BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan
yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme
sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang
dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan
Marquis
de Condorcet. Setelah
Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa
posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya
Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak
memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik,
hak atas milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah
sama dengan laki-laki dihadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali
didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.[1]
Menurut teori feminis, perspektif feminis tentang media dan
masyarakat tertarik kepada bagaimana media mengonstruksi pandangan-pandangan
tentang perempuan.[2] Pandangan
ini melihat banyaknya kesenjangan antara kaum laki-laki dan perempuan, seperti
objektifikasi perempuan, proporsi perempuan dalam organisasi media serta
perempuan dalam pemberitaan media.
Selama ini
perempuan adalah obyek utama dari media, hal ini dapat diamati dari iklan-iklan
produk-produk kecantikan maupun acara lain yang mengetengahkan perempuan
sebagai obyeknya. Tidak ada yang salah dengan media, namun bagaimana peran
media dalam mengedukasi masyarakat adalah suatu hal yang patut dicermati.
Malalui medialah masyarakat mengetahui banyak informasi. Membahas menganai
perempuan, bisa dilihat fenomena saat ini ketika perempuan banyak termakan oleh
iklan-iklan kecantikan yang banyak membuat kaum hawa justru ingin meniru orang
lain (merubah kondisi fisik misalnya ingin terlihat lebih putih dan lainnya).
Ketika terjadi
kasus tindak pidana yang melibatkan perempuan misalanya, terkadang yang dibahas
bukanlah kasusnya secara lebih detail, namun terkadang lebih menonjolkan sisi
keperempuannya misalnya lebih dibahas mengenai tersangkanya yang merupakan
perempuan yang cantik, seksi ataupun mengenai pakaian yang sedang digunakan.
Hal ini yang terkadang diekspose oleh media dari seorang perempuan yang justru
menutupi masalah-masalah krusial yang seharusnya lebih dapat dijadikan edukasi
bagi masyarakat.[3]
Rach Alia dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), telah melakukan
penelitian tentang bagaimana perempuan digambarkan di sejumlah media nasional
(Indo Pos, Kompas, Warta Kota, Republika, Suara Pembaruan, Koran Tempo dan
Media Indonesia) periode Juli-Agustus 2010. Hasil penelitian tersebut ditemukan
masih banyak berita dengan kategori kekerasan terhadap perempuan yang
mendominasi berita dalam 7 koran tersebut.
Sementara pemberitaan mengenai kiprah perempuan masih kurang.
Penggunakaan bahasa juga menjadi perhatian dalam penelitian itu, karena
misalnya pemberitaan kasus-kasus permerkosaan, atau korupsi yang dituduhkan
kepada perempuan cenderung menggunakan pelabelan pada korban atau pelaku (yang
notabenenya seorang perempuan). Sehingga menciptakan stigma dan praduga di
masyarakat.
Dengan lahirnya stigma “miring” terhadap perempuan secara langsung
maupun tidak berdampak pada aktivitas perempuan di ruang publik, sehingga
lahirlah kebijakan-kebijakan berbasis agama yang membatasi ruang gerak
perempuan di tengah-tengah masyarakat. Dampaknya ketika terjadi kejahatan
terhadap perempuan baik sebagai korban maupun pelaku ada kecenderungan yang
melahirkan stigmatisasi dan pengecapan bahwa perempuan itu bukan orang
“baik-baik”. Semua itu tidak bisa dilepaskan karena kurangnya kesadaran gender
dari para penulis berita maupun pengambil kebijakan di media dan juga kurang
pemahaman dan pengawasan pelaksanaan kode etik jurnalistik itu sendiri..[4]
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang sebelunya, maka pokok permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah
1. Bagaimana
sejarah dan aliran feminis?
2. Bagaimana
media dalam perspektif feminis?
C.
Manfaat Pembahasan
Secara umum pembahasan
media dan perspektif feminis dalam makalah ini berguna untuk memberikan
informasi kepada kita semua tentang posisi atau derajat perempuan di mata media
sedangakan secara khusus mengajak kaum perempuan untuk lebih menghargai diri
agar tidak menyuburkan stereotype bahwa perempuan hanyalah makhluk lemah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Aliran Feminisme
Kata feminisme
dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles
Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan
berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill,
"Perempuan sebagai Subyek" (The Subjection of Women) pada
tahun (1869). Perjuangan
mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa
pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin)
merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki
(maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya -
terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam
masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung
ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah.
Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan
terjadinya Revolusi
Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh
dunia.
Pergerakan di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum
perempuan" disusul oleh Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan
politik. Pada tahun 1792 Mary
Wollstonecraft membuat karya
tulis berjudul "Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the
Right of Woman) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan
dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan
terhadap pemberantasan praktik perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai
diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan, diberi
kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak pilih. Menjelang abad 19 feminisme
lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan
kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan
apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal
sisterhood).[5]
Gerakan yang bertujuan agar wanita mandiri, tak bergantung pada
pria dan memberontak pada dominasi pria juga terjadi di Amerika Serikat.
Gerakan ini disebut Women’s Lib yang dimulai sejak 1960-an (Deddy
Mulyana, 2011: 44). Sedangkan di Indonesia dikenal nama R.A Kartini sebagai
pahlawan yang memperjuangkan emansipasi wanita.
Seiring dengan
perkembangan gerakan ini maka akhirnya feminisme dapat dikelompokkan dalam beberapa
aliran[6],
diantaranya sebagai berikut:
a. Feminisme Liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah
terdapat pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara
penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan
kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan
publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir
dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan
dan keterbelakangan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan
perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa
bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya
kedudukan setara dengan lelaki.
b. Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam
kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari
eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan
menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep
kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran
(exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai
konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan
direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada
keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan
proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki
dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
c. Feminisme sosialis
Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada
Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa
Sosialisme". Feminisme sosialis
berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang
melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan
seperti ide Marx yang
menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik
terhadap feminisme Marxis. Aliran ini hendak mengatakan bahwa patriarki sudah
muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme
runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas
perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami
penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme
merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini
juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber
penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling
mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga
inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena
peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai
konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan untuk
memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam
konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem
kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
B. Media dari Perspektif Feminis
1. Perempuan Sebagai Objektifikasi
Media
Sejak awalnya
kegiatan jurnalistik baik cetak maupun elektronik selalu didominasi pria.
Beberapa pakar menyebut jurnalistik ini sebgai jurnailistik maskulin yang
menggunakan pandangan dan subjektivitas pria untuk meneropong wanita. Pantaslah
bila sampul majalah-majalah umum, sering dihiasi dengan gambar wanita. Banyak
produk atau jasa yang diiklankan seperti, motor, mobil, dan celana jins dalam
majalah dan surat kabar juga dihiasai dengan sosok wanita cantik yang
berpenampilan minim. Nilai mereka direduksi menjadi sebatas makhluk biologis
semata. Menurut perkiraan, 90 persen periklanan memanfaatkan wanita sebagai
model iklannya (Deddy Mulyana, 2008: 81).
Para penulis
feminis secara kritis menganalisis media yang menayangkan tubuh perempuan dalam
masyarakat Barat patriarki. Sebuah sisi penting argument feminis adalah bahwa
media telah berperan dalam objektifikasi tubuh kaum wanita; tubuh wanita dalam
pertunjukan; kaum wanita wajib menjadikan tubuh mereka sebagai pertunjukan yang
memadai dan diterima; sebagai objek yang eksternal bagi mereka. Beberapa
penulis mengalihkan perhatian mereka kepada tubuh perempuan yang lebih kurus
yang digambarkan media, yang mencerminkan perubahan pada persepsi tentang bobot
ideal biomedis bagi kaum wanita. Standar demikian telah telah diinterpretasikan
sebagai mencerminkan penindasan atas kaum wanita yang menonjolkan citra
cultural yang tidak realistik tentang kecantikan.
Lebih
jauh banyak feminis yang menganut pendapat mengenai adanya hubungan antara
citra media tentang tubuh perempuan yang langsing dan perkembangan kebiasaan
buruk makan seperti anoreksia nervosa (Chermin, dkk dalam Alison Shaw, 2007:
311).
Saat ini ketika
karya-karya seni kreatif seperti iklan menjadi konsumsi masyarakat dalam
berbagai media massa, posisi perempuan ini menjadi sangat potensial untuk
dikomersialkan dan dieksploitasi, karena posisi perempuan menjadi sumber
inspirasi dan juga tambang uang yang tak habis-habisnya. Permasalahan seperti
ini bukan saja terjadi di Indonesia, melainkan juga di negara lain. Bahkan juga
di negara-negara Barat yang banyak dihuni para feminis bersuara lantang. Ini
kareena iklan, bagaimanapun adalah sebuah produk industri yang berwajah
kapitalis. Dan kapitalisme, mana peduli dengan isu kesetaraan gender. (Astuti,
2004: 316)
Eksploitasi peremuan dalam
pencitraan media massa tidak saja karena kerelaan perempuan, namun juga karena
kebutuhan kelas sosial itu sendiri, sehingga mau ataupun tidak kehadiran
perempun menjadi sebuah kebutuhan dalam kelas sosial tersebut. Sayangya
kehadiran perempuan dalam kelas sosial itu, masih menjadi bagian dari refleksi
realitas sosial masyarakatnya, bahwa perempuan selalu menjadi subordinat kebudayaan
laki-laki (Burhan Bungin, 2006: 342)
Fakta ini
muncul sebagai sebuah ketidakadilan yang menerpa kaum perempuan. Lambat laun
fenomena ini akan menjadi sebuah pembodohan ketika semua perempuan berpendapat
bahwa gambar apapun yang Anda lihat melalui media pada dasarnya memberi pesan
kepada Anda bahwa seharusnya Anda terlihat seperti itu (Alison Shaw, 2007:
317). Keadaan ini dapat pula dikategorikan sebagai aplikasi teori agenda
setting. Dimana media dapat menentukan content apa saja yang akan
disajikan kepada audience wanita sebagai penonton televisi terbanyak dan
“merayu” nya untuk menjadi konsumen atas semua iklan yang ditayangkan.
Seksploitation merupakan sebutan dari kaum feminis yang menunjukkan
betapa tidak adilnya kalangan media karena mengeksploitasi perempuan dengan
menginjak-nginjak martabatnya, demi menaikkan tiras surat kabar atau majalah.
Dalam hal ini sangat jelas bahwa perempuan dieksploitasi untuk kepentingan
komersil. Kalangan media cetak selalu membela diri, dengan menyatakan bahwa
pembaca mau membacanya, dan kalangan perempuan sendiri senang pula membaca
berita-berita tentang kaumnya.
Perempuan sebagai objek
media massa merupakan kenyataan ketidakadilan gender yang dialami perempuan
dalam masyarakat. Akar ketidakadilan gender berkaitan dengan budaya patriarki,
sebagaimana pemahaman feminisme sosialis. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa
laki-laki menjadi subjek dengan kekuatannya, dan perempuan sebagai objek yang
lemah dan dipojokkan.[7] Para
penganut feminis sangat keberatan dengan hal ini. Namun inilah yang terjadi dan
mayoritas kaum perempuan entah sadar atau tidak turut dalam arus pemikiran
tersebut. Mereka seolah-olah tunduk pada doktrin media.
2. Proporsi Perempuan Dalam
Organisasi Media
Selain sebagai objek atau “sasaran
empuk” pelaku media terutama iklan yang menjadikan perempuan sebagai tokoh
utama, ketidakadilan juga muncul pada struktur organisasi media. Ada
ketidaksamaan frekuensi atas porsi kehadiran perempuan dalam organisasi media.
Di televisi, contohnya lebih banyak menghadirkan peran laki-laki daripada
perempuan dan laki laki dimunculkan lebih sering sebagai peran pemimpin (Fejes,
1992). Hanya 12 persen dari penyebaran video MTV pada 1984 satu perempuan
sebagai pemimpin (Brown and Campbell, 1986).
Kontrol atas ciptaan dan penghasilan
dari citra media juga hanya sampai peran laki-laki. Pertimbangkan media massa.
Pada awal 1990 hanya sepertiga saja dari kekuatan kerja jurnalistik diisi oleh
wanita. Bagaimanapun level atas dari media perusahaan utama organisasi adalah
hampir seluruhnya laki-laki. Sebagai tambahan, wanita menduduki hanyalah 25
persen manajemen tengah dan 6 persen manajemen koran pada posisi teratas. Pada
1994, perempuan menduduki posisi direktur dari surat kabar hanya pada 20,6
persen. Pada 1995, penulis perempuan hanyalah 19 persen untuk cerita halaman
depan di koran dan koresponden perempuan hanyalah 20. Penunjukan Hollywood,
antara lain menurut sejarah adalah jarang perempuan sebagai direktur (Croteau
dan Hoynes, 1997: 147-148).
Seperti juga jumlah karyawan pria
yang yang mengelola penerbitan surat kabar atau majalah, jumlah karyawan pria
yang mengelola siaran televisi jauh lebih banyak daripada karyawan wanitanya.
Bahkan bila terdapat karyawan wanita mereka tidak memegang posisi-posisi kunci
yang menentukan kebijakan penerbitan atau penyiaran. Padahal jumlah wanita di
seluruh dunia juga di Indonesia, konon lebih besar daripada jumlah pria (Deddy
Mulyana, 2008: 81).
Hadirnya seorang perempuan di
belakang televisi, masuk dalam proses produksi diharapkan mampu berperanan dan
mewarnai penokohan dan kesetaraan perempuan dalam media televisi. Bahkan tidak
sekedar memaknai tuntutan emansipasi dan kesetaraan gender belaka, namun juga
sikapnya sebagai seorang feminis (Soemandoyo, 1999: 160)
Apabila
ditelusuri maka kekuasaan menjadi unsur yang menghubungkan setiap pemikiran
feminis tersebut. Utamanya pada pemikiran feminisme marxis yamg menggap
dominasi kekuasaan laki-laki yang menjadi sumber ketidakadilan. Kekuasaan dapat
menghubungkan dominasi dan subordinasi, dapat juga menjadi sumber, dan juga
dapat menjadi pemberdayaan atau transformasi. Feminis mempelajari cara
kekuasaan digunakan oleh pria untuk mendominasi wanita dan cara wanita
menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi wanita lain berdasarkan usia, kelas,
ras, dan sebagainya. Jika dilihat dari teori komunikasi sender-reciever
model, feminsime dapat menjelaskan hubungan kekuasaan yang ada.
Sehingga teori
komunikasi feminis menganggap jika seseorang yang berada di pusat komunikasi
memiliki kekuasaan terhadap massa, maka dia mempunyai andil dalam memutuskan
apakah informasi akan dikirimkan seutuhnya atau tidak oleh sender
kepada receiver.
Seperti dalam struktur newsroom tradisional dimana konten dikategorikan
berdasarkan genre konten yang ditulis masyarakat, politi, kesehatan, olahraga,
dan sebagainya. Teori feminis beranggapan bahwa batasan yang ada harusnya lebih
cair yang memungkinkan banyaknya suara partisipan dan pengalaman yang terlibat
sehingga semakin banyak pilihan yang ada.[8]
Semua
aliran feminisme menuntut adanya kesederajatan antara laki-laki dan perempuan.
Termasuk dalam hal pekerjaan. Feminis marxisme melihat adanya dominasi kontrol
produksi oleh laki-laki sehingga dianggap tidak adil oleh mereka. Sedangkan Feminis
liberal menganggap bahwa perempuan dan laki-laki, sebagai makhluk rasional,
pada dasarnya sama, meskipun penampilan luar mereka berbeda dan karena itu
struktur hierarkis bahwa pria terpisah dan perempuan berdasarkan sifat fisik
mereka harus diganti dengan meritokrasi yang adil dan setara.
3. Perempuan Dalam Pemberitaan Media
Secara
global struktur muatan pemberitaan media massa pada umumnya belum secara
seimbang merespons kepentingan perempuan. Pemberitaan media massa umumnya
memberitakan ruang publik laki-laki. Mulai persoalan negara, politik, militer,
olahraga, pemerintahan lokal, sampai dengan berbagai wacana publik laki-laki lainnya.
Namun ketika ada pemberitaan masalah perempuan, sorotan menjadi domestik,
seperti keterampilan rumah tangga, pengasuhan anak, kosmetika dan kecantikan,
terkecuali ketika ada tokoh publik perempuan, baru kemudian menjadi berita
utama, itupun terkesan tidak menjadi agenda setting media pada hari itu,
karena berita utama tersebut tidak diikuti oleh pemberitan atau tulisan-tulisan
lain di bagian lain pemberitaan hari itu. (Burhan Bungin, 2006: 344)
Pemberitaan tentang perempuan di media massa masih menonjolkan peran
perempuan di ranah domestik daripada ranah publik. Selain itu, citra perempuan
yang ditampilkan oleh media massa pun masih klise, dimana peran perempuan
sebagai ibu dan istri saja. Sehingga melahirkan kostruksi sosial secara tidak
langsung bahwa perempuan tidak mungkin melakukan kejahatan atau melanggar norma
yang berlaku.
Padahal
Deklarasi Beijing menyebutkan bahwa gambaran perempuan di media harus seimbang
dan tidak klise. Tetapi media di negara kita menampilan citra perempuan
sebagian besar cenderung stereotip, bahkan masih diskriminatif, sangat jarang
kita menemukan tulisan yang mengeksplorasi kiprah perempuan secara seimbang.[9]
C. Problem Solving
Gender merupakan pelabelan yang pada kenyataannya bisa
dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan gender sesungguhnya
tidak menjadi masalah apabila tidak ada pemberitaan yang menjadikan perempuan
sebagai objek yang dieksploitasi. Menurut salah satu wartawan, Ana Nadhya
Abrar, Indonesia lebih memiliki sensitifities gender dalam memahami masalah
yang dihadapi perempuan. Citra perempuan dalam pandangan pers Indonesia masih
rendah, karena kebijakan keredaksian yang ternyata terkalahkan oleh kebijakan
pemasaran yaitu segmentasi, konstribusi iklan dan keinginan pembaca.[10]
Kondisi ini
juga menjadi salah satu kasus yang dihadapi kaum feminis dan tentu saja
ditentang. Selalu ada ketidakadilan dalam memperlakukan perempuan. Mestinya
pemberitaan tersebut bisa lebih berimbang dengan memberikan porsi yang sesuai
tanpa melihat jenis kelamin tokoh yang diberitakan.
Meskipun
Indonesia sudah memiliki Komisi Penyiaran Nasional, namun disisi lain
masyarakat juga harus lebih pintar membentuk jati diri sebagai proteksi dari
dalam. Jangan mudah tergiur oleh informasi yang diperoleh, lebih bijak dalam
mengkonsumsi isi media, serta sebaiknya menggunakan apa yang cocok dan pas
untuk digunakan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Feminisme
(tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan
yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Seiring
dengan perkembangannya, maka feminisme dapat dikelompokkan dalam beberapa
aliran, diantaranya yaitu feminisme liberal yang menganggap bahwa perempuan dan
laki-laki, sebagai makhluk rasional, pada dasarnya sama, meskipun penampilan
luar mereka berbeda dan karena itu struktur hirarkis bahwa pria terpisah dan
perempuan berdasarkan sifat fisik mereka harus diganti dengan meritokrasi yang
adil dan setara. Sedangkan feminisme marxisme dan sosialis menolak
individualisme dan positivisme, berargumen bahwa hubungan dan eksploitasi
kapitalis perempuan melalui peran mereka dalam rumah tangga adalah penyebab
penindasan mereka.
Menurut teori feminis, perspektif feminis tentang media dan
masyarakat tertarik kepada bagaimana media dan masyarakat tertarik kepada
bagaimana media mengonstruksi pandangan-pandangan tentang perempuan. Pandangan
ini melihat banyaknya kesenjangan antara kaum laki-laki dan perempuan, seperti
objektifikasi perempuan, proporsi perempuan dalam organisasi media serta
perempuan dalam pemberitaan media.
B. Rekomendasi
Peran media
yang selama ini secara lebih luas mampu memberikan pelajaran bagi masyarakat
harus lebih memainkan perannya guna memberi pemberitaan yang berimbang dan
memberi contoh yang lebih baik bagi masyarakat. Pemerhati isu perempuan dan
media harus bergandengan tangan untuk bersama-sama melahirkan pembaca yang
sehat tanpa dipenuhi opini dan asumsi negatif tetapi melihat permasalahan
secara seimbang
Di sisi lain
kaum perempuan harus mampu mempertahankan cara hidup yang sesuai dengan norma. Karena
bagaimana mungin seorang perempuan akan memperoleh penghargaan dari kaum lelaki
jika dia sendiri tidak menghormati dan menghargai dirinya sendiri, seperti cara
berpakaian di depan umum. Banyak di antara mereka yang berpakaian minim dan
seksi dengan alasan mengikuti perkembangan mode. Namun kebiasaan semacam ini
jelas akan mengundang tindakan negatif.
Jika mereka mampu berperilaku dan berpenampilan yang seuai dengan
norma yang berlaku, insya Allah pelecehan dan kekerasan seksual yang saat ini
banyak menimpa kaum perempuan dapat dihindarkan, karena pada dasarnya kejahatan
dan pelecehan seksual banyak terjadi sebagai akibat dari penampilan si
korbannya itu sendiri. Selain itu melalui penghargaan terhadap diri sendiri
oleh kaum perempuan diharapkan posisi perempuan yang selalu menjadi objek dalam
berbagai kegiatan kaum lelaki dan dunia usaha dapat dihindarkan dan penghargaan
yang layak dapat diterima oleh kaum perempuan sesuai dengan prestasi bukan rasa
iba atau karena pengorbanan harga diri.
Selain itu diperlukan pentingnya kerjasama yang baik antara
pemerhati isu perempuan dengan media, melakukan monitoring terhadap media yang
kerap memuat berita yang cenderung diskriminatif dan stereotype terhadap
perempuan perlu dilakukan. Selain itu transfer pengetahuan ke media secara
perorangan terutama isu kesetaraan guna melahirkan jurnalisme berspektif
perempuan juga menjadi penting.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi
Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Croteau,
David dan William Hoynes. 1997. Media/Society: Industries, Images, And
Audiences. California: Pine Forge Press.
Mulyana,
Deddy. 2008. Komunikasi Massa.
Bandung: Widya Padjajaran.
---------------------.
2011. Komunikasi Lintas Budaya: Pemikiran, Perjalan dan Khayalan.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Shaw, Alison. 2007. Metode Penelitian
Komunikasi: Contoh-Contoh Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis.
Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
Soemandoyo,
Priyo. 1999. Wacana Gender & Layar Televisi: Studi Perempuan dalam
Pemberitaan Televisi Swasta. Yogyakarta: LP3y dan Ford Foundation.
B. Jurnal
Astuti, Santi Indra. Representasi Perempuan Indonesia dalam
Komuniksi Visual: Wacana yang (Belum) Berubah. Jurnal Komunikasi Mediator
Volume 5 Nomor 2 2004.
C. Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme
http://www.isi-dps.ac.id/berita/televisi-sebagai-konstruksi-realitas-bagian-i
http://psg.uii.ac.id/index.php/RADIO/Amin.html
http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=858:bagaimana-media-memotret-perempuan-&catid=1:berita&Itemid=18
http://ekawenats.blogspot.com/2006_03_19_archive.html
http ://konvergensi.komunikasi. or.
Id / 18 /post /2012 /10 /konvergensi – media – dalam – perspektif - feminisme.
html
[2]http://www.isi-dps.ac.id/berita/televisi-sebagai-konstruksi-realitas-bagian-i
diakses 29 Januari 2013 pukul 09.57 wib.
[3]
http://psg.uii.ac.id/index.php/RADIO/Amin.html diakses 29 Januari 2013 pukul
22.34 wib
[4]
http://www.rahima.or.id/index.php?option= com_content&view= article&id =858:
bagaimana -media-memotret-perempuan- &catid
=1:berita&Itemid=18 diakses 29 Januari pukul 22.53 wib.
[5]
http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme,
diakses 29 Januari pukul 22.45 wib.
[6]
http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme,
diakses 29 Januari pukul 22.45 wib.
[7]
http://ekawenats.blogspot.com/2006_03_19_archive.html
diakses 29 Januari 2013 pukul 22.30 wib
[8] http ://konvergensi.komunikasi. or. Id / 18 /post /2012 /10
/konvergensi – media – dalam – perspektif - feminisme. html diakses 29 Januari
23.00 wib
[9]
http://www.rahima.or.id/index.php?option=
com_content&view= article&id=858: bagaimana-media-memotret-perempuan- &catid=
1:berita&Itemid= 18 diakses 29 Januari pukul 22.53 wib.
[10]
http://ekawenats.blogspot.com/2006_03_19_archive.html
diakses 29 Januari 2013 pukul 22.30 wib