A.
Pendekatan Fenomenologi
Istilah
fenomenologi digunakan untuk menandai suatu metode filsafat yang ditentukan
oleh Edmund Husserl. Menurut Leiter, Husserl berusaha mengembangkan suatu
fenomenologi transcendental, yang berbeda dengan fenomenologi eksistensial.
Kedua fenomenologi tersebut sama-sama memusatkan perhatian pada soal kesadaran
(consciousness).
Sumbangan pemikiran Husserl lainnya adalah konsepnya tentang natural
attitude. Konsep inilah yang menghubungkan filsafat fenomenologi dengan
sosiologi. Lewat konsep ini Husserl ingin mengemukakan bahwa Ego yang berada
dalam situasi tertentu biasanya menggunakan penalaran yang sifatnya praktis,
seperti dalam kehidupan sehari-hari. Natural attitude ini disebut juga commonsense
reality. Oleh Husserl, natural attitude ini dibedakan dengan theoretical
attitude dan mytical religious attitude. Dengan perbedaan ini
Husserl meletakkan salah satu ide pokok yang kemudian dikembangkan oleh Shutz
yang mengaitkan attitude dengan bisa tidaknya terjadi proses interaksi social.
Fenomenologi
Secara ringkas bahwa pendekatan fenomenologi bertujuan memperoleh
interpretasi terhadap pemahaman manusia (subyek) atas fenomena yang tampak dan
makna dibalik yang tampak, yang mencul dalam kesadaran manusia (subyek), untuk
dapat mengetahui aspek subyektif tindakan orang dalam kehidupan sehari-hari
kita harus masuk kedalam dunia kesadaran (konseptual) subyek yang diteliti.
Penelitian
fenomenologi
mencoba
menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari
oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan
dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau
memahami fenomena yang dikaji. Menurut Creswell (1998:54), Pendekatan
fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan
dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche (jangka waktu). Konsep
epoche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan interpretasi peneliti.
Konsep epoche menjadi pusat dimana peneliti menyusun dan mengelompokkan dugaan
awal tentang fenomena untuk mengerti tentang apa yang dikatakan oleh responden.
B.
Pendekatan Grounded Theory
Grounded
theory dikemukakan oleh Barney Glaser dan Anselm Strauss yang menyatakan
...the discovery of theory from data which we call Grounded theory...atau
dengan kata lain , teori harus dibangun beralas (grouended) pada data....
Grounded theory merujuk pada teori yang dibangun secara indektif dari suatu
kumpulan data.
Pada penelitian dengan menggunakan
strategi ini, peneliti langsung terjun ke lapangan tanpa membawa rancangan
konseptual, teori, dan hipotesis tertentu. Glesser dan Strauss mengetengahkan
dua jenis teori, yaitu teori substantive tertentu, atau empiris, dari
pengamatan bersifat sosiologis, seperti perawatan pasien, pendidikan
professional, kenakalan atau penyimpangan adapt, hubungan ras, atau
organisasi/badan penelitian. Sedangkan teori formal ditemukan dan dibentuk
untuk kawasan kategori konseptual teoritik atau untuk bidang pengamatan
sosiologis formal atau konseptual, seperti tanda cacat, tingkah laku yang
menyimpang dari adapt, organisasi formal, sosialisasi, kekuasaan, dan kekuatan
sosial, atau mobilitas sosial.
Menurut Schlegel dan Stern, ada tiga elemen dasar dari grounded theory, yang
masing-masing tidak terpisahkan satu dengan yang lain, yaitu (1) konsep; (2)
kategori; (3) proposisi.
1)
Konsep
Dalam grounded
theory, teori dibangun dari konsep, bukan langsung dari data itu sendiri.
Sedangkan konsep diperoleh melalui konseptualitas dari data. Tipe konsep yang
harus dirumuskan ada dua ciri pokok, yaitu (1) konsep itu haruslah
analitis-telah cukup digeneralisasikan guna merancang dan menentukan cirri-ciri
kesatuan yang kongkrit, tetapi bukan kesatuan itu sendiri; dan (2) konsep juga
harus bisa dirasakan artinya bisa mengemukakan gambaran penuh arti, ditambah
dengan ilustrasi yang tepat, yang memudahkan orang bisa menangkap referensinya
dari segi pengalamannya sendiri.
2)
Kategori
Kategori adalah unsur
konseptual dari suatu teori, sedangkan kawasannya adalah aspek atau unsur suatu
kategori. Kategori maupun kawasannya adalah konsep yang ditujukan oleh data
yang pada mulanya menyatakannya, maka kategori dan kawasannya ini akan tetap,
jadi tidak akan berubah atau menjadi lebih jelas ataupun meniadakan.
3)
Proposisi
atau Hipotesis
Pada elemen ketiga
ini, pada awalnya Glaser dan Strauss (1967) menyebut sebagai hipotesis, tetapi
istilah proposisi tampaknya dianggap paling tepat. Hal ini dikarenakan disadari
bahwa proposisi menunjukkan adanya hubungan konseptual, sedangkan hipotesis
lebih menunjuk pada hubungan terukur. Dalam grounded theory yang
dihasilkan adalah hubungan konseptual, bukan hubungan terukur sehingga
digunakan istilah-istilah proposisi. Hipotesis dalam penelitian grounded adalah
suatu pernyataan ilmiah yang terus dikembangkan.
Walaupun
suatu studi pendekatan menekankan arti dari suatu pengalaman untuk sejumlah
individu, tujuan pendekatan grounded theory adalah untuk menghasilkan atau
menemukan suatu teori yang berhubungan dengan situasi tertentu . Situasi di
mana individu saling berhubungan, bertindak, atau terlibat dalam suatu proses
sebagai respon terhadap suatu peristiwa. Inti dari pendekatan grounded
theory adalah pengembangan suatu teori yang berhubungan erat
kepada konteks peristiwa dipelajari.
C.
Pendekatan Studi Kasus
Penelitian studi
kasus adalah studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan
batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan
berbagai sumber informasi. Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat, dan
kasus yang dipelajari berupa program, peristiwa, aktivitas, atau individu.
Menurut Stake (dalam Denzin dan Lincoln, 1991: 202) studi kasus merupakan salah
satu strategi yang banyak dilakukan dalam penelitian kualitatif, meskipun tidak
semua penggunaan studi kasus ini merupakan penelitian kualitatif. Fokus dari
studi kasus ini melekat pada paradigma yang bersifat naturalistik, holistik,
kebudayaan, dan fenomenologi.
Menurut Yin (1993), ada beberapa jenis studi kasus, yaitu studi kasus yang
bersifat exploratory, and descriptive. Lebih lanjut, Yin mengatakan bahwa studi
kasus ini lebih banyak burkutat upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan,
bagaimana dan mengapa, serta pada tingkat tertentu juga menjawab pertanyaan
apa/apakah.
Sementara Stake (1995) mengemukakan jenis studi kasus yang lainnya, yaitu
pertama, studi kasus intrinsik yang merupakan usaha penelitian untuk mengetahui
“lebih dalam” mengenai suatu hal. Jadi, studi kasus ini studi kasus ini tidak
dimaksudkan untuk membangun teori. Kedua, studi kasus instrumental yang
bertujuan untuk menghasilkan temuan-temuan baru yang dapat mempertajam suatu
teori. Kasus di sini hanya merupakan alat mencapai tujuan lain. Ketiga, studi
kasus kolektif, yang merupakan perluasan dari kasus instrumental untuk
memperluas pemahaman dan menyumbang kepada pembentukan teori.
D.
Pendekatan Etnografi dan Etnografi Komunikasi
Etnografi
adalah
uraian dan penafsiran suatu budaya atau sistem kelompok sosial. Peneliti
menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola perilaku, kebiasaan, dan cara
hidup. Etnografi
merupakan
proses dan hasil dari sebuah penelitian. Sebagai proses, etnografi
melibatkan pengamatan yang cukup panjang terhadap suatu kelompok, dimana dalam
pengamatan tersebut peneliti terlibat dalam keseharian hidup responden atau
melalui wawancara satu per satu dengan anggota kelompok tersebut. Peneliti
mempelajari arti atau makna dari setiap perilaku, bahasa, dan interaksi dalam
kelompok.
Sedangkan
etnografi menurut W Penn Handwerker (2002) dalam Sugito (2010), menyangkut
produk dan proses riset yang terdokumentasi mengenai apa, dan bagaimana
orang-orang mengetahui, merasakan, dan melakukan dengan cara spesifik di dalam
sejarah hidup individu. Etnografi mencakup peristiwa yang berkaitan dengan
global dan proses deskriptif, koperatif dan analisis budaya yang bersifat
menjelaskan. Membandingkan dan memperhatikan variabilitas`budaya antara
kelompok sosial yang mendasar tetapi juga variabilitas budaya antara
antarindividu.
Praktik
etnografi merupakan pemaknaan, menjelaskan fenomena dan variasi antarbudaya.
Memperhatikan dan menghiraukan variabilitas budaya antarindividu, membuat
kenyataan kenyataan kelompok sosial, keberadaan budaya, dan penempatan tentang
batasan budaya dipolakan pada poin-poin suatu pemahaman dengan teliti untuk
menandai budaya yang utuh (W Penn Handwerker, 2002).
Pemahaman
etnografi menjadikan orang mempunyai pengalaman bekerjasama dengan suatu
populasi spesifik yang memberikan isyarat yang sangat penting adalah perbedaan
budaya baru yang berlangsung di sekitar kita. Studi etnografi merupakan salah
satu deskripsi tentang cara masyarakat berpikir, hidup, dan berprilaku.
Schensul
dan Lacompte (1999) dalam Sugito (2010), mendefinisikan etnografi sebagai: 1)
suatu pendekatan ke arah pelajaran tentang sosial dan hidup masyarakat
difokuskan pada budaya, institusi, dan sistem pengaturan lain yang ilmiah; 2)
investigatif menggunakan peneliti sebagai alat pengumpul data yang utama; 3) menggunakan
metoda riset kaku dan teknik data-collecting untuk menghindari penyimpangan dan
memastikan ketelitian data; 4) menekankan dan berdasarkan pada perspektif orang
di dalam riset yang menentukan; 5) induktif, membangun teori lokal untuk
menguji dan mengadaptasikannya untuk penggunaan kedua-duanya di tempat lain.
Menurut Hymes (1974), istilah etnografi
komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan etnografi dan
komunikasi.. Cakupan kajian tidak dapat dipisah-pisahkan, misalnya hanya
mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi,
lalu menghubung-hubungkannya. Fokus kajiannya meneliti secara langsung terhadap
penggunaan bahasa dalam konteks situasi tertentu, sehingga dapat mengamati
dengan jelas pola-pola aktivitas tutur, dan kajiannya diupayakan tidak terlepas
(secara terpisah-pisah), misalnya tentang gramatika (seperti dilakukan oleh
linguis), tentang kepribadian (seperti psikologi), tentang struktur sosial
(seperti sosiologi), tentang religi (seperti etnologi), dan sebagainya. Dalam
kaitan dengan landasan itu, seorang peneliti tidak dapat membentuk bahasa, atau
bahkan tutur, sebagai kerangka acuan yang sempit. Peneliti harus mengambil
konteks suatu komunitas (community),
atau jaringan orang-orang, lalu meneliti kegiatan komunikasinya secara
menyeluruh, sehingga tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi selalu
merupakan bagian dari khasanah komunitas yang diambil oleh para penutur ketika
dibutuhkan.
E.
Pendekatan Biografi
Penelitian
biografi adalah studi tentang individu dan pengalamannya yang dituliskan
kembali dengan mengumpulkan dokumen dan arsip-arsip. Tujuan penelitian ini
adalah mengungkap turning point moment atau epipani yaitu pengalaman
menarik yang sangat mempengaruhi atau mengubah hidup seseorang. Peneliti
menginterpretasi subjek seperti subjek tersebut memposisikan dirinya sendiri.
Dalam siklus hidup seseorang, dari kelahiran hingga kematian, berbagai kejadian
dialami oleh individu. Pengalaman ini merupakan unsur yang sangat menarik untuk
diketahui karena ia bersifat akumulatif yang tidak hanya menjelaskan apa saja
yang dialami oleh seseorang, tetapi setting di mana kejadian dan pengalaman itu
berlangsung. Metode biografi berusaha merekam kembali pengalaman yang
terakumulasi tersebut. Biografi karenanya merupakan sejarah individual yang
menyangkut berbagai tahap kehidupan dan pengalaman yang dialami dari waktu ke
waktu.
Biografi ini memiliki banyak varian, antara lain potret, profil, memoir, life
history, autobiografi, dan diary. Varian semacam ini tidak hanya
menunjukkan cara di dalam melihat pengalaman yang terakumulasi tersebut, tetapi
juga memperlihatkan perluasan dari metode ini sebagai metode yang penting dalam
penelitian social.
Bahan yang digunakan dalam biografi ini adalah dokumen (termasuk surat-surat
pribadi) dan hasil wawancara, tidak hanya dengan orang yang bersangkutan,
tetapi juga dengan orang yang disekelilingnya. Dengan cara ini pula individu
dapat dikendalikan sekaligus melihat data dari dimensi yang lain karena
biografi bagaimanapun juga merupakan bagian dari proses representasi sosial.
F. Analisis Semiotika
Semiotika
merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja
(semiologi). Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat tiga unsur
utama yakni; (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda. Tanda
merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa di tangkap oleh indra. Tanda
mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri. Tanda bergantung pada
pengenalan oleh penggunanya sehingga disebut tanda. Misalnya, melambaikan
tangan kepada seseorang yang akan ditinggalkan. Dalam hal ini, tanda mengacu
sebagai gerakan yang melambangkan perpisahan dan hal ini dipahami baik oleh
komunikator maupun komunikan, sehingga dengan demikian komunikasi pun
berlangsung.
Analisis semiotik merupakan upaya untuk
mempelajari linguistik-bahasa dan lebih luas dari hal tersebut adalah semua
perilaku manusia yang membawa makna atau fungsi sebagai tanda. Bahasa merupakan
bagian linguistik, dan linguistik merupakan bagian dari obyek yang dikaji dalam
semiologi. Selain bahasa yang merupakan representasi terhadap obyek tertentu,
pemikiran tertentu atau makna tertentu, obyek semiotika juga mempelajari pada
masalah-masalah non linguistik.
G. Analisis Wacana
Analisis
wacana merupakan suatu kajian yang digunakan secara ilmiah, baik dalam bentuk
tulis maupun lisan. Penggunaan bahasa secara alamiah ini berarti penggunaan
bahasa seperti dalam komunikasi sehari-hari. Stubbs menjelaskan bahwa
analisis wacana menekankan kajian penggunaan bahasa dalam konteks sosial,
khususnya dalam interaksi antar penutur. Senada dengan itu, Cook dalam hal ini
menyatakan bahwa analisis wacana itu merupakan kajian yang membahas tentang
wacana, sedangkan wacana itu adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi.
Menurut Stubbs (Arifin,2000:8),
Sedangkan analisis wacana dalam Sobur ( 2006:48) adalah studi
tentang struktur pesan pada dalam komunikasi. Lebih tepatnya lagi, telaah
mengenai aneka fungsi (prakmatik) bahasa. Kajian tentang pembahasaan realitas
dalam sebuah pesan tidak hanya apa yang tampak dalam teks atau tulisan, situasi
dan kondisi (konteks) seperti apa bahasa tersebut diujarkan akan membedakan
makna subyektif atau makna dalam perspektif mereka.
Crigler
(1996) dalam Sobur (2006 : 72) mengemukakan bahwa analisis wacana termasuk
dalam pendekatan konstruktionis. Ada dua karakteristik penting dari pendekatan
konstruksionis, Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politik
pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas
politik. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai
proses yang terus menerus dan dinamis. Dari sisi
sumber (komunikator), pendekatan konstruksionis memeriksa pembentukan bagaimana
pesan ditampilkan, dan dari sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi
individu ketika menerima pesan.
Analisis wacana kritis berusaha memahami
bagaimana realitas dibingkai, direproduksi dan didistribusikan ke khalayak.
Analisis ini bekerja menggali praktek-praktek bahasa di balik teks untuk
menemukan posisi ideologis dari narasi dan menghubungkannya dengan struktur
yang lebih luas. Dengan demikian analisis wacana merupakan salah satu model
analisa kritis yang memperkaya pandangan khalayak bahwa ada keterkaitan antara
produk media, ekonomi dan politik. Keterkaitan ini dapat dimunculkan pada saat
analisis wacana bergerak menuju pertanyaan bagaimana bahasa bekerja dalam
sebuah konteks dan mengapa bahasa digunakan dalam sebuah konteks dan bukan
untuk konteks yang lain.
H. Analisis Framing
Analisis
framing digunakan untuk menganalisis bagaimana media massa mengemas peristiwa,
media massa “merekontruksi ulang” realita, peristiwa, suasana, keadaan, tentang
orang, benda, bahkan pendapat-pendapat berkaitan dengan peristiwa tersebut.
Teori
Analisis Framing atau Analisis bingkai (frame analysis Theory) berusaha untuk
menentukan kunci-kunci tema dalam sebuah teks dan menunjukkan bahwa latar
belakang budaya membentuk pemahaman kita terhadap sebuah peristiwa. Dalam
mempelajarai media, analisis bingkai menunjukan bagaimana aspek-aspek struktur dan
bahasa berita mempengaruhi aspek-aspek yang lain. (Anonimous, 2004:–). Analisis
bingkai juga merupakan dasar struktur kognitif yang memandu persepsi dan
representasi realitas. (King, 2004:–). Sedangkan menurut Panuju (2003:1), frame
analysis adalah analisis untuk membongkar ideologi di balik penulisan
informasi.
Disiplin ilmu
Analisis Framing bekerja dengan didasarkan pada fakta bahwa konsep ini bisa
ditemui di berbagai literatur lintas ilmu sosial dan ilmu perilaku. Secara
sederhana, analisis bingkai mencoba untuk membangun sebuah komunikasi-bahasa,
visual, dan pelaku-dan menyampaikannya kepada pihak lain atau
menginterpretasikan dan mengklasifikasikan informasi baru. Melalui analisa
bingkai, kita mengetahui bagaimanakah pesan diartikan sehingga dapat diinterpretasikan
secara efisien dalam hubungannya dengan ide penulis.
Proses analisis ini dibagi menjadi empat
bagian, yaitu:
a. Frame Bulding (Bangunan Bingkai/Frame)
Studi-studi ini mencakup
tentang dampak faktor-faktor seperti pengendalian diri terhadap organisasi,
nila-nilai profesional dari wartawan, atau harapan terhadap audien terhadap
bentuk dan isi berita. Frame bulding meliputi kunci pertanyaan: faktor struktur
dan organisasi seperti apa yang mempengaruhi sistem media, atau karakteristik
individu wartawan seperti apa yang mampu mempengaruhi penulisan sebuah berita
terhadap peristiwa.
Gans, Shoemaker, dan Reeses
menyaranan minimal harus ada tiga sumber-sumber pengaruh yang potensial.
Pengaruh pertama adalah pengaruh wartawan. Wartawan akan lebih sering membuat
konstruksi analisis untuk membuat perasaan memiliki akan kedatangan informasi. Faktor
kedua yang mempengaruhi penulisan berita adalah pemilihan pendekatan yang
digunakan wartwan dalam penulisan berita sebagai konsekuensi dari tipe dan
orientasi politik, atau yang disebut sebagai “rutinitas organisasi”. Faktor
ketiga adalah pengaruh dari sumber-sumber eksternal, misalnya aktor politik dan
otoritas.
b. Frame setting (Pengkondisian Framing)
Proses kedua yang perlu
diperhatikan dalam framing sebagai teori efek media adalah frame setting. Para
ahli berargumen bahwa frame setting didasarkan pada proses identifikasi yang
sangat penting. Frame setting ini termasuk salah satu aspek pengkondisian
agenda (agenda setting).
c. Individual-Level Effect of Farming
(Tingkat Efek Framing terhadap Individu)
Tingkat pengaruh individual
terhadap seseorang akan membentuk beberapa variabel perilaku, kebiasaan, dan
variabel kognitif lainnya telah dilakukan dengan manggunakan model kota hitam
(black-box model). Dengan kata lain, studi ini terfokus pada input dan output,
dan dalam kebanyakan kasus, proses yang menghubungkan variabel-variabel kunci
diabaikan.
d. Journalist as Audience (Wartawan
sebagai Pendengar)
Pengaruh dari tata mengulas
berita pada isi yang sama dalam media lain adalah fungsi beragam faktor.
Wartawan akan lebih cenderung untuk melakukan pemilihan konteks. Di sini,
diharapkan wartawan dapat berperan sebagai orang yang mendengarkan analisa
pembaca sehingga ada timbal balik ide. Akibatnya, analisa wartawan tidak serta
merta dianggap paling benar dan tidak terdapat kelemahan.