Friday, May 10, 2013


ASPEK EPISTEMOLOGI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Epistemologi disebut juga dengan filsafat ilmu, merupakan cabang filsafat yang mempelajari dan menentukan ruang lingkup pengetahuan. Epistemologi berusaha membahas bagaimana ilmu didapatkan, bukan untuk apa atau mengenai apa. Para filsuf aliran Sokratik, atau filsauf-filsuf pertama di Barat pada waktu itu belum memberikan perhatian terhadap filsafat pengetahuan. Dan bukan berarti mereka tidak peduli terhadap filsafat. Kehidupan filsafat di Barat makin menunjukkan kemajuannya.
Aristoteles mengawali metafisikanya dengan pernyataan”setiap manusia dari kodratnya ingin tahu.” Aristoteles meyakini hal tersebut. Keyakinan tersebut tidak hanya untuk orang lain saja, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan Socrates, Socrates telah meniti karirnya sendiri dengan berdasarkan suatu pondasi yang berbeda, ia meyakini bahwa tidak seorang manusia pun mempunyai pengetahuan (Hardono Hadi, 1994 : 13). Ada kemungkinan manusia tidak mempunyai pengetahuan karena tidak menggunakan inderanya untuk mengenali alam ini, sehingga manusia akan mengetahui ketika ada rasa kagum. Ketika manusia tidak kagum, maka ia tidak akan pernah mengenal filsafat, karena pada dasarnya dari rasa kagumlah filsafat bermula. Rasa kagum sebenarnya bukan muncul dari sesuatu yang sulit, tetapi kekaguman muncul, sering muncul dan tampak sederhana dalam kehidupan manusia.
Manusia sering menganggap bahwa sesuatu yang kelihatan adalah dapat dipahami dengan benar dan seolah-olah ia telah mengetahui keberadaan benda dan materi tersebut secara mendalam. Anggapan manusia bahwa apa yang terlihat dan dilihatnya serta dikenalnya, belum tentau dapat dipahami hakikatnya, belum pasti manusia telah sampai kepada pengetahuan yang ia kenal. Dari sinilah nantinya ada peluang bagi epistemologi untuk menjelaskan kenapa manusia mengetahui, kenapa sesuatu itu menjadi seperti itu.
Epistemologi berusaha menjembatani manusia agar menyadari bahwa sebenarnya pengetahuannya adalah karena ketidaktahuannya. Pengetahuan itu dianggap sah dan benar ketika benar menurut pengetahuan tersebut. Terkadang manusia melakukan trial and error untuk mengetahui sesuatu, dengan harapan akan mendapatkan kebenaran.
Bahkan, kalau diperhatikan ternyata pertanyaan-pertanyaan filosof sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Terkadang kalau ada orang bertanya tentang sesuatu yang sudah ada di anggap aneh, bahkan ada kesan bahwa sesuatu yang hadir, dianggap telah diketahui keadaannya, padahal belum kenal dan tahu apa hakikat benda itu. Hal tersebut merupakan salah satu persoalan-persoalan pokok dalam epistemologi. Kekaguman merupakan awal munculnya epistemologi.
Kemudian filsafat sebagai sebuah pembuka/ perintis terhadap ilmu-ilmu lain. Demikian juga dengan filsafat pengetahuan, filsafat pengetahuan dianggap luas atau sama luasnya dengan filsafat. Permasalahan anggapan umum/ akal sehat’common sense’. Secara kesejarahan gerakan pemikiran reflektif yang mencapai titik kulminasi memunculkan masalah pengetahuan secara terpisah yang dapat ditelusuri secara analitis. Pada tahap awal proses sejarah dan analitis merupakan common sense menemukan dirinya (Hardono Hadi, 1994 : 17). Manusia pada umumnya menyadari diri bahwa dirinya mempunyai pengetahuan, yang menurutunya pasti dan dianggap benar dan tidak boleh diremehkan.
Anggapan umum menyadari bahwa manusia sering tertipu, kesalahan-kesalahan dalam menetukan jarak, warna dan halusinasi. Semua itu merupakan hal-hal yang umum terjadi. Tetapi yang perlu disadari bahwa keyakinan-keyakinan umum dibentuk bukan dari kesalahan-kesalahan. Tetapi banyak manusia yang merasa lebih tenang dengan pandangan umum.
Pengetahuan berusaha memahami benda sebagaimana adanya, lalu akan timbul pertanyaan, bagaimana seseorang mengetahui kalau dirinya telah mencapai pengetahuan tentang benda sebagaimana adanya? Untuk menjawab apakah manusia telah tahu dengan pengetahuannya, maka epistemologi adalah jawabannya. Suatu pikiran tidak akan puas dengan pengetahuan-pengetahuan yang umum, pemikiran yang telah mencapai tingkat refleksi tidak dapat dipuaskan hanya dengan jaminan-jaminan umum. Kepastian yang dicari oleh epistemologi dalam mencari kebenaran apakah manusia sudah benar sesuai dengan tingkat pengetahuan dimungkinkan oleh suatu keraguan. Dengan keraguan inilah akan memberi kesempatan kepada epistemologi untuk menjawabnya.
Anggapan umum/akal sehat mempunyai peranan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan tentang berbagai fenomena alam. Sebagaimana diketahui bahwa ilmu dan filsafat dimulai dengan akal sehat. Berbagai peradaban mempunyai berbagai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat. Randall dan Buchler mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan (Jujun Suriasumantri, 2003 : 111). Pendapat Randall dan Buchler tersebut dalam satu sisi ada benarnya dan di sisi lain tidak dapat dibenarkan karena untuk mendapatkan akal sehat manusia ada kemungkinan mendapatkannnya dengan sadar dan disengaja. Jadi apabila tidak sengaja hanya dianggap sebagai pengetahuan akal sehat lalu pengetahuan yang dilakukan secara sadar dan sengaja tidak dikatakan sebagai akal sehat?
Ciri-ciri akal sehat menurut Titus adalah sebagai berikut, pertama karena landasannya yang berakar pada adat dan  tradisi maka akal sehat cenderung untuk bersifat kebiasaan dan pengulangan. Kedua karena alasannya berakar kurang kuat maka akal sehat cenderung bersifat kabur dan samar-samar. Ketiga karena kesimpulannya ditarik berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih dalam, maka pengetahuan akal sehat sekedar ilmu yang tidak teruji (Jujun Suriasumantri, 2003 : 111).
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa akal sehat ternyata tidak dapat dijadikan patokan dalam menentukan suatu kebenaran, akal sehat/anggapan umum ternyata tidak mampu memberi kesan dan kepuasan batin seseorang yang pada awalnya mereka yakin bahwa mereka telah tahu tentang sesuatu yang nyata, tetapi setelah dicermati dari pengetahuan yang didapatkan dari akal sehat, ternyata anggapan umum belum dapat dikatakan sebagai sebuah pengetahuan yang teruji.
Akal sehat memang diperlukan, namun tidak cukup karena ia tidak sanggup menjelaskan dan tidak mengerti sebab-sebab kesesatan dan cara berpikir yang palsu. Terlebih lagi jika kegiatan berpikir manusia telah meningkat pada masalah-masalah yang kompleks, prinsip-prinsip dasar, serta menyadari implikasi pemikiran dan membuat kesimpulan-kesimpulan yang jauh lebih sulit (Rodliyah Khuza’i, 2007 : 85-86).
Persoalan lain yang muncul tentang epistemologi adalah keraguan/ skeptisisme. Para pendukung skeptisisme keberatan terhadap pelaksanaan epistemologi, karena dianggap mengusulkan sesuatu yang tidak nyata dan bersifat khayal bagi diri sendiri. Posisi seorang skeptis absolut merupakan hal yang paling rapuh di dalam seluruh bidang filsafat. Menurut aliran skeptis absolut pikiran manusia tidak dapat mencapai kebenaran objektif (Hardono Hadi, 1994 : 19).
Usaha penyangkalannya terhadap penyangkalan merupakan ketidak konsistenya. Keyakinannya terhadap penyangkalan keyakinan merupakan penyangkalan terhadap keyakinannya sendiri terhadap akal. Meskipun skeptis berusaha menghindar, tetapi kelompok ini secara implisit menunjukkan apa yang dinyatakannya secara eksplisit. Sebagai contoh mereka merasa puas dengan meragukan pikiran mampu menyentuh kenyataan.
Berbeda kedudukannya dengan konsep realitas dalam pemikiran Islam. Menurut Al-Qur'an realitas objek yang dapat diketahui mencakupi seluruh alam semesta dan penciptanya yakni Allah Swt. Alam semesta yang wujud di luar diri manusia bersifat irarkis. Maksudnya, ia memiliki berbagai tingkat wujud atau eksistensi. Selain alam fisik wujud alam bukan fisik yang juga dapat diketahui oleh manusia. Alam semesta atau kosmos yang diperlihatkan oleh al-Qur'an terbahagi secara kasarnya kepada tiga tingkat wujud dengan sifat realitas masing-masing. Realitas tingkat terendah adalah realitas fisik atau dunia materi. Realitas tingkat teratas adalah realitas spiritual. Dalam al-Qur'an realitas ini merujuk kepada dunia malaikat yang menurut hadis adalah dicipta daripada cahaya. Realitas tingkat tengah adalah realitas psikis atau animistik yang juga disebut sebagai dunia halus. Dari segi peristilahan keagamaan di dalam al-Qur'an realitas ini merujuk kepada dunia jin yang dicipta daripada api yang bukan fisik[1]
Dalam  epistemologi Islam, nadhariyyat ma’rifiyyat Islamiyyat, didasarkan pada paradigma tauhid. Metodologi dimulai dengan penamaan Adam dan pengklasifikasian semua benda yang diikuti oleh penemuan hasil percobaan-percobaan dan  investigasi metodologis sistematis terkini. Terinspirasi oleh Al Qur’an, umat Muslim mengembangkan metodologi empiris ilmiah yang menyebabkan timbulnya reformasi Eropa, Renaissance, serta revolusi ilmiah dan teknologi yang dimulai pada awal abad 16.[2]




B.     Rumusan Masalah
Untuk lebih memfokuskan pembahasan, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
  1. Apa Pengertian Epistemologi?
  2. Bagaimana Aspek Epistemologi Ilmu dalam Perspektif Islam?












BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Epistemologi
Secara etimologis epistemologi berakar kata dari bahasa Yunani episteme yang mempunyai arti pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Logos juga berarti pengetahuan. Dari dua pengertian tersebut dapat dipahami bahwa epistemologi adalah ilmu pengetahuan tentang pengetahuan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa epistemologi membicarakan dirinya sendiri, membedah lebih dalam tentang dirinya sendiri. Epistemologi berhubungan dengan apa yang perlu diketahui dan bagaimana cara mengetahui pengetahuan. Lacey mengatakan bahwa epistemologi membahas tentang,”what can we know, and how do we know it,” (Suparlan Supartono, 2005 : 157).
Sedangkan menurut Qodri Azizy, epistemologi dikatakan sebagai filsafat ilmu. Lebih lanjut Azizi mengatakan epistemologi berkecenderungan berdiri sendiri. Ada juga yang menyatakan bahwa episteme berarti knowledge atau science, sedangkan logos berarti the theory of the nature of knowing and the means by which we know (Qodri Azizy, 2003 : 2).  Dengan demikian epistemologi atau teori pengetahuan didefinisikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, praanggapan-anggapan dan dasar-dasarnya serta reliabilitas umum yang dapat untuk mengklaim sesuatu sebagai ilmu pengetahuan.
Pembicaran tentang epistemologi akan berkutat pada tataran apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahui. Dengan demikian dalam pembahasan ini akan mengacu kepada beberapa teori tentang pengetahuan itu sendiri. Membahas epistemologi tidak akan lepas dari berbagai teori tentang pengetahuan, meskipun dalam realitasnya banyak teori-teori tentang pengetahuan mempunyai perbedaan-perbedaan. Terjadinya perbedaan tersebut akibat adanya perbedaan metode, objek, sistem dan tingkat kebenarannya yang berbeda.
Menurut Suparlan Suhartono perbedaan tersebut muncul akibat sudut pandang yang berbeda, metode yang bersumber dari rasionalisme dan empirisme.menurut Suparlan dari kedua metode tersebut yang lebih dapat dipercaya tergantung pada jenis dan sifat objek studi. Sebagai contoh penganut empirisme lebih cenderung kepada teori korespondensi tentang kebenaran, sedangkan penganut rasionalisme identik dengan teori koherensi (Suparlan Suahrtono, 2005 : 157).
Dari kutipan tersebut dapat diambil pemikiran bahwa kedua aliran tersebut membicarakan tentang hakekat kebenaran, dikatakan membicarakan tentang kebenaran karena pada dasarnya semua pengetahuan membahas dan mempersoalkan kebenaran. Amsal Bakhtiar menyatakan bahwa pada hakekatnya epistemeologi adalah berusaha membahas tentang pengetahuan, yang berhubungan dengan apa itu pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan (Amsal Bakhtiar, 1999 : 37). Dari pendapat Amsal Bakhtiar tersebut memperjelas makna epistemology, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan apa pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan.
Hal ini menunjukkan bahwa epistemologi berusaha membedah pengetahuan tentang dirinya sendiri dan berusaha mencari metode untuk mendapatkan pengetahuan. Mendapatkan pengetahuan berarti berhubungan dengan mengetahui, menurut Amsal Bakhtiar mengetahui sesuatu pada dasarnya adalah menyusun pendapat tentang suatu objek dalam akal tentang sesuatu yang berada di luar akal (Amsal Bakhtiar, 1999 : 37). Pendapat Amsal Bakhtiar merupakan duplikasi dari pendapat Aristoteles yang juga berpendapat seperti itu. Lebih lanjut Amsal menyatakan bahwa penyusunan dalam akal bisa jadi sama dengan fakta di luar akal dan bisa saja berbeda dengan yang diluar akal. Dengan kata lain, apakah gambaran dalam akal akan sama dengan realitas di luar akal. Hal ini akan merujuk kepada hakikat kebenaran.
Ada dua teori tentang kebenaran dan hakikat pengetahuan, dua teori tersebut adalah realisme yang mempunyai pandangan bahwa gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada di alam nyata (dari fakta atau hakikat) (Amsal Bakhtiar, 1999 : 37).  Artinya apa yang digambarkan akal adalah sesuai dengan realitas di luar akal atau diri manusia. Dengan pendapat tersebut aliran realisme berpendapat bahwa pengetahuan dianggap benar ketika sesuai dengan kenyataan. Teori kedua tentang hakikat pengetahuan adalah idealisme. Idealisme meyakini bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan realitas adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses mental/psikologis yang bersifat subyektif (Amsal Bakhtiar, 1999 : 39).  
Dengan demikian pengetahuan seorang idealis adalah bersifat subyektif. Sedangkan menurut Suparlan Supartono, teori kebenaran epistemologi dapat dibagi menjadi tiga yaitu, pertama, teori koherensi teori dibangun berdasarakan hakikat pribadi rasional ilmu pengetahuan, karena bersifat rasional, maka kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam ruang lingkup bertaraf abstrak ideal (Suparlan Supartono, 2005 : 163-164). Ukuran kebenaran diukur berdasarkan tingkat rasional,sejauh dapat diterima oleh akal. Kedua, teori koresponden, teori ini dibangun berdasarkan hakikat empirik ilmu pengetahuan. Karena itu, kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam ruanag lingkup bertaraf konkret realistik. Ukuran kebenaran ditentukan dengan tingkat empirik, sejauh dapat dialami di dalam realita konkret, artinya kebenaran ada jika ada kesesuaian antara idea dengan pengalaman konkret. Ketiga, teori pragmatik, teori ini dibangun berdasarkan hakikat rasional maupun empirik ilmu pengetahuan. Kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam lingkup dialektis rasional danempirik, akibatnya ukuran kebenaran bersatandardua dengan menekankan pada nilai kegunaan dan dapat dikerjakan/parktis.
B. Epistemologi Ilmu Menurut Islam
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa epistemologi adalah bagaimana mengetahui pengetahuan. Islam menganjurkan bahkan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang yang yakin dan berilmu.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ   
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.( QS. Surat Al-Mujadalah :11).

 Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa menuntut ilmu penting bagi manusia, karena dapat meningkatkan derajat manusia di sisi Allah Swt dan di sisi manusia. Kebenaran tersebut bermula ketika manusia mampu membaca-tanda-tanda kekuasaan Allah. Di antara sarana untuk mengenal kebenaran adalah dengan membaca dan menulis. Membaca dan menulis yang didasarkan kepada wahyu Allah/Al-Quran.dengan membaca manusia akan mempunyai ilmu pengetahuan.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq:1-5).

Ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk banyak membaca, apakah membaca yang tersurat maupun membaca yang tersirat. Tujuan dari pembacaan terhadap tanda-tanda/ayat-ayat Allah yang tersurat maupun yang tersirat bertujuan agar manusia mendapatkan kebenaran, mendapatkan ilmu pengetahuan. Ketika manusia mendapatkan pengetahuan maka manusia akan mendapatkan kemuliaan, garansi kemuliaan ini hanya bagi manusia yang yakin kepada Allah dan yang sekaligus mempunyai ilmu.
Al-Quran menyatakan bahwa tidak sama antara orang yang berilmu pengetahuan dengan yang tidak berilmu pengetahuan.

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

(Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar : 9).

Dalam ayat tersebut juga dinyatakan bahwa hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Artinya adalah manusia yang berakal akan mendapatkan pelajaran dan ilmu pengetahuan. Bahkan hanya orang yang berakallah yang dapat memahami ayat-ayat Allah.
Dalam ayat lain Allah berfirman,

وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ ۖ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
Dan perumpamaan-perumpamaan Ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (QS. Al-Ankabut : 43).

Dengan demikian orang yang berilmu akan mendapatkan pemahaman dari ayat-ayat Allah. Pemahaman orang-orang berilmu akan menghasilkan kebenaran. Dan kebenaran yang paling dapat dipercaya adalah kebenaran wahyu Allah.
Islam memandang ilmu bukan terbatas pada eksperimental, tetapi lebih dari itu ilmu dalam pandangan Islam mengacu kepada aspek sebagai berikut pertama, metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap realitas yang agung, menjawab pertanyaan abadi, yaitu dari mana, kemana dan bagaimana. Dengan menjawab pertanyaan tersebut manusia akan mengetahui landasan berpijak dan memahami akan Tuhannya. Kedua, aspek humaniora dan studi-studi yang berkaitannya yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, hubungannya dengan dimensi ruang dan waktu, psikologi, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya. Ketiga aspek material, yang termasuk dalam aspek ini adalah alam raya, ilmu yang dibangun berdasarkan observasi, eksperimen, seperti dengan uji coba di laboratorium (M. Zainuddin, 2006 : 53).
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Islam tidak hanya menggunakan rasionalitas, empirisme saja dalam menemukan kebenaran, tetapi Islam menghargai dan menggunakan wahyu dan intuisi, ilham dalam mencari kebenaran.
فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْءَةَ أَخِيهِ ۚ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَٰذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي ۖ فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ

“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, Mengapa Aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu Aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal (QS. Al-Maidah : 31).

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa untuk mendapatkan ilmu yang benar dapat muncul dari contoh-contoh dan fenomena alam yang sengaja Allah ciptakan agar manusia memperhatikan dan mengambil pelajaran. Bahkan dalam Al-Quran dinyatakan bahwa akal saja tidak akan mampu mengambil kebenaran dari ayat-ayat Allah, untuk mencari kebenaran menurut Al-quran tidak dapat mengandalkan akal sebagi satu-satunya jalan untuk memperoleh kebenaran. Al-Quran menyatakan semau tanda-tanda /ayat-ayat Allah tidak ada gunanya keculai bagi mereka yang beriman. Dalam ayat lain Allah memberi dorongan kepada manusia untuk menggunakan inderanya agar mendapatkan pengetahuan dan kebenaran.

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُزْجِي سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ يَشَاءُ ۖ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ

“Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, Kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, Kemudian menjadikannya bertindih-tindih, Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, Maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan” (QS. An-Nur : 43).

Ayat tersebut mengindikasikan bahwa tidak semua orang akan mendapatkan kebenaran, hal ini membuktikan bahwa meskipun manusia mempunyai akal tetapi dengan akalnya ia tidak serta merta mendapatkan kebenaran hakiki. Kalau tidak izin Allah dan kehendak Allah maka manusia tidak akan mendapatkan ilmu dan kebenaran. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah menganjurkan kepada manusia untuk menggunakan panca inderanya untuk memahami ayat-ayat/ tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengan demikian panca indera merupakan jalan untuk mendapatkan ilmu dan kebenaran.

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً ۖ لَكُمْ مِنْهُ شَرَابٌ وَمِنْهُ شَجَرٌ فِيهِ تُسِيمُونَ  
يُنْبِتُ لَكُمْ بِهِ الزَّرْعَ وَالزَّيْتُونَ وَالنَّخِيلَ وَالْأَعْنَابَ وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ۖ وَالنُّجُومُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

 ”Dia-lah, yang Telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)” (QS. An-Nahl : 10-12).

Al-Quran menganjurkan kepada manusia untuk menggunakan akal untuk memperoleh pengetahuan, dengan berbagai fonomena akal manusia dapat memahami tanda-tanda kekuasaan Allah.

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (QS. Al-Hajj : 46).

Meskipun Islam menyuruh akal manusia untuk memahami, meneliti ayat-ayat Allah, tetai peran akal dalam eksperimen tidak sebebas-bebasnya. Dalam arti masih ada batas akhir dari kemampuan akal untuk mencapai kebenaran. Ketika akal manusia terbentur maka yang berlaku pada saat itu adalah keimanan terhadap wahyu Allah. Dengan demikian adanya anggapan bahwa eksperimen-eksperimen ilmiah sudah mencukupi untuk menemuklan kebenaran tentang adanya Tuhan, sudah cukup untuk menjadi sarana mengenal Tuhan. Padahal Allah mengatakan bahwa Al-Quran adalah sebuah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya dan merupakan petunjuk bagi orang –orang yang bertakwa. Yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan Allah sebelumnya.
الم
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ


Alif laam miin. Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Baqarah : 1-5).

Panca indera adalah alat bagi akal untuk mencerap pengetahuan. Akal akan sempurna ketika diperkaya oleh wawasan yang didapatkan melalui indera.

وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَمِعُونَ إِلَيْكَ ۚ أَفَأَنْتَ تُسْمِعُ الصُّمَّ وَلَوْ كَانُوا لَا يَعْقِلُونَ
وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْظُرُ إِلَيْكَ ۚ أَفَأَنْتَ تَهْدِي الْعُمْيَ وَلَوْ كَانُوا لَا يُبْصِرُونَ



Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkanmu. apakah kamu dapat menjadikan orang-orang tuli itu mendengar walaupun mereka tidak mengerti. Dan di antara mereka ada orang yang melihat kepadamu, apakah dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan (QS. Yunus : 42-43).


Pengetahuan yang bersifat inderawi dapat dicerap secara inderawi, sedangkan pengetahuan yang bersifat non inderawi/metafisika hanya dapat diyakini dan dibenarkan dengan keimanan.


وَلِلَّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan (QS. Hud : 123).


عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا

(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu (QS. Al-Jinn : 26)”.


قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا ۖ لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ ۚ مَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا


Katakanlah: “Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka selain dari pada-Nya; dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan” (QS. Al-Kahfi : 26).


سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ

Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui (QS. Yaasin : 36).

Ayat tersebut memberikan informasi bahwa ada pengetahuan yang mampu didapatkan oleh manusia, ada juga pengetahuan belum mampu diketahui oleh manusia. Tetapi semua pengetahuan itu telah disedaikan Allah untuk manusia, manusia tinggal mencari pengetahuan tersebut berdasarkan panca indera yang diberikan Allah serta dengan panduan wahyu yang telah Allah turunkan. Dengan demikian ada kemungkinan manusia mengetahui rahasi pengetahuan yang diberikan Allah, permasalahannya hanya terletak pada kemampuan manusia untuk menggunakan panca indera sebagai alat akal dan menggunakan wahyu sebagi sumber pengetahuan dan elemen dasar sebagai pijakan dalam melakukan penelitian dan eksperimen.
Eksperimen pun terbatas kepada pengetahuan bersifat fisika, sedangkan yang bersifat metafisika seprti surga, neraka, malaikat,azab kubur, iblis, mizan, shirat dan peristiwa hari kiamat itu adalah kajian wahyu dan hanya dapat diimani tidak dapat diakal-akali. Dalam arti tidak dapat diteliti dengan panca indera, tetapi hanya dapat diyakini kebenarannya. Islam mengakui adanya kemampua panca indera dan akal untuk mencapai pengetahuan dan kebenaran, tetapi Islam juga tidak menafikan kelemahan panca indera dan akal, di sisi lain, Islam mengakui adanya pengetahuan yang tidak didapatkan manusia melalui panca indera, tidak melalui perenungan, eksperimen, pengetahuan tersebut dapat diperoleh secara langsung tanpa adametode ilmiah, eksperimen, pengamatan dan lain sebagainya, pengetahuan langsung tersebut adalah wahyu.



إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَىٰ نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَعِيسَىٰ وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ ۚ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا
“Sesungguhnya kami Telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami Telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami Telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan kami berikan Zabur kepada Daud (QS. An-Nisa : 163).

Ayat tersebut menerangkan bahwa manusia dapat mempunyai ilmu pengetahuan tanpa adanya eksperimen, pengamatan, penalaran, tahap coba-coba maupun metode ilmiah, pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang langsung diberikan Allah kepada manusia.

وَلَمَّا دَخَلُوا مِنْ حَيْثُ أَمَرَهُمْ أَبُوهُمْ مَا كَانَ يُغْنِي عَنْهُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا حَاجَةً فِي نَفْسِ يَعْقُوبَ قَضَاهَا ۚ وَإِنَّهُ لَذُو عِلْمٍ لِمَا عَلَّمْنَاهُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

”Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan ayah mereka, Maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu Hanya suatu keinginan pada diri Ya’qub yang Telah ditetapkannya. dan Sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, Karena kami Telah mengajarkan kepadanya. akan tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui. (QS. Yusuf : 68)

Ayat tersebut memebri gambaran bahwa Allah berhak memberi pengetahuan tanpa harus melakukan penelitian, tanpa eksperimen. Pengetahuan tersebut bersifat kewahyuan yang diberikan kepada manusia yang telah dipilih oleh Allah, dan kebenaran dari pengetahuan tersebut terjamin dari kesalahan. Dalam arti tidak ada semacam eksperimen, pengamatan. Pengetahuan seperti ini bersifat kebenaran hakiki.
Islam mengakui adanya pengetahaun yang didapat melalui mimpi yang benar. Mimpi dalam Islam dapat menjadi sumber pengetahuan, pengetahuan melalui mimpi tidak dapat dicari secara metode ilmiah, metode eksperimen, metode penelitian, maupun pengamatan.

رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ ۚ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ

”Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau Telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan Telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah Aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah Aku dengan orang-orang yang saleh” (QS. Yusuf : 101).

Pengetahuan dan kebenaran dalam Islam dapat diperoleh melalui ilham.

وَإِذْ أَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ آمِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا آمَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ
”Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku”. mereka menjawab: kami Telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)” (QS. Al-Maidah: 111)

Kebenaran dan pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui ilham yang langsung diberikan Allah kepada manusia yang telah dipilih-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam pengetahuan dan kebenaran tidak harus melalui metode ilmiah, penelitian, tetapi dapat langsung diperoleh manusia melalui ilham. Dalam ayat lain Allah juga memberi ilham kepada ibu Musa.




وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ أُمِّ مُوسَىٰ أَنْ أَرْضِعِيهِ ۖ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي ۖ إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
 “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, Karena Sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Qashas : 7)

Ayat tersebut secara jelas memberikan fakta bahwa pengetahuan dapat di peroleh manusia melalui ilham yang langsung diberikan Allah kepada manusia yang dikehendakinya. Dengan demikain dapat dipahamai bahwa epistemology dalam islam menyatukan akal dan mengarahkannya untuk mencapai pengetahuan dan kebenaran berdasarkan wahyu, keimanan kepada Allah. Islam mengakui kemampuan akal, panca indera, tetapi Islam juga memngakui ilham, mimpi dan wahyu sebagai sarana mendapatkan ilmu langsung dari Tuhan. Dan pengetahuan dan kebenaran yang didapatkan dari sarana tersebut tidak dapat diperoleh melalui metode ilmiah apapun.
Sebagai uraian penutup pada poin ini, perlu sebagai dipahami bahwa pengetahuan dalam Islam berawal dari sebuah keyakinan/ premis keyakinan. Keyakinan akan kebenaran al-Quran sebagai sumber pengetahuan. Dikatakan al-Quran sumber pengetahauan karena di antara fungsi al-Quran adalah sebagai petujuk dan pembeda antara yang hak dan yang batil.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ


“ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (Al-Baqarah: 185).

Ayat tersebut secara jelas memberikan informasi bahwa al-Quran adalah sumber petunjuk kebaikan bagi manusia, penjelas tentang segala sesuatu yang tidak dipahami oleh manusia. Penjelas tentang peristiwa masa lalu, masa yang akan datang dan masa metafisika/ akherat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Al-Quran adalah sumber pengetahuan bagi manusia,baik yang bersifat fisika maupun metafisika.
Islam sangat peduli terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, banyak ayat yang memberi motivasi agar manusia berusaha mencari ilmu dan menenliti, hal ini membuktikan bahwa kedudukan ilmu dalam Islam sangat diperhatikan dan diutamakan. Bahkan dalam ayat 11 surat al-Mujadilah Allah berjanji akan meningggikan orang yang beriman dan berilmu.

...وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“...Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”(Q.S Al-Mujadilah : 11)




Agar manusia berilmu Allah memberi pengajaran, di atara ayat yang memberi sinyal pengajaran adalah sebagai berikut:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (QS. Al-Baqarah : 164)


Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa sumber dari pengetahuan dalam Islam adalah wahyu. Dan untuk mendapatkan ilmu tersebut adalah dengan mempergunakan panca indra dan akal yang kesemua kegiatan tersebut dikendalikan oleh iman dan wahyu. Wahyu merupakan puncak segala sumber pengetahaun yang merupakan manisfestasi dari firman Allah.









BAB III
PENUTUP

     A.  Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat di simpulkan epistemologi pada hakikatnya adalah membahas tentang pengetahuan, apa itu pengetahuan, dan bagaimana memperoleh pengetahuan. Epistemologi dalam Islam adalah pengetahuan dikatakan pengetahuan jika pengetahuan itu menjadi ilmu yang bermanfaat bagi manusia untuk kebagiaan hidup di dunia dan akherat, bermanfaat bagi diri dan orang lain serta dengan ilmu pengetahuan tersebut mendekatkan dirinya kepada Allah. Untuk mendapatkan ilmu menurut islam adalah dengan mempergunakan panca indra, akal dan hati untuk melihat, mencermati dan menneliti ayat-ayat Allah baik yang qauniyah maupun yang qauliyah, yang tersirat dan tersurat. Dan semua itu dibingkai dengan keimanan dan kendali wahyu.
















DAFTAR PUSTAKA

Azizy A. Qodri. 2003. Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman. Jakarta: Dipertais Agama RI.

Bakhtiar, Amsal. 1999. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Hadi, Hardono. 1994.  Epistemologi;Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.

Khuza’i, Rodliyah. 2007. Dialog Epistemologi Mohammad Iqbal dan Charles S. Peirce. Bandung: Refika Aditama.

Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.

Supartono, Suparlan. 2005. Filsafat ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
http://i-epistemology.net/osman-bakar/32-epistemologi-menurut-perspektif-islam--beberapa-isu-pilihan-untuk-diskusi.html.
http://ozoelchund.blogspot.com/2011/04/epistemologi-dalam-perspektif-islam.html.




[1] http://i-epistemology.net/osman-bakar/32-epistemologi-menurut-perspektif-islam--beberapa-isu-pilihan-untuk-diskusi.html. Diakses 19 desember 2012 wib.
[2]http://ozoelchund.blogspot.com/2011/04/epistemologi-dalam-perspektif-islam.html. diakses 19 Desember 2012 pukul 14.00 wib.

No comments:

Post a Comment

d'SwEEt piNk