Masalah merupakan adanya
kesenjangan antara harapan dan kenyataan, adanya jurang yang memisahkan fakta
dan hal-hal idealis. Kondisi ideal yang saya bahas di sini terkait syariat
dalam agama Islam, bahwa rencana pernikahan itu sepatutnya disegerakan,
dimudahkan dan jangan dipersulit.
ثَلاثَةٌ يَا عَلِيُّ لاَ تُؤَخِّرْهُنَّ : الصَّلاةُ إِذَا أَتَتْ ، وَالْجَنَازَةُ إِذَا حَضَرَتْ ، وَالأَيِّمُ إِذَا وَجَدَتْ كُفُؤًا
“Wahai Ali, ada tiga perkara yang tidak boleh
engkau tunda, yakni shalat jika telah tiba waktunya, jenazah apabila telah
hadir, dan wanita apabila telah ada calon suami yang sekufu” (HR. Tirmidzi dan Ahmad; hasan)
Namun, budaya terkadang
dianggap menyulitkan atau menghambat niat ibadah tersebut, meskipun sebenarnya
ada hikmah di balik ketentuan adat yang terlihat "menghambat"
tersebut. Di Indonesia, khususnya suku bugis, ketentuan memberikan mahar untuk
mempelai wanita, disertai dengan adanya "sompa". Mahar sendiri
biasanya dalam bentuk emas sekian gram, sedangkan sompa biasanya dalam wujud
tanah, sawah ataupun rumah. Selain itu, adapula yang disebut "uang
panaik" atau disebut juga sebagai uang belanja, yakni uang yang digunakan
untuk menyiapkan segala keperluan untuk melangsungkan acara pernikahan. Tingginya
ukuran mahar untuk suku bugis ini bahkan dimasukkan dalam daftar 5 mahar wanita
termahal di Indonesia menurut tulisan salah seorang blogger.
Dari 3 hal yang disebutkan
tadi, hanya Mahar yang merupakan hal wajib dalam syariat Islam. itupun
dianjurkan untuk dimudahkan. Rasulullah bersabda, “Perempuan yang baik hati adalah yang murah
maharnya, memudahkan urusan perkawinannya dan baik akhlaknya. Adapun perempuan
yang celaka yaitu yang mahal maharnya, menyusahkan perkawinannya, dan buruk akhlaknya.”
خَيْـرُ النِّكَـاحِ أَيْسَـرُهُ
"Sebaik-baik pernikahan ialah yang
paling mudah.'" (HR. Abu Dawud, no. 2117)
Dalam riwayat lain Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
إِنَّ أَعْظَمَ
النَّكَـاحِ بَرَكَةً أَيَسَرُهُ مُؤْنَةً
"Pernikahan yang paling besar
keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya." (HR. Ahmad, no.
24595)
Faktanya, kondisi di
masyarakat tidaklah semudah kondisi yang sepatutnya tadi. Faktor budaya
seakan-akan turut andil dalam menentukan suksesnya suatu niat pernikahan. Pada dasarnya,
secara syariat rukun nikah diketahui ada lima (5) hal, yakni:
1.
Mempelai laki-laki
2.
Mempelai perempuan
3.
Wali
4.
Saksi, dan
5.
Ijab qabul
Ya, hanya 5 hal. Tetapi pada
kanyataannya, banyak yang menyulitkan dengan menambahkan berbagai persyaratan
lagi, seperti: lulusan sarjana, punya kerja tetap, keturunan ningrat, wajah
artis, punya mobil, punya rumah, usia sudah matang, tidak melangkahi kakak,
kecocokan tanggal lahir dan kecocokan anak keberapa.
Bahkan ada yang mematok
besarnya mahar atau uang panaik tergantung kondisi calon mempelai wanita. Semakin
tinggi tingkat pendidikan maka akan berbanding lurus dengan jumlah mahar/uang
panaik yang ditetapkan keluarga wanita. Belum lagi jika wanita sudah menunaikan
ibadah haji sehingga bergelar Haji, dan berasal dari strata sosial yang tinggi,
misalnya menyandang gelar kebangsawanan “Andi” dalam budaya bugis. Maka, biasanya wanita tadi hanya akan
dinikahkan dengan laki-laki yang juga bergelar “Andi”. Kondisi ini seakan-akan
seperti “transaksi penjualan”. Semua hal tersebut tidak sepatutnya dilestarikan
adanya. Naudzubillah min dzalik.
Agama sudah menetapkan
syarat-syarat yang tidak menyusahkan pemeluknya, sehingga mestinya tidak
ditambahkan lagi dengan berbagai hal tadi. Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ
تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ
فِي اْلأَرْضِ وَ
فَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya
kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak
melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Al-Irwa’ no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
Dalam hadist tersebut
kembali mengisyaratkan tentang menyegerakan pernikahan ketika agama dan akhlak
telah dinilai baik -Tentu saja sebelumnya sang calon mempelai tidak ada dalam
kondisi terpaksa-. Tidak ada dalil yang menyebutkan harus selesai kuliah s1
atau s2, tidak ada juga yang mengharuskan kemapanan finansial. Oleh karena itu,
alangkah baiknya orang tua yang akan menikahkan anaknya menyadari, memahami dan
menerapkan syariat agama ini.
Sungguh budaya telah banyak
terbukti menyulitkan niat menikah. At
least seperti hebohnya kasus video Risna, seorang wanita yang hadir di
pernikahan mantannya. Pemandangan yang terlihat begitu memilukan. Kasus ini
diduga disebabkan oleh budaya menetapkan “uang panaik” yang terlalu tinggi
sehingga menyusahkan calon mempelai pria. Wallahu a’alam.
Salah satu tokoh nasional
negeri kita, ulama, politisi sekaligus sastrawan besar, Buya Hamka pernah
berpesan bahwa “Cari pasangan itu, nggak
mesti mapan yang penting kamu tahu apa rencana dia untuk ke depannya dan kamu
ada dalam rencana itu. Dan profesinya tidak harus ini dan itu, memang cinta
butuh makan namun ada satu perasaan ketika kamu mau untuk berjuang bersama,
maka itu lebih terasa nikmat”
Kiranya tulisan ini dapat membuka
cakrawala pemikiran masyarakat agar melestarikan budaya tanpa menafikan syariat
agama. Mohon maaf jika ada uraian yang kurang tepat. Wassalam
Sumber Rujukan:
http://bersamadakwah.net/tiga-hal-yang-tak-boleh-ditunda/
http://www.voa-islam.com/read/muslimah/2010/04/11/4982/wahai-muslimah-ringankanlah-maharmu/#sthash.xpkGZ8K8.dpbs