Saturday, November 14, 2015

Das Sein VS Das Sollen

Masalah merupakan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan, adanya jurang yang memisahkan fakta dan hal-hal idealis. Kondisi ideal yang saya bahas di sini terkait syariat dalam agama Islam, bahwa rencana pernikahan itu sepatutnya disegerakan, dimudahkan dan jangan dipersulit. 
ثَلاثَةٌ يَا عَلِيُّ لاَ تُؤَخِّرْهُنَّ : الصَّلاةُ إِذَا أَتَتْ ، وَالْجَنَازَةُ إِذَا حَضَرَتْ ، وَالأَيِّمُ إِذَا وَجَدَتْ كُفُؤًا
“Wahai Ali, ada tiga perkara yang tidak boleh engkau tunda, yakni shalat jika telah tiba waktunya, jenazah apabila telah hadir, dan wanita apabila telah ada calon suami yang sekufu” (HR. Tirmidzi dan Ahmad; hasan)

Namun, budaya terkadang dianggap menyulitkan atau menghambat niat ibadah tersebut, meskipun sebenarnya ada hikmah di balik ketentuan adat yang terlihat "menghambat" tersebut. Di Indonesia, khususnya suku bugis, ketentuan memberikan mahar untuk mempelai wanita, disertai dengan adanya "sompa". Mahar sendiri biasanya dalam bentuk emas sekian gram, sedangkan sompa biasanya dalam wujud tanah, sawah ataupun rumah. Selain itu, adapula yang disebut "uang panaik" atau disebut juga sebagai uang belanja, yakni uang yang digunakan untuk menyiapkan segala keperluan untuk melangsungkan acara pernikahan. Tingginya ukuran mahar untuk suku bugis ini bahkan dimasukkan dalam daftar 5 mahar wanita termahal di Indonesia menurut tulisan salah seorang blogger.

Dari 3 hal yang disebutkan tadi, hanya Mahar yang merupakan hal wajib dalam syariat Islam. itupun dianjurkan untuk dimudahkan. Rasulullah bersabda, “Perempuan yang baik hati adalah yang murah maharnya, memudahkan urusan perkawinannya dan baik akhlaknya. Adapun perempuan yang celaka yaitu yang mahal maharnya, menyusahkan perkawinannya, dan buruk akhlaknya.” 
خَيْـرُ النِّكَـاحِ أَيْسَـرُهُ
"Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.'" (HR. Abu Dawud, no. 2117)

Dalam riwayat lain Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَعْظَمَ النَّكَـاحِ بَرَكَةً أَيَسَرُهُ مُؤْنَةً
"Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya." (HR. Ahmad, no. 24595)
Faktanya, kondisi di masyarakat tidaklah semudah kondisi yang sepatutnya tadi. Faktor budaya seakan-akan turut andil dalam menentukan suksesnya suatu niat pernikahan. Pada dasarnya, secara syariat rukun nikah diketahui ada lima (5) hal, yakni:
1.      Mempelai laki-laki
2.     Mempelai perempuan
3.     Wali
4.     Saksi, dan
5.     Ijab qabul

Ya, hanya 5 hal. Tetapi pada kanyataannya, banyak yang menyulitkan dengan menambahkan berbagai persyaratan lagi, seperti: lulusan sarjana, punya kerja tetap, keturunan ningrat, wajah artis, punya mobil, punya rumah, usia sudah matang, tidak melangkahi kakak, kecocokan tanggal lahir dan kecocokan anak keberapa.
Bahkan ada yang mematok besarnya mahar atau uang panaik tergantung kondisi calon mempelai wanita. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan berbanding lurus dengan jumlah mahar/uang panaik yang ditetapkan keluarga wanita. Belum lagi jika wanita sudah menunaikan ibadah haji sehingga bergelar Haji, dan berasal dari strata sosial yang tinggi, misalnya menyandang gelar kebangsawanan “Andi” dalam budaya bugis.  Maka, biasanya wanita tadi hanya akan dinikahkan dengan laki-laki yang juga bergelar “Andi”. Kondisi ini seakan-akan seperti “transaksi penjualan”. Semua hal tersebut tidak sepatutnya dilestarikan adanya. Naudzubillah min dzalik.
Agama sudah menetapkan syarat-syarat yang tidak menyusahkan pemeluknya, sehingga mestinya tidak ditambahkan lagi dengan berbagai hal tadi. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَ
فَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)

Dalam hadist tersebut kembali mengisyaratkan tentang menyegerakan pernikahan ketika agama dan akhlak telah dinilai baik -Tentu saja sebelumnya sang calon mempelai tidak ada dalam kondisi terpaksa-. Tidak ada dalil yang menyebutkan harus selesai kuliah s1 atau s2, tidak ada juga yang mengharuskan kemapanan finansial. Oleh karena itu, alangkah baiknya orang tua yang akan menikahkan anaknya menyadari, memahami dan menerapkan syariat agama ini.
Sungguh budaya telah banyak terbukti menyulitkan niat menikah. At least seperti hebohnya kasus video Risna, seorang wanita yang hadir di pernikahan mantannya. Pemandangan yang terlihat begitu memilukan. Kasus ini diduga disebabkan oleh budaya menetapkan “uang panaik” yang terlalu tinggi sehingga menyusahkan calon mempelai pria. Wallahu a’alam.

Salah satu tokoh nasional negeri kita, ulama, politisi sekaligus sastrawan besar, Buya Hamka pernah berpesan bahwa “Cari pasangan itu, nggak mesti mapan yang penting kamu tahu apa rencana dia untuk ke depannya dan kamu ada dalam rencana itu. Dan profesinya tidak harus ini dan itu, memang cinta butuh makan namun ada satu perasaan ketika kamu mau untuk berjuang bersama, maka itu lebih terasa nikmat”

Kiranya tulisan ini dapat membuka cakrawala pemikiran masyarakat agar melestarikan budaya tanpa menafikan syariat agama. Mohon maaf jika ada uraian yang kurang tepat. Wassalam

Sumber Rujukan:
http://bersamadakwah.net/tiga-hal-yang-tak-boleh-ditunda/                                                     
http://www.voa-islam.com/read/muslimah/2010/04/11/4982/wahai-muslimah-ringankanlah-maharmu/#sthash.xpkGZ8K8.dpbs


d'SwEEt piNk