A. Teori Komunikasi Paradigma Positivistik
1.)
Teori Lingkar Kesunyian (Spiral of Silence)
Teori ini dikemukakan oleh Elizabeth
Noelle-Neuman (1976), berkaitan dengan pertanyaan bagaimana terbentuknya
pendapat umum. Teori ini menjelaskan bahwa terbentuknya pendapat umum
ditentukan oleh suatu proses saling mempengaruhi antara komunikasi massa,
komunikasi antar pribadi, dan persepsi individu tentang pendapatnya dalam
hubungannya dengan pendapat orang-orang lain dalam masyarakat.
Teori ini muncul
karena orang-orang dari kelompok minoritas sering merasa perlu untuk
menyembunyikan pendapat dan pandangannya ketika berada dalam kelompok
mayoritas. Pada intinya mereka menganggap bahwa “Diam itu Emas” karena
ketakutan akan terisolasi ketika mereka berani berbicara dan menganggap opini
yang mereka sampikan akan sia-sia belaka.
Media massa memainkan peran sangat penting
dalam teori ini. Dalam membentuk opini publik, media massa hanya mengangkat
opini kelompok mayoritas dengan mengabaikan opini kelompok minoritas.
Sebagai contoh, pada rezim Suharto yang
dianggap otoriter, banyak masyarakat terpaksa bungkam saat tidak setuju
terhadap suatu kebijakan. Meskipun ada juga kelompok yang berani bersuara maka
mereka akan menerima konsekuensi seperti penculikan bahkan pembunuhan secara
misterius. Namun teori ini sebenarnya bersifat bom waktu. Maka dalam kasus ini
bom waktu tersebut meledak ketika para demonstran meduduki gedung DPR dan
mengakhiri masa orde baru.
2.
) Teori Kultivasi ( Cultivation Theory )
Teori
kultuvasi atau sering disebut hipotesa kultivasi merupakan sebuah pendekatan
yang dibuat oleh George Gerbner pada
pertengahan tahun 60-an dalam rangka bagaimana televisi mempengaruhi pemikiran
pemirsanya menerjemahkan fenomena-fenomena yang terjadi disekitarnya. Kultivasi
itu sendiri memiliki makna penguatan, pengembangan, perkembangan, penanaman
atau pererataan, dalam artian bagaimana terpaan media (khususnya TV).
Teori
ini mencoba mengaitkan media masa (televisi khususnya) dengan tindak kekerasan,
para pecandu (penonton berat/heavy viewers) televisi mencoba membangun
keyakinan yang berlebihan bahwa “ Dunia itu sangat menakutkan”. Hal tersebut
disebabkan keyakinan mereka bahwa “apa yang mereka lihat di televisi” yang
cenderung banyak menyajikan acara kekerasan adalah “apa yang mereka yakini
terjadi juga dalam dunia nyata”.
Program-program
seperti Buser, Patroli, dsb selalu menayangkan kasus-kasus kriminal yang pada
akhirnya membentuk opini khalayak bahwa Negara Indonesia ini sangat tidak aman
karena berita kekerasan ditayangkan dari berbagai daerah. Contohnya, Anak yang
sering menonton berita-berita tentang penculikan bisa mengalami ketakutan yang
berlebihan. Mereka cenderung tidak berani lagi keluar bermain dengan temannnya
di sekitar rumahnya dibanding anak yang tidak pernah menonton berita tersebut.
Hal
ini menunjukkan bahwa betapa pesan dari televisi dapat membentuk sebuah
persepsi negatif tentang realitas. Meskipun nilai kebenarannya ada tapi hanya
di daerah tertentu namun penonton berat “heavy viewers” cenderung membuat
generalisasi.
B. Paradigma Konstruktivistik
1.) Teori Interaksionisme Simbolik (Interactionism Symbolic)
Namun
ilmuwan social yang dikenal sebagai peletak dasar teori ini adalah George
Herbert Mead (1920-1930an). Menurut
Mead tindakan sosial bermakna jauh, berdasarkan makna subjektifnya yang
diberikan individu-individu. Herbert Blumer teman sejawat Mead yang mengkaji lebih mendalam teori ini dan
menamakannya interaksionisme simbolik.
Manurut
Blumer ada tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yaitu meaning (makna), lenguange (bahasa), and
thought (pemikiran) ketiga premis ini lah yang membentuk konsep diri dan
sosialisai dalam komunitas.
Blumer mengajukan premis pertama, bahwa
human act toward people or things on the basis of the meanings they assign
to those people or things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap
terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang
mereka kenakan kepada pihak lain tersebut. Makna diciptakan dari proses
interaksi dan dimodifikasi dalam proses interpretative.
Asumsi
lain dari teori ini yang masih relevan (1) Pentingnya makna bagi perilaku
manusia. (2) Pentingnya konsep mengenai diri, (3) Hubungan antar individu dan
masyarakat. (Ralph LaRossa and Donald
C.Reitzer). Aplikasi toeri ini
dapat dilihat dari contoh berikut:
Nikita Willy adalah seorang artis sinetron yang
sangat terkenal di Indonesia. Ketenarannya itu membuatnya diperlakukan
sebagaimana publik figure pada umumnya. Dia tidak bebas dalam berinteraksi
secara wajar di masyarakat karena harus tampil sebagai idola yang ramah
sebagaimana anggapan komunitas penggemarnya. Pemaknaan seperti itu membuatnya
harus mempertahankan citra. Sehingga ke manapun ia pergi, ia senantiasa menyapa
mereka serta melayani permintaan foto meskipun sebenarnya ia dalam keadaan
sangat lelah. Hal ini membuatnya sangat jenuh, namun demi tuntutan profesi, ia
harus menjalaninya. Demikian yang terjadi saat di dalam negeri. Keaadaan
berubah ketika ia berada di luar negeri.. Ia dimaknai atau dianggap orang biasa
sehingga tidak ada respon yang menuntutnya berlaku selebriti seperti di
Indonesia.
2.) Teori Julukan (Labeling Theory)
Lahirnya teori labeling,
diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan telah berkembang
sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang
seperti, kriminolog, kesehatan mental, kesehatan dan pendidikan. Teori
labelling dipelopori oleh Lemert dan Interaksionisme simbolik dari
Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker
pada tahun 1963. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap.
Awalnya, menurut Teori Struktural devian atau penyimpangan dipahami sebagai
perilaku yang ada dan merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma
sosial. Devian adalah bentuk dari perilaku.
Labeling adalah sebuah
definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang
tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan
label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan
kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu.
Menurut
teori ini seseorang menyimpang karena adanya proses labeling berupa pemberian
julukan, cap, dan etiket, oleh masyarakat. Teori ini menegaskan bahwa terdapat
3 fase dalam teori ini: Fase pertama disebut primer deviation. Seseorang
melakukan penyimpangan karena dilabeli/dinamai sesuatu oleh masyarakat. Fase
kedua secondary deviant., Pada poses ini seseorang melakukan penyimpangan yang
telah diulang-ulang. Fase ketiga yaitu fase gaya hidup (deviant life stye) Penyimpangan
bagi seseorang sudah menjadi bagian dari gaya hidupnya yang kemudian
menghasilkan karier menyimpang (deviant career).
Perilaku
masyarakat dengan memberikan julukan kepada seseorang atau kelompok yang
menyimpang membuat mereka mengidentifikasikan diri dengan cap tersebut. Ketika
penyimpangan dilakukan secara berulang-ulang maka menjadi gaya hidup yang
dianggap sebagai identitas bagi orang atau kelompok tersebut.
Contohnya
yaitu, seorang anak SD yang suatu ketika terpaksa mencuri uang temannya.
Perbuatannya tersebut ternyata tertangkap basah oleh pemilik uang itu. Akhirnya
diadukan dan mendapat hukuman. Dalam hal ini hukuman yang secara langsung
diberikan oleh teman-teman maupun gurunya adalah cap atau julukan sebagai
pencuri. Meskipun ia sudah tidak pernah lagi mencuri namun orang-orang
disekitarnya masih terus menyebutnya pencuri. Akhirya ia sudah terbiasa dengan
cap tersebut hingga dewasa. Maka, ia pun kembali terdorong melakukan aksinya
dulu dan berhasil. Setelah berulang-ulang berhasil mencuri, tahap selanjutnya
ia sudah mengaggap hal itu sudah menjadi jalan hidupnya sebagai pencuri.
Demikianlah
betapa penjulukan yang diberikan oleh orang-orang yang berada di sekitar kita
membentuk konsep diri kita di mata mereka. Hingga pada akhirnya mempengaruhi
tindakan ataupun cara kita berinteraksi dengan mereka.
C. Paradigma Kritis
1.)Post-Strukturalisme
Tokoh yang paling berpengaruh pada era
kritis sastra post-strukturalisme adalah seorang filsuf perancis Jacques
Derrida. Selain itu, buah karya pemikiran psikoanalis Jacques Lacan
dan ahli teori kebudayaan Michael Foucault juga berperan penting dalam
kemunculan post-struktural tersebut. Derrida menekankan “logosentrisme”
(berpusat pada logo) pemikiran barat bahwa makna dipahami sebagai independensi
bahasa yang dikomunikasikan dan tidak tunduk pada permainan bahasa.
Bila strukturalis melihat keteraturan dan
stabilitas dalam sistem bahasa, maka Jacques Derrida, tokoh utama pendekatan
post-strukturalisme melihat bahasa tak teratur dan tak stabil. Derrida
menurunkan peran bahasa yang menurutnya
hanya sekedar “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya, dia juga melihat bahwa
lembaga sosial tak lain hanya sebagai tulisan, karena itu tak mampu memaksa
orang. Konteks yang berlainan memberikan kata-kata dengan arti yang berlainan
pula. Akibatnya sistem bahasa tak mempunyai kekuatan memaksa terhadap orang,
yang menurut pandangan teoritisi strukturalis justru memaksa. Karena itu
menurut Derrida mustahil bagi ilmuwan untuk menemukan hukum umum yang mendasari
bahasa. Ia mengkritik masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme
(pencarian sistem berpikir universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat,
indah dan seterusnya).
Contoh: Kemunculan cara pembayaran dengan menggunakan kartu
kredit dimaknai oleh teori post struturalisme sebagai upaya yang justru tidak
memberikan kemudahan. Untuk mendapatkan kartu tersebut, kita harus memenuhi
beberapa persyaratan termasuk harus memahami jadwal pembayaran. Ketika pemilik
kartu itu mengetahui dan dapat memanfaatkan kartu tersebut secara optimal, maka
hal itu akan berguna. Namun pandangan yang berbeda ketika pengguna kartu tidak
memanfaatkan kartu itu semaksimal mungkin. Sehingga keuntungan hanya didapatkan
oleh pihak bank.
2.) Teori Kritis
Media (Media Critical Theory)
Teori
media kritis akarnya berasal dari aliran ilmu-ilmu kritis yang bersumber pada
ilmu sosial Marxis. Beberapa tokoh yang mempeloporinya antara lain Karl Mark,
Engels (pemikiran klasik), George Lukacs, Korsch, Gramschi, Guevara, Regis,
Debay, T Adorno, Horkheimer, Marcuse, Habermas, Altrusser, Johan Galtung,
Cardoso, Dos Santos, Paul Baran Samir Amin, Hamza Alavi (pemikiran modern).
Ilmu ini juga disebut dengan emancipatory science (cabang ilmu sosial yang
berjuang untuk mendobrak status quo dan membebaskan manusia, khususnya rakyat
miskin dan kecil dari status quo dan struktur sistem yang menindas).
Teori
kritis membangun pertanyaan dan menyediakan alternatif jalan untuk
menginterpretasikan hukum sosial media massa. Beberapa
penganjur teori ini mengatakan bahwa media secara umum mengukuhkan status quo –
bahkan mungkin secara khusus, ketika status quo itu dibawah tekanan atau tidak
bisa berubah.
Media
dianggap tidak mampu melawan kekuasaan sehingga selalu mempertahankan sebuah
keadaan, bahkan membuat kasus semakin parah. Sebagai contoh yaitu ketika kasus
pencekalan Lady Gaga untuk melakukan konser di Indonesia. Media massa
terus-menerus menayangkan pihak pencekal yakni FPI, MUI dsb dan pihak penggemar
Lady gaga yang terus menerus menyuarakan keberatannya. Mereka membantah
anggapan FPI dan MUI bahwa Lady gaga mengumbar aurat. Menurutnya aksi panggung
sang idola adalah sebuah seni. media massa tidak mendukung status quo (pihak yang
berkuasa), dan ini yang menjadi tujuan teori kritis media.
Media massa terus mempertahankan status quo dengan
menanyakan alasan tidak diberikannya izin, menayangkan pendapat setiap kalangan
sampai DPR pun sibuk memanggil Polda Metro Jaya. Hal itu menyebabkan kasus ini
sampai mencuat ke media internasional.
mbak boleh tahu, berdasar buku apakah tulisan ini, saya tertarik membaca lebih lanjut. trims
ReplyDeleteIya mas sama2.. ada beberapa buku yang sy gunakan u/ menyusun tulisan di atas... tapi maaf sepertinya daftar pustakanya ketinggalan. yang jelas dari buku2 yang membahas teori komunikasi.
DeleteAssalamu'alaykum. Salam kenal. ;D
ReplyDeleteWaalaikumsalam. wr.wb.. iya slm knal jg :)
Delete