Thursday, April 11, 2013

Teori Komunikasi Paradigma Positivistik, Konstruktivistik dan Kritis


A. Teori Komunikasi Paradigma Positivistik
1.) Teori Lingkar Kesunyian (Spiral of Silence)
Teori ini dikemukakan oleh Elizabeth Noelle-Neuman (1976), berkaitan dengan pertanyaan bagaimana terbentuknya pendapat umum. Teori ini menjelaskan bahwa terbentuknya pendapat umum ditentukan oleh suatu proses saling mempengaruhi antara komunikasi massa, komunikasi antar pribadi, dan persepsi individu tentang pendapatnya dalam hubungannya dengan pendapat orang-orang lain dalam masyarakat.
Teori ini muncul karena orang-orang dari kelompok minoritas sering merasa perlu untuk menyembunyikan pendapat dan pandangannya ketika berada dalam kelompok mayoritas. Pada intinya mereka menganggap bahwa “Diam itu Emas” karena ketakutan akan terisolasi ketika mereka berani berbicara dan menganggap opini yang mereka sampikan akan sia-sia belaka.
Media massa memainkan peran sangat penting dalam teori ini. Dalam membentuk opini publik, media massa hanya mengangkat opini kelompok mayoritas dengan mengabaikan opini kelompok minoritas.
Sebagai contoh, pada rezim Suharto yang dianggap otoriter, banyak masyarakat terpaksa bungkam saat tidak setuju terhadap suatu kebijakan. Meskipun ada juga kelompok yang berani bersuara maka mereka akan menerima konsekuensi seperti penculikan bahkan pembunuhan secara misterius. Namun teori ini sebenarnya bersifat bom waktu. Maka dalam kasus ini bom waktu tersebut meledak ketika para demonstran meduduki gedung DPR dan mengakhiri masa orde baru.

2. )  Teori Kultivasi ( Cultivation Theory )
Teori kultuvasi atau sering disebut hipotesa kultivasi merupakan sebuah pendekatan yang dibuat oleh George Gerbner pada pertengahan tahun 60-an dalam rangka bagaimana televisi mempengaruhi pemikiran pemirsanya menerjemahkan fenomena-fenomena yang terjadi disekitarnya. Kultivasi itu sendiri memiliki makna penguatan, pengembangan, perkembangan, penanaman atau pererataan, dalam artian bagaimana terpaan media (khususnya TV).
Teori ini mencoba mengaitkan media masa (televisi khususnya) dengan tindak kekerasan, para pecandu (penonton berat/heavy viewers) televisi mencoba membangun keyakinan yang berlebihan bahwa “ Dunia itu sangat menakutkan”. Hal tersebut disebabkan keyakinan mereka bahwa “apa yang mereka lihat di televisi” yang cenderung banyak menyajikan acara kekerasan adalah “apa yang mereka yakini terjadi juga dalam dunia nyata”.
Program-program seperti Buser, Patroli, dsb selalu menayangkan kasus-kasus kriminal yang pada akhirnya membentuk opini khalayak bahwa Negara Indonesia ini sangat tidak aman karena berita kekerasan ditayangkan dari berbagai daerah. Contohnya, Anak yang sering menonton berita-berita tentang penculikan bisa mengalami ketakutan yang berlebihan. Mereka cenderung tidak berani lagi keluar bermain dengan temannnya di sekitar rumahnya dibanding anak yang tidak pernah menonton berita tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa betapa pesan dari televisi dapat membentuk sebuah persepsi negatif tentang realitas. Meskipun nilai kebenarannya ada tapi hanya di daerah tertentu namun penonton berat “heavy viewers” cenderung membuat generalisasi.

B. Paradigma Konstruktivistik
1.) Teori Interaksionisme Simbolik (Interactionism Symbolic)
Namun ilmuwan social yang dikenal sebagai peletak dasar teori ini adalah George Herbert Mead (1920-1930an). Menurut Mead tindakan sosial bermakna jauh, berdasarkan makna subjektifnya yang diberikan individu-individu. Herbert Blumer teman sejawat Mead yang mengkaji lebih mendalam teori ini dan menamakannya interaksionisme simbolik.
Manurut Blumer ada tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yaitu meaning (makna), lenguange (bahasa), and thought (pemikiran) ketiga premis ini lah yang membentuk konsep diri dan sosialisai dalam komunitas.
Blumer mengajukan premis pertama, bahwa human act toward people or things on the basis of the meanings they assign to those people or things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut. Makna diciptakan dari proses interaksi dan dimodifikasi dalam proses interpretative.
Asumsi lain dari teori ini yang masih relevan (1) Pentingnya makna bagi perilaku manusia. (2) Pentingnya konsep mengenai diri, (3) Hubungan antar individu dan masyarakat. (Ralph LaRossa and Donald C.Reitzer). Aplikasi toeri ini dapat dilihat dari contoh berikut:
Nikita Willy adalah seorang artis sinetron yang sangat terkenal di Indonesia. Ketenarannya itu membuatnya diperlakukan sebagaimana publik figure pada umumnya. Dia tidak bebas dalam berinteraksi secara wajar di masyarakat karena harus tampil sebagai idola yang ramah sebagaimana anggapan komunitas penggemarnya. Pemaknaan seperti itu membuatnya harus mempertahankan citra. Sehingga ke manapun ia pergi, ia senantiasa menyapa mereka serta melayani permintaan foto meskipun sebenarnya ia dalam keadaan sangat lelah. Hal ini membuatnya sangat jenuh, namun demi tuntutan profesi, ia harus menjalaninya. Demikian yang terjadi saat di dalam negeri. Keaadaan berubah ketika ia berada di luar negeri.. Ia dimaknai atau dianggap orang biasa sehingga tidak ada respon yang menuntutnya berlaku selebriti seperti di Indonesia.
2.) Teori Julukan (Labeling Theory)
Lahirnya teori labeling, diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti, kriminolog, kesehatan mental, kesehatan dan pendidikan. Teori labelling dipelopori oleh Lemert dan Interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap. Awalnya, menurut Teori Struktural devian atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada dan merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Devian adalah bentuk dari perilaku.
Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu.
Menurut teori ini seseorang menyimpang karena adanya proses labeling berupa pemberian julukan, cap, dan etiket, oleh masyarakat. Teori ini menegaskan bahwa terdapat 3 fase dalam teori ini: Fase pertama disebut primer deviation. Seseorang melakukan penyimpangan karena dilabeli/dinamai sesuatu oleh masyarakat. Fase kedua secondary deviant., Pada poses ini seseorang melakukan penyimpangan yang telah diulang-ulang. Fase ketiga yaitu fase gaya hidup (deviant life stye) Penyimpangan bagi seseorang sudah menjadi bagian dari gaya hidupnya yang kemudian menghasilkan karier menyimpang (deviant career).
Perilaku masyarakat dengan memberikan julukan kepada seseorang atau kelompok yang menyimpang membuat mereka mengidentifikasikan diri dengan cap tersebut. Ketika penyimpangan dilakukan secara berulang-ulang maka menjadi gaya hidup yang dianggap sebagai identitas bagi orang atau kelompok tersebut.
Contohnya yaitu, seorang anak SD yang suatu ketika terpaksa mencuri uang temannya. Perbuatannya tersebut ternyata tertangkap basah oleh pemilik uang itu. Akhirnya diadukan dan mendapat hukuman. Dalam hal ini hukuman yang secara langsung diberikan oleh teman-teman maupun gurunya adalah cap atau julukan sebagai pencuri. Meskipun ia sudah tidak pernah lagi mencuri namun orang-orang disekitarnya masih terus menyebutnya pencuri. Akhirya ia sudah terbiasa dengan cap tersebut hingga dewasa. Maka, ia pun kembali terdorong melakukan aksinya dulu dan berhasil. Setelah berulang-ulang berhasil mencuri, tahap selanjutnya ia sudah mengaggap hal itu sudah menjadi jalan hidupnya sebagai pencuri.
Demikianlah betapa penjulukan yang diberikan oleh orang-orang yang berada di sekitar kita membentuk konsep diri kita di mata mereka. Hingga pada akhirnya mempengaruhi tindakan ataupun cara kita berinteraksi dengan mereka.
C. Paradigma Kritis
1.)Post-Strukturalisme
Tokoh yang paling berpengaruh pada era kritis sastra post-strukturalisme adalah seorang filsuf perancis Jacques Derrida. Selain itu, buah karya pemikiran psikoanalis Jacques Lacan dan ahli teori kebudayaan Michael Foucault juga berperan penting dalam kemunculan post-struktural tersebut. Derrida menekankan “logosentrisme” (berpusat pada logo) pemikiran barat bahwa makna dipahami sebagai independensi bahasa yang dikomunikasikan dan tidak tunduk pada permainan bahasa.
Bila strukturalis melihat keteraturan dan stabilitas dalam sistem bahasa, maka Jacques Derrida, tokoh utama pendekatan post-strukturalisme melihat bahasa tak teratur dan tak stabil. Derrida menurunkan peran bahasa yang menurutnya hanya sekedar “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya, dia juga melihat bahwa lembaga sosial tak lain hanya sebagai tulisan, karena itu tak mampu memaksa orang. Konteks yang berlainan memberikan kata-kata dengan arti yang berlainan pula. Akibatnya sistem bahasa tak mempunyai kekuatan memaksa terhadap orang, yang menurut pandangan teoritisi strukturalis justru memaksa. Karena itu menurut Derrida mustahil bagi ilmuwan untuk menemukan hukum umum yang mendasari bahasa. Ia mengkritik masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme (pencarian sistem berpikir universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, indah dan seterusnya).
Contoh: Kemunculan cara pembayaran dengan menggunakan kartu kredit dimaknai oleh teori post struturalisme sebagai upaya yang justru tidak memberikan kemudahan. Untuk mendapatkan kartu tersebut, kita harus memenuhi beberapa persyaratan termasuk harus memahami jadwal pembayaran. Ketika pemilik kartu itu mengetahui dan dapat memanfaatkan kartu tersebut secara optimal, maka hal itu akan berguna. Namun pandangan yang berbeda ketika pengguna kartu tidak memanfaatkan kartu itu semaksimal mungkin. Sehingga keuntungan hanya didapatkan oleh pihak bank.

2.) Teori Kritis Media (Media Critical Theory)
Teori media kritis akarnya berasal dari aliran ilmu-ilmu kritis yang bersumber pada ilmu sosial Marxis. Beberapa tokoh yang mempeloporinya antara lain Karl Mark, Engels (pemikiran klasik), George Lukacs, Korsch, Gramschi, Guevara, Regis, Debay, T Adorno, Horkheimer, Marcuse, Habermas, Altrusser, Johan Galtung, Cardoso, Dos Santos, Paul Baran Samir Amin, Hamza Alavi (pemikiran modern). Ilmu ini juga disebut dengan emancipatory science (cabang ilmu sosial yang berjuang untuk mendobrak status quo dan membebaskan manusia, khususnya rakyat miskin dan kecil dari status quo dan struktur sistem yang menindas).
Teori kritis membangun pertanyaan dan menyediakan alternatif jalan untuk menginterpretasikan hukum sosial media massa. Beberapa penganjur teori ini mengatakan bahwa media secara umum mengukuhkan status quo – bahkan mungkin secara khusus, ketika status quo itu dibawah tekanan atau tidak bisa berubah.
Media dianggap tidak mampu melawan kekuasaan sehingga selalu mempertahankan sebuah keadaan, bahkan membuat kasus semakin parah. Sebagai contoh yaitu ketika kasus pencekalan Lady Gaga untuk melakukan konser di Indonesia. Media massa terus-menerus menayangkan pihak pencekal yakni FPI, MUI dsb dan pihak penggemar Lady gaga yang terus menerus menyuarakan keberatannya. Mereka membantah anggapan FPI dan MUI bahwa Lady gaga mengumbar aurat. Menurutnya aksi panggung sang idola adalah sebuah seni. media massa tidak mendukung status quo (pihak yang berkuasa), dan ini yang menjadi tujuan teori kritis media.
Media massa terus mempertahankan status quo dengan menanyakan alasan tidak diberikannya izin, menayangkan pendapat setiap kalangan sampai DPR pun sibuk memanggil Polda Metro Jaya. Hal itu menyebabkan kasus ini sampai mencuat ke media internasional.

4 comments:

  1. mbak boleh tahu, berdasar buku apakah tulisan ini, saya tertarik membaca lebih lanjut. trims

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mas sama2.. ada beberapa buku yang sy gunakan u/ menyusun tulisan di atas... tapi maaf sepertinya daftar pustakanya ketinggalan. yang jelas dari buku2 yang membahas teori komunikasi.

      Delete
  2. Assalamu'alaykum. Salam kenal. ;D

    ReplyDelete

d'SwEEt piNk