The wedding alias pernikahan sejatinya
merupakan moment yang membahagiakan
dan ditunggu-tunggu bagi sang mempelai. Betapa tidak, bersanding dengan orang
yang dicintai yang mungkin sudah sejak lama menjelma menjadi kenyataan. They said “Dream come true, finally”. Namun
faktanya, kisah dibalik duduknya sepasang mempelai di pelaminan tidak selamanya
seindah itu.
Memang
begitu banyak kisah cinta yang berakhir happy
ending, hingga menginspirasi pembuatan sebuah lagu, novel apalagi film. Namun,
di sisi lain banyak pula kisah “tanpa” cinta yang kemudian bersama juga di
singgasana sehari or berhari-hari itu…
Kisah “happy ending” memang
keinginan semua orang. Banyak tulisan ataupun cerita yang ditulis dengan segala
jenis sudut pandang, setting, konflik
ataupun likuan hidup sang tokoh dalam kisah cintanya yang pada akhirnya bahagia.
Tetapi, untuk menjadi bahan tulisan saya kali ini, sepertinya hal itu sudah
terlampau mainstream.
Menikah = menemukan jodoh? Setujukah
Anda? Apakah hakikat jodoh itu? Menurut KBBI, jodoh adalah pasangan hidup,
cocok sebagai suami istri. Yang seperti apakah konsep cocok itu? Sekilas, saya
akan menguraikan konsep jodoh yang pernah dijelaskan oleh dosen saya di ruang
kuliah sekira dua tahun yang lalu.
Konsep pertama, jodoh ada yang
sebagai takdir adapula yang sebagai pilihan. Jodoh dianggap sebagai takdir ketika sejauh penilaiannya
tentang calonnya sebelum menikah adalah positif atau cukup postif untuk
diteruskan. Namun, setelah menikah ternyata penilaian itu terbalik. Sedangkan
ketika selama mengenal calonnya, penilaiannya memang negatif. Namun, dengan statement “terlanjur cinta” or “cinta
itu buta”, maka pernikahan pun berlangsung. Setelah itu semua perlakuan negatif
semakin menjadi-jadi, semakin berkembang melebihi penilaian awal yang memang
sudah meragukan. Hingga pada akhirnya pada kondisi itu jodoh disebut sebagai pilihan.
Konsep kedua, ketika adanya status pernikahan
yang mengikat dalam waktu yang sama dengan beberapa lawan jenis (poligami/poliandri)
atau menikah lebih dari satu kali setelah cerai dengan pasangan sebelumnya,
maka yang manakah jodohnya? Menurut dosen saya yang juga seorang uztad itu,
jawabannya adalah pasangan yang bersamanya saat akhir hayatnya. Contohnya sebut
saja, John menikah dengan Clara. Kemudian John meninggal. Clara pun menikah
lagi dengan Romeo. Sampai akhir hayat Clara, ia berstatus sebagai istri Romeo. Maka,
kesimpulannya adalah bagi John, jodohnya adalah Clara. Namun bagi Clara sendiri,
John bukanlah jodohnya. Jodoh Clara adalah Romeo.
Dengan demikian, definisi kata jodoh
dalam KBBI mungkin dapat dilengkapi menjadi pasangan hidup yang cocok hingga
akhir hayat. Kata cocok di sini kembali masih memiliki tingkat abstraksi yang
tinggi. Bisa jadi kata kata cocok menjadi relatif berbeda bagi tiap pasangan. Wallahu
A’lam Bishawab.
Kecocokan
mungkin bisa ditemukan setelah melewati sesi akad nikah. Hal ini biasanya berlaku
bagi yang menikah tanpa merasa sudah mengenal betul siapa pasangannya. Berbeda dengan
pasangan yang sudah lama saling mengenal sebelumnya. Baik melalui tahap pacaran
maupun ta’aruf. Mereka pada dasarnya memiliki modal ketertarikan satu sama lain
sehingga memutuskan untuk bersatu dalam pernikahan.
Lantas,
bagaimana dengan mereka yang menikah dalam keadaan TERPAKSA? Banyak motif yang
melatarbelakangi hal tersebut. Bisa jadi karena adanya “kecelakaan” ataupun perjodohan.
Kisah pernikahan melalui perjodohan pada dasarnya tidak selamanya karena
terpaksa. Ada tipe individu yang mungkin berprinsip tidak mau pusing dengan
persoalan siapa jodohnya, bahkan cuek dengan lawan jenisnya. Sehingga, hanya
menunggu tawaran keluarga ataupun kerabat. Dalam kondisi ini tidak ada masalah
ketika keduanya dipertemukan dan sama-sama ikhlas untuk dinikahkan.
Namun,
bagaimana dengan upaya perjodohan untuk individu yang sudah memiliki calon
sendiri ataupun belum tapi tidak menyukai calon yang ditawarkan. Mereka dipaksa
dengan berbagai alasan. Pada banyak kasus, orang tua menjodohkan anaknya untuk
melanggengkan bisnisnya ataupun untuk menyelamatkan bisnisnya dari
keterpurukan. Sang anak, yang biasanya wanita seakan menjadi tumbal yang harus
berkorban. Masih banyak lagi jenis-jenis motif perjodohan yang intinya akhirnya
harus terpaksa menerima.
Saat-saat
terpaksa menerima biasanya setelah adanya upaya intimidasi dan intervensi dari
berbagai pihak hingga pada akhirnya menyerah pada keadaaan. Apapun itu, tetap
saja berlatarbelakang keterpakasaan. Faktanya, dalam berbagai kasus banyak yang
pada akhirnya berhasil alias tetap happy
ending. Namun, tidak sedikit pula yang gagal alias unhappy ending. Naudzubillah.
Secara
hukum, kawin paksa adalah perkawinan yang dilaksanakan tanpa didasari atas
persetujuan kedua calon mempelai, hal ini bertentangan dengan pasal 6 ayat 1
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai”. Syarat pernikahan pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
Adanya persetujuan kedua calon
mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan dimaksudkan agar setiap orang
dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam perkawinan.
Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-Undang Perkawinan, dapat dihubungkan
dengan sistem perkawinan pada zaman dulu, yaitu seorang anak harus patuh pada
orang tuanya untuk bersedia dijodohkan dengan orang yang dianggap tepat oleh
orang tuanya. Sebagai anak harus mau dan tidak dapat menolak kehendak orang
tuanya, walaupun kehendak anak tidak demikian. Untuk menanggulangi kawin paksa,
Undang-Undang Perkawinan telah membeClaran jalan keluarnya, yaitu suami atau
istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk pasal 27 ayat (1)
apabila paksaan untuk itu dibawah ancaman yang melanggar hukum.
Hukum Pernikahan karena Paksaan
Orang Tua
Abu Hurairah radhiallahu anhu
berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak
boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak
boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka
bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab,
“Dengan ia diam.”
(HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu
anhuma bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya.”
(HR. Muslim no. 1421)
Dari Khansa’ binti Khidzam Al-Anshariyah radhiallahu
anha:
“Bahwa ayahnya pernah menikahkan dia -ketika itu dia janda- dengan laki-laki yang tidak disukainya. Maka dia datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (untuk mengadu) maka Nabi shallallahu alaihi wasallam membatalkan pernikahannya.”
(HR. Al-Bukhari no. 5138)
Al-Bukhari memberikan judul bab
terhadap hadits ini, “Bab: Jika seorang lelaki menikahkan putrinya sementara
dia tidak senang, maka nikahnya tertolak (tidak sah).”
Penjelasan ringkas:
Di antara kemuliaan yang Allah
Ta’ala berikan kepada kaum wanita setelah datang Islam adalah bahwa mereka
mempunyai hak penuh dalam menerima atau menolak suatu lamaran atau pernikahan,
yang mana hak ini dulunya tidak dimiliki oleh kaum wanita di zaman jahiliah.
Karenanya tidak boleh bagi wali wanita manapun untuk memaksa wanita yang dia
walikan untuk menikahi lelaki yang wanita itu tidak senangi.
Karena menikahkan dia dengan
lelaki yang tidak dia senangi berarti menimpakan kepadanya kemudharatan baik
mudharat duniawiah maupun mudharat diniah (keagamaan). Dan sungguh Nabi
shallallahu alaihi wasallam telah membatalkan pernikahan yang dipaksakan dan
pembatalan ini menunjukkan tidak sahnya, karena di antara syarat sahnya
pernikahan adalah adanya keridhaan dari kedua calon mempelai.[1]
Terlepas dari sudut pandang hukum
yang telah diuraikan sebelumnya. Selanjutnya, secara psokologis, dapat
diprediksi bagaimana kondisi mereka yang mengalami keadaan tersebut. Tekanan batin
yang begitu menghantui hingga menyebabkan stress sangat mungkin terjadi. Namun,
banyak faktor yang mempengaruhi kualitas ketahanan seseorang dalam menghadapi
stress.
Karakter individu yang berkepribadian
phlegmatis cenderung lebih mudah menyerah dan mengikuti arus. Pasrah karena
tidak bisa berbuat apa-apa lagi dan tentu saja menghindari konflik
berkepanjangan akhirnya bisa memendam ego kekecewaannya. Meskipun demikian,
mungkin ada konsekuensi perubahan sikap menjadi lebih tertutup. Sedangkan bagi
mereka yang berkepribadian sanguinis, koleris, apalagi melankolis, agaknya agak
lebih sulit menerima keadaaan. Mungkin harus mengambil langkah tindakan ekstrim
sebelum pada akhirnya harus menyerah.
Sebagai penutup pada tulisan
kali ini, sejatinya pada Allah jualah kita mengembalikan segala problem yang
dihadapi. Apapun yang terjadi, yakinlah itu yang terbaik menurut Allah. Dia
yang maha Tahu mengenai hamba-hambanya. Allah Swt, berkalam:
“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS.
Al Baqarah: 216)
Like dislike dalam hidup ini adalah warna dinamika kehidupan.
Like dislike dalam hidup ini adalah warna dinamika kehidupan.
[1]https://lordbroken.wordpress.com/2011/12/23/janganlah-menikah-karena-paksaan-memaknai-perjodohan-yang-dipaksakan-dalam-sudut-pandang-hukum-negara-dan-hukum-agama-islam/