangun berdasarkan hakikat rasional maupun empirik ilmu
pengetahuan. Kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam lingkup dialektis
rasional danempirik, akibatnya ukuran kebenaran bersatandardua dengan
menekankan pada nilai kegunaan dan dapat dikerjakan/parktis.
B. Epistemologi
Ilmu Menurut Islam
Sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa epistemologi adalah
bagaimana mengetahui pengetahuan. Islam menganjurkan bahkan mewajibkan umatnya untuk
menuntut ilmu. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa Allah akan meninggikan derajat
orang yang yakin dan berilmu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ
تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا
قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ
وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Hai orang-orang beriman apabila kamu
dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah
niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan:
“Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.( QS. Surat Al-Mujadalah :11).
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa
menuntut ilmu penting bagi manusia, karena dapat meningkatkan derajat manusia
di sisi Allah Swt dan di sisi manusia. Kebenaran
tersebut bermula ketika manusia mampu membaca-tanda-tanda kekuasaan Allah. Di
antara sarana untuk mengenal kebenaran adalah dengan membaca dan menulis.
Membaca dan menulis yang didasarkan kepada wahyu Allah/Al-Quran.dengan membaca
manusia akan mempunyai ilmu pengetahuan.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
|
|
|
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
|
|
|
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
|
|
|
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
|
|
|
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
|
|
|
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq:1-5).
Ayat tersebut menganjurkan kepada
manusia untuk banyak membaca, apakah membaca yang tersurat maupun membaca yang
tersirat. Tujuan dari pembacaan terhadap tanda-tanda/ayat-ayat Allah yang
tersurat maupun yang tersirat bertujuan agar manusia mendapatkan kebenaran,
mendapatkan ilmu pengetahuan. Ketika manusia mendapatkan pengetahuan maka
manusia akan mendapatkan kemuliaan, garansi kemuliaan ini hanya bagi manusia
yang yakin kepada Allah dan yang sekaligus mempunyai ilmu.
Al-Quran menyatakan bahwa tidak sama
antara orang yang berilmu pengetahuan dengan yang tidak berilmu pengetahuan.
أَمَّنْ
هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو
رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا
يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“(Apakah kamu Hai orang musyrik yang
lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud
dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang
dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar : 9).
Dalam ayat
tersebut juga dinyatakan bahwa hanya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran. Artinya adalah manusia yang berakal akan mendapatkan pelajaran dan
ilmu pengetahuan. Bahkan hanya orang yang berakallah yang dapat memahami
ayat-ayat Allah.
Dalam ayat lain Allah berfirman,
وَتِلْكَ
الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ ۖ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
“Dan perumpamaan-perumpamaan Ini kami
buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (QS. Al-Ankabut : 43).
Dengan demikian orang yang berilmu
akan mendapatkan pemahaman dari ayat-ayat Allah. Pemahaman orang-orang berilmu
akan menghasilkan kebenaran. Dan kebenaran yang paling dapat dipercaya adalah
kebenaran wahyu Allah.
Islam
memandang ilmu bukan terbatas pada eksperimental, tetapi lebih dari itu ilmu
dalam pandangan Islam mengacu kepada aspek sebagai berikut pertama, metafisika
yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap realitas yang agung, menjawab pertanyaan
abadi, yaitu dari mana, kemana dan bagaimana. Dengan menjawab pertanyaan
tersebut manusia akan mengetahui landasan berpijak dan memahami akan Tuhannya.
Kedua, aspek humaniora dan studi-studi yang
berkaitannya yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, hubungannya
dengan dimensi ruang dan waktu, psikologi, sosiologi, ekonomi dan lain
sebagainya. Ketiga aspek material, yang termasuk dalam aspek ini adalah alam
raya, ilmu yang dibangun berdasarkan observasi, eksperimen, seperti dengan uji
coba di laboratorium (M. Zainuddin, 2006 : 53).
Dari uraian di atas dapat dipahami
bahwa Islam tidak hanya menggunakan rasionalitas, empirisme saja dalam
menemukan kebenaran, tetapi Islam menghargai dan menggunakan wahyu dan intuisi,
ilham dalam mencari kebenaran.
فَبَعَثَ
اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْءَةَ
أَخِيهِ ۚ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَٰذَا الْغُرَابِ
فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي ۖ فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak
menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana
seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku,
Mengapa Aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu Aku dapat
menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang
yang menyesal (QS. Al-Maidah : 31).
Dari ayat tersebut dapat dipahami
bahwa untuk mendapatkan ilmu yang benar dapat muncul dari contoh-contoh dan fenomena
alam yang sengaja Allah ciptakan agar manusia memperhatikan dan mengambil
pelajaran. Bahkan dalam Al-Quran dinyatakan bahwa akal saja tidak akan mampu
mengambil kebenaran dari ayat-ayat Allah, untuk mencari kebenaran menurut
Al-quran tidak dapat mengandalkan akal sebagi satu-satunya jalan untuk
memperoleh kebenaran. Al-Quran menyatakan semau tanda-tanda /ayat-ayat Allah
tidak ada gunanya keculai bagi mereka yang beriman. Dalam ayat lain Allah
memberi dorongan kepada manusia untuk menggunakan inderanya agar mendapatkan
pengetahuan dan kebenaran.
أَلَمْ
تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُزْجِي سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ
رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ
مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَصْرِفُهُ عَنْ
مَنْ يَشَاءُ ۖ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ
“Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan,
Kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, Kemudian menjadikannya
bertindih-tindih, Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan
Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari
(gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, Maka ditimpakan-Nya
(butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya
dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir
menghilangkan penglihatan” (QS. An-Nur : 43).
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa tidak
semua orang akan mendapatkan kebenaran, hal ini membuktikan bahwa meskipun
manusia mempunyai akal tetapi dengan akalnya ia tidak serta merta mendapatkan
kebenaran hakiki. Kalau tidak izin Allah dan kehendak Allah maka manusia tidak
akan mendapatkan ilmu dan kebenaran. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa
Allah menganjurkan kepada manusia untuk menggunakan panca inderanya untuk
memahami ayat-ayat/ tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengan demikian panca indera
merupakan jalan untuk mendapatkan ilmu dan kebenaran.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ
مَاءً ۖ لَكُمْ مِنْهُ شَرَابٌ وَمِنْهُ شَجَرٌ فِيهِ تُسِيمُونَ
|
|
|
يُنْبِتُ لَكُمْ بِهِ الزَّرْعَ
وَالزَّيْتُونَ وَالنَّخِيلَ وَالْأَعْنَابَ وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ ۗ إِنَّ
فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
|
|
|
وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ۖ وَالنُّجُومُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ ۗ إِنَّ فِي
ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
|
|
|
”Dia-lah, yang Telah menurunkan air hujan dari langit
untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan)
tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia
menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur
dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan dia menundukkan
malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu
ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)” (QS. An-Nahl
: 10-12).
Al-Quran menganjurkan kepada manusia
untuk menggunakan akal untuk memperoleh pengetahuan, dengan berbagai fonomena
akal manusia dapat memahami tanda-tanda kekuasaan Allah.
أَفَلَمْ
يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ
يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى
الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu
mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah
mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (QS. Al-Hajj : 46).
Meskipun Islam menyuruh akal manusia
untuk memahami, meneliti ayat-ayat Allah, tetai peran akal dalam eksperimen
tidak sebebas-bebasnya. Dalam arti masih ada batas akhir dari kemampuan akal
untuk mencapai kebenaran. Ketika akal manusia terbentur maka yang berlaku pada
saat itu adalah keimanan terhadap wahyu Allah. Dengan demikian adanya anggapan
bahwa eksperimen-eksperimen ilmiah sudah mencukupi untuk menemuklan kebenaran
tentang adanya Tuhan, sudah cukup untuk menjadi sarana mengenal Tuhan. Padahal
Allah mengatakan bahwa Al-Quran adalah sebuah kitab yang tidak ada keraguan di
dalamnya dan merupakan petunjuk bagi orang –orang yang bertakwa. Yang
membenarkan kitab-kitab yang diturunkan Allah sebelumnya.
الم
|
|
|
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ
هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
|
|
|
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
|
|
|
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ
إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
|
|
|
أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ
وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
|
|
|
“Alif laam miin. Kitab (Al Quran) Ini
tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka
yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman
kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang
Telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah
orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Baqarah : 1-5).
Panca indera adalah alat bagi akal
untuk mencerap pengetahuan. Akal akan sempurna ketika diperkaya oleh wawasan
yang didapatkan melalui indera.
وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَمِعُونَ إِلَيْكَ ۚ
أَفَأَنْتَ تُسْمِعُ الصُّمَّ وَلَوْ كَانُوا لَا يَعْقِلُونَ
|
|
|
وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْظُرُ إِلَيْكَ ۚ
أَفَأَنْتَ تَهْدِي الْعُمْيَ وَلَوْ كَانُوا لَا يُبْصِرُونَ
|
|
|
“Dan di antara mereka ada orang yang
mendengarkanmu. apakah kamu dapat menjadikan orang-orang tuli itu mendengar
walaupun mereka tidak mengerti. Dan di antara mereka ada orang yang melihat
kepadamu, apakah dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta,
walaupun mereka tidak dapat memperhatikan (QS. Yunus
: 42-43).
Pengetahuan yang bersifat inderawi
dapat dicerap secara inderawi, sedangkan pengetahuan yang bersifat non
inderawi/metafisika hanya dapat diyakini dan dibenarkan dengan keimanan.
وَلِلَّهِ
غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang
ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan
semuanya, Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. dan sekali-kali
Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan” (QS. Hud : 123).
عَالِمُ
الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا
“(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui
yang ghaib, Maka dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib
itu (QS. Al-Jinn : 26)”.
قُلِ
اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا ۖ لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ
أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ ۚ مَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا يُشْرِكُ
فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
“Katakanlah: “Allah lebih mengetahui
berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang
tersembunyi di langit dan di bumi. alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah
tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka selain dari
pada-Nya; dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam
menetapkan keputusan” (QS. Al-Kahfi : 26).
سُبْحَانَ
الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ
أَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ
“Maha Suci Tuhan yang Telah
menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh
bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui (QS. Yaasin : 36).
Ayat tersebut memberikan informasi
bahwa ada pengetahuan yang mampu didapatkan oleh manusia, ada juga pengetahuan
belum mampu diketahui oleh manusia. Tetapi semua pengetahuan itu telah
disedaikan Allah untuk manusia, manusia tinggal mencari pengetahuan tersebut
berdasarkan panca indera yang diberikan Allah serta dengan panduan wahyu yang
telah Allah turunkan. Dengan demikian ada kemungkinan manusia mengetahui rahasi
pengetahuan yang diberikan Allah, permasalahannya hanya terletak pada kemampuan
manusia untuk menggunakan panca indera sebagai alat akal dan menggunakan wahyu
sebagi sumber pengetahuan dan elemen dasar sebagai pijakan dalam melakukan
penelitian dan eksperimen.
Eksperimen pun terbatas kepada
pengetahuan bersifat fisika, sedangkan yang bersifat metafisika seprti surga,
neraka, malaikat,azab kubur, iblis, mizan, shirat dan peristiwa hari kiamat itu
adalah kajian wahyu dan hanya dapat diimani tidak dapat diakal-akali. Dalam
arti tidak dapat diteliti dengan panca indera, tetapi hanya dapat diyakini
kebenarannya. Islam mengakui adanya kemampua panca indera dan akal untuk
mencapai pengetahuan dan kebenaran, tetapi Islam juga tidak menafikan kelemahan
panca indera dan akal, di sisi lain, Islam mengakui adanya pengetahuan yang
tidak didapatkan manusia melalui panca indera, tidak melalui perenungan,
eksperimen, pengetahuan tersebut dapat diperoleh secara langsung tanpa
adametode ilmiah, eksperimen, pengamatan dan lain sebagainya, pengetahuan
langsung tersebut adalah wahyu.
إِنَّا
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَىٰ نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ
بَعْدِهِ ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ
وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَعِيسَىٰ وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ
وَسُلَيْمَانَ ۚ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا
“Sesungguhnya kami Telah memberikan wahyu kepadamu
sebagaimana kami Telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang
kemudiannya, dan kami Telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il,
Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan kami
berikan Zabur kepada Daud” (QS.
An-Nisa : 163).
Ayat tersebut menerangkan bahwa
manusia dapat mempunyai ilmu pengetahuan tanpa adanya eksperimen, pengamatan,
penalaran, tahap coba-coba maupun metode ilmiah, pengetahuan tersebut adalah
pengetahuan yang langsung diberikan Allah kepada manusia.
وَلَمَّا
دَخَلُوا مِنْ حَيْثُ أَمَرَهُمْ أَبُوهُمْ مَا كَانَ يُغْنِي عَنْهُمْ مِنَ
اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا حَاجَةً فِي نَفْسِ يَعْقُوبَ قَضَاهَا ۚ وَإِنَّهُ
لَذُو عِلْمٍ لِمَا عَلَّمْنَاهُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
”Dan tatkala mereka masuk menurut
yang diperintahkan ayah mereka, Maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah
melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu Hanya suatu
keinginan pada diri Ya’qub yang Telah ditetapkannya. dan Sesungguhnya dia
mempunyai pengetahuan, Karena kami Telah mengajarkan kepadanya. akan tetapi
kebanyakan manusia tiada Mengetahui”. (QS. Yusuf
: 68)
Ayat tersebut memebri gambaran bahwa
Allah berhak memberi pengetahuan tanpa harus melakukan penelitian, tanpa
eksperimen. Pengetahuan tersebut bersifat kewahyuan yang diberikan kepada
manusia yang telah dipilih oleh Allah, dan kebenaran dari pengetahuan tersebut
terjamin dari kesalahan. Dalam arti tidak ada semacam eksperimen, pengamatan.
Pengetahuan seperti ini bersifat kebenaran hakiki.
Islam mengakui adanya pengetahaun
yang didapat melalui mimpi yang benar. Mimpi dalam Islam dapat menjadi sumber
pengetahuan, pengetahuan melalui mimpi tidak dapat dicari secara metode ilmiah,
metode eksperimen, metode penelitian, maupun pengamatan.
رَبِّ
قَدْ آتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ ۚ
فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ
تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ
”Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau Telah menganugerahkan
kepadaku sebahagian kerajaan dan Telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir
mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan
di akhirat, wafatkanlah Aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah Aku dengan
orang-orang yang saleh” (QS. Yusuf : 101).
Pengetahuan dan kebenaran dalam Islam
dapat diperoleh melalui ilham.
وَإِذْ
أَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ آمِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا آمَنَّا
وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ
”Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut
Isa yang setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku”. mereka
menjawab: kami Telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa Sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)” (QS. Al-Maidah: 111)
Kebenaran dan pengetahuan dapat
diperoleh manusia melalui ilham yang langsung diberikan Allah kepada manusia
yang telah dipilih-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam pengetahuan dan
kebenaran tidak harus melalui metode ilmiah, penelitian, tetapi dapat langsung
diperoleh manusia melalui ilham. Dalam ayat lain Allah juga memberi ilham
kepada ibu Musa.
وَأَوْحَيْنَا
إِلَىٰ أُمِّ مُوسَىٰ أَنْ أَرْضِعِيهِ ۖ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي
الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي ۖ إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ
وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
“Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa;
“Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah dia ke
sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati,
Karena Sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya
(salah seorang) dari para rasul.” (QS. Qashas : 7)
Ayat tersebut secara jelas
memberikan fakta bahwa pengetahuan dapat di peroleh manusia melalui ilham yang
langsung diberikan Allah kepada manusia yang dikehendakinya. Dengan demikain
dapat dipahamai bahwa epistemology dalam islam menyatukan akal dan mengarahkannya
untuk mencapai pengetahuan dan kebenaran berdasarkan wahyu, keimanan kepada
Allah. Islam mengakui kemampuan akal, panca indera, tetapi Islam juga memngakui
ilham, mimpi dan wahyu sebagai sarana mendapatkan ilmu langsung dari Tuhan. Dan
pengetahuan dan kebenaran yang didapatkan dari sarana tersebut tidak dapat
diperoleh melalui metode ilmiah apapun.
Sebagai uraian penutup pada poin
ini, perlu sebagai dipahami bahwa pengetahuan dalam Islam berawal dari sebuah
keyakinan/ premis keyakinan. Keyakinan akan kebenaran al-Quran sebagai sumber
pengetahuan. Dikatakan al-Quran sumber pengetahauan karena di antara fungsi
al-Quran adalah sebagai petujuk dan pembeda antara yang hak dan yang batil.
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
“ (beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur (Al-Baqarah: 185).
Ayat tersebut secara jelas
memberikan informasi bahwa al-Quran adalah sumber petunjuk kebaikan bagi
manusia, penjelas tentang segala sesuatu yang tidak dipahami oleh manusia. Penjelas
tentang peristiwa masa lalu, masa yang akan datang dan masa metafisika/
akherat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Al-Quran adalah sumber
pengetahuan bagi manusia,baik yang bersifat fisika maupun metafisika.
Islam sangat peduli terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan, banyak ayat yang memberi motivasi agar manusia
berusaha mencari ilmu dan menenliti, hal ini membuktikan bahwa kedudukan ilmu dalam
Islam sangat diperhatikan dan diutamakan. Bahkan dalam ayat 11 surat al-Mujadilah Allah berjanji akan meningggikan orang yang beriman dan berilmu.
...وَإِذَا
قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ
وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“...Dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”(Q.S Al-Mujadilah :
11)
Agar manusia berilmu Allah memberi
pengajaran, di atara ayat yang memberi sinyal pengajaran adalah sebagai
berikut:
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ
مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ
وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di
laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari
langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati
(kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat)
tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (QS. Al-Baqarah : 164)
Dari ayat tersebut dapat dipahami
bahwa sumber dari pengetahuan dalam Islam adalah wahyu. Dan untuk mendapatkan
ilmu tersebut adalah dengan mempergunakan panca indra dan akal yang kesemua
kegiatan tersebut dikendalikan oleh iman dan wahyu. Wahyu
merupakan puncak segala sumber pengetahaun yang merupakan manisfestasi dari
firman Allah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat di
simpulkan epistemologi pada hakikatnya
adalah membahas tentang pengetahuan, apa itu pengetahuan, dan bagaimana
memperoleh pengetahuan. Epistemologi dalam Islam adalah pengetahuan dikatakan
pengetahuan jika pengetahuan itu menjadi ilmu yang bermanfaat bagi manusia
untuk kebagiaan hidup di dunia dan akherat, bermanfaat bagi diri dan orang lain
serta dengan ilmu pengetahuan tersebut mendekatkan dirinya kepada Allah. Untuk
mendapatkan ilmu menurut islam adalah dengan mempergunakan panca indra, akal
dan hati untuk melihat, mencermati dan menneliti ayat-ayat Allah baik yang
qauniyah maupun yang qauliyah, yang tersirat dan tersurat. Dan semua itu
dibingkai dengan keimanan dan kendali wahyu.
DAFTAR
PUSTAKA
Azizy A.
Qodri. 2003. Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman. Jakarta: Dipertais Agama RI.
Bakhtiar, Amsal. 1999. Filsafat
Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Hadi, Hardono. 1994. Epistemologi;Filsafat
Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.
Khuza’i, Rodliyah. 2007. Dialog Epistemologi Mohammad Iqbal dan Charles
S. Peirce. Bandung: Refika Aditama.
Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar harapan.
Supartono, Suparlan. 2005. Filsafat
ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.