Wednesday, May 15, 2013


Analisis & Solusi  Pengalaman Terkait Problematika Komunikasi

1.      a.Lampu Vs Kemiri
            Kisah ini adalah pengalaman ibu saya ketika pertama kali berkunjung ke rumah mertuanya (nenek).Ibu adalah orang suku bugis kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Sedangkan Ayah, orang kabupaten Soppeng.
Suatu hariAyah mengajak ibu mengunjungi Ibunya di kabupaten Soppeng. Perjalanan dari Bone ke Soppeng mereka tempuh selama kurang lebih dua jam menggunakan mobil. Akhirnya mereka tiba menjelang siang.Setelah beristirahat sebentar di ruang tamu, ibu beranjak menemui nenek di dapur yang sedang memasak untuk makan siang.Beberapa masakan sudah siap, namun saat membuat menu terakhir, tiba-tiba nenek berkata, “Ros, alakka’ pelleng’, loka’ tumbu’I” (Ros, ambilkan saya pelleng’, saya mau menumbuknya). Sontak saja ibu heran kenapapelleng’ yang dalam bahasa bugis Bone artinya pelita (lampu minyak tanah) itu akan ditumbuk. Ternyata setelah nenek menjelaskan dengan menyebutkan ciri-ciri benda yang dimintanya barulah ibu mengerti bahwa yang nenek maksud adalah kemiri.Ayah kemudian menjelaskan bahwa bagi orang bugis Soppengpelleng’ itu memang kemiri, bukan seperti yang dipahami ibu sebelumnya, mereka pun tertawa karena kejadian itu.

b. Analisis Masalah
            Komunikator dan komunikan dalam cerita di atas berasal dari latar belakang budaya yang berbeda.Meskipun perbedaan itu hanya sedikit namun tetap menganggu jalannya komunikasi interpersonal di antara mereka.
Kesalahpahaman dalam menginterpretasi arti bahasa yang digunakan, tidak hanya terjadi dalam bahasa yang berbeda.Sebagaimana cerita tersebut, bahasa Bugis digunakan oleh masyarakat suku bugis di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan.Perbedaan kabupaten itu menyebabkan adapula arti kata yang berbeda meskipun sama-sama menggunakan bahasa bugis.   


c. Solusi Permasalahan
            Perlu adanya pemahaman tentang latar belakang budaya lawan bicara agar tercapai komunikasi yang efektif, saling menghargai dan tentu saja terhindar dari kesalahpahaman interpretasi makna atau miskomunikasi.



2.                  a. Budaya di Mesjid
Awal bulan juli lalu, saya hijrah meninggalkan kampung halaman di Sulawesi Selatan untuk melanjutkan pendidikan di kota Bandung. Belum sebulan saya di Bandung, bulan ramadhan telah datang.Malam pertama shalat di mesjid, saya mendapatkan pengalaman yang berbeda dengan sebelumnya.
Waktu itu setelah shalat isya berjamaah dan berdoa, seperti biasakebiasaan di Bone, saya bersalaman dengan jamaah yang duduk di samping kiri dan kanan saya sebelum berdiri untuk melaksanakan shalat sunnah. Namun, saya tersadar bahwa hanya saya yang melakukan hal tersebut.Padahal di kampung saya semua jamaah melakukannya.Itu keanehan pertama yang saya rasakan.
Selanjutnya, setelah menyelesaikan shalat tarwih dua rakaat pertama, tiba-tiba salah seorang jamaah laki-laki mengeraskan bacaan shalawat yang dijawab oleh jamaah lainnya dengan nada teriak.Kemudian baru melanjutkan shalat tarwih.Demikian berulang-ulang tiap jeda shalat tarwih.Hal ini yang membuat saya sangat kaget sampai berulang-ulang juga malam itu.Setelah shalat usai, ternyata para jamaah berdiri membentuk sebuah barisan sambil bershalawat (jamaah pria) dan bersalam-salaman sebelum meninggalkan mesjid.
Sejak saat itu saya baru memahami bahwa budaya salaman di kota ini dilakukan setelah seluruh rangkaian shalat berjamaah usai. Saya teringat juga cerita ibu saya saat ikut shalat berjamaah di salah satu mesjid di daerah Cilincing, Jakarta.Dia juga heran saat semua jamaah berjejeran salaman sebelum keluar mesjid.Namun pada malam-malam berikutnya saya tetap kaget mendengar teriakan-teriakan itu meskipun sudah mulai terbiasa dan menerima perbedaan tersebut.
b.      Analisis Masalah
Apa yang saya alami dalam cerita di atas biasa disebut dengan cultural shock, yakni suatu fase yang dialami oleh seseorang yang baru mendiami suatu daerah dan menemukan hal-hal yang berbeda dengan pengalaman sebelumnya. Perbedaan budaya ini terkait persoalan etika kesopanan yang berbeda di kabupaten Bone dengan di kota Bandung ataupun Jakarta.
Di kabupaten Bone, bersalaman dengan para jamaah setelah berdiri itu dianggap tidak sopan.Itulah sebabnya di sana salaman dilakukan setelah berdoa sebelum berdiri untuk shalat sunnah. Demikian pula shalawat yang dijawab serempak oleh para jamaah dengan nada berteriak.Hal itu dianggap sangat tidak mematuhi sopan santun di mesjid.
c.       Solusi Permasalahan
   Manusia sebagai mahluk sosial dan dinamis memerlukan kemampuan beradaptasi dan belajar memahami hal-hal yang baru dalam hidup.


3.      a. Pohon Harapan
      Suatu hari, saya dan teman-teman kembali mengunjugi daerah lokasi KKN kami tahun lalu yakni desa Kanreapia kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.Saat itu ada warga yang mengadakan hajatan pindah rumah dan mengundang kami untuk menghadirinya.Kami pun menghadiri acara tersebut.
      Keesokan harinya, kami diajak mengunjungi tempat permandian air panas.di kabupaten Sinjai. Sekilas tidak ada yang menarik dengan tempat tersebut.Kami pun mencoba menyentuh air di sungai tersebut, namun ternyata suhunya normal.Penasaran di mana letak air panas alaminya, kami pun bertanya kepada warga yang ikut bersama kami.Mereka lalu menunjukkan sebuah sumur yang mengeluarkan asap. Di sekitar sumur berbau tidak sedap karena ada sisa-sisa telur yang biasanya pengunjung masukkan ke dalam sumur tersebut.
      Warga yang punya hajatan mengeluarkan berbagai macam makanan kemudian membakar kemenyan di dekat sajian tersebut. Setelah salah seorang dari mereka berdoa (baca-baca) di depan makanan itu, kami pun diajak makan siang bersama di tempat tersebut.Setelah makan, kami melihat ada yang berbeda dengan pohon yang tumbuh di dekat sumur air panas itu.
      Pohon tersebut berhias banyak tali berwarna-warni dengan gantungan berbagai jenis botol-botol.Hampir semua dahan pohon tersebut dipenuhi ikatan tali.Salah seorang warga pun menjelaskan bahwa ikatan-ikatan tersebut adalah tanda bahwa ada orang yang mempuyai keinginan dan mengikat tali dipohon itu.Satu ikatan untuk satu keinginan.Ketika suatu saat keinginan tersebut terpenuhi maka orang yang mengikat tali tersebut harus kembali untuk melepas ikatan tali tersebut. Kalau mereka tidak kembali untuk melepasnya, maka akan kesialan atau bencana yang akan menimpa mereka. Itulah kepercayaan warga tersebut.

b. Analisis Masalah
Benturan budaya dalam cerita di atas dapat dianalisis terkait perspektif agama dan estetika. Kepercayaan warga dengan mengikat tali untuk sebuah keinginan merupakan hal yang tidak ada dalam ajaran agama islam. Apalagi mempercayai bahwa mereka akan sial ketika ikatan itu tidak dilepas. Hal ini dapat dikatakan sebagai budaya yang menyebabkan suatu bentuk penyimpangan dari ajaran agama.Ketika mereka mempercayai bahwa yang menyebabkan keinginan mereka terkabul adalah ikatan tersebut dan percaya pula bahwa ikatan di pohon tersebut yang dapat membuat mereka sial maka, otomatis mereka melakukan dosa besar yakni syirik. Naudzubillah…
...اِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الجَنَّةَ وَمَأْوَهُ النَّارُ....( الما ئدة : 72 )
Artinya ;
‘Sesunguhnya oang yang menyekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkansurga baginya dan ia ditempatkan di dalam neraka” (Q. S. Al-Ma’idah: 72)
Di sisi lain ikatan-ikatan tali dan gantungan yang ada di pohon tersebut menyebabkan berkurangnya estetika alam di lokasi rekreasi tersebut. Pohon tampak kotor dan semrawut ditambah lagi berbagai macam sampah di bawahnya.Mungkin orang yang melepas ikatannya tidak membuang sampahnya di tempat sampah sehingga hanya menjatuhkannya begitu saja.
c. Solusi Permasalahan
Hendaknya ada pihak yang berkompeten untuk meluruskan akidah masyarakat yang mempercayai hal tersebut sejak lama secara turun-temurun.Misalnya da’I atau tokoh masyarakat yang sudah memahami bagaimana karakteristik masyarakat itu sehingga dapat dengan mudah memperbaikinya.Kepercayaan tersebut harus dihentikan sebelum berlanjut kepada generasi setelah mereka.
Setelah kepercayaan mereka dibersihkan, maka selanjutnya mengatasi masalah estetika alam yang terganggu tersebut.Hal ini harusnya ditangani oleh pihak pemerintah terlebih dahulu dengan melakukan sosialisasi pada warga yang bermukim di sekitar objek wisata tersebut.Pemerintah juga harus lebih mengeksplorasi daerah tersebut agar tampak lebih menarik bagi pengunjung yang ingin berwisata.Hal ini tentu saja juga mendatangkan keuntungan bagi pendapatan daerah kabupaten Sinjai.

No comments:

Post a Comment

d'SwEEt piNk