Analisis & Solusi Pengalaman Terkait Problematika Komunikasi
1.
a.Lampu
Vs Kemiri
Kisah ini adalah
pengalaman ibu saya ketika pertama kali berkunjung ke rumah mertuanya (nenek).Ibu
adalah orang suku bugis kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Sedangkan Ayah, orang
kabupaten Soppeng.
Suatu hariAyah mengajak ibu mengunjungi Ibunya di kabupaten
Soppeng. Perjalanan dari Bone ke Soppeng mereka tempuh selama kurang lebih dua
jam menggunakan mobil. Akhirnya mereka tiba menjelang siang.Setelah
beristirahat sebentar di ruang tamu, ibu beranjak menemui nenek di dapur yang
sedang memasak untuk makan siang.Beberapa masakan sudah siap, namun saat
membuat menu terakhir, tiba-tiba nenek berkata, “Ros, alakka’ pelleng’,
loka’ tumbu’I” (Ros, ambilkan saya pelleng’, saya mau menumbuknya).
Sontak saja ibu heran kenapapelleng’ yang dalam bahasa bugis Bone
artinya pelita (lampu minyak tanah) itu akan ditumbuk. Ternyata setelah nenek
menjelaskan dengan menyebutkan ciri-ciri benda yang dimintanya barulah ibu
mengerti bahwa yang nenek maksud adalah kemiri.Ayah kemudian menjelaskan bahwa bagi
orang bugis Soppengpelleng’ itu memang kemiri, bukan seperti yang
dipahami ibu sebelumnya, mereka pun tertawa karena kejadian itu.
b. Analisis Masalah
Komunikator dan
komunikan dalam cerita di atas berasal dari latar belakang budaya yang
berbeda.Meskipun perbedaan itu hanya sedikit namun tetap menganggu jalannya
komunikasi interpersonal di antara mereka.
Kesalahpahaman dalam menginterpretasi arti bahasa yang digunakan,
tidak hanya terjadi dalam bahasa yang berbeda.Sebagaimana cerita tersebut, bahasa
Bugis digunakan oleh masyarakat suku bugis di beberapa kabupaten di Sulawesi
Selatan.Perbedaan kabupaten itu menyebabkan adapula arti kata yang berbeda
meskipun sama-sama menggunakan bahasa bugis.
c. Solusi
Permasalahan
Perlu adanya pemahaman tentang latar belakang budaya lawan bicara
agar tercapai komunikasi yang efektif, saling menghargai dan tentu saja terhindar
dari kesalahpahaman interpretasi makna atau miskomunikasi.
2.
a.
Budaya di Mesjid
Awal bulan juli lalu, saya hijrah meninggalkan kampung halaman di
Sulawesi Selatan untuk melanjutkan pendidikan di kota Bandung. Belum sebulan
saya di Bandung, bulan ramadhan telah datang.Malam pertama shalat di mesjid,
saya mendapatkan pengalaman yang berbeda dengan sebelumnya.
Waktu itu setelah shalat isya berjamaah dan berdoa, seperti
biasakebiasaan di Bone, saya bersalaman dengan jamaah yang duduk di samping
kiri dan kanan saya sebelum berdiri untuk melaksanakan shalat sunnah. Namun,
saya tersadar bahwa hanya saya yang melakukan hal tersebut.Padahal di kampung
saya semua jamaah melakukannya.Itu keanehan pertama yang saya rasakan.
Selanjutnya, setelah menyelesaikan shalat tarwih dua rakaat
pertama, tiba-tiba salah seorang jamaah laki-laki mengeraskan bacaan shalawat
yang dijawab oleh jamaah lainnya dengan nada teriak.Kemudian baru melanjutkan
shalat tarwih.Demikian berulang-ulang tiap jeda shalat tarwih.Hal ini yang
membuat saya sangat kaget sampai berulang-ulang juga malam itu.Setelah shalat
usai, ternyata para jamaah berdiri membentuk sebuah barisan sambil bershalawat
(jamaah pria) dan bersalam-salaman sebelum meninggalkan mesjid.
Sejak saat itu
saya baru memahami bahwa budaya salaman di kota ini dilakukan setelah seluruh
rangkaian shalat berjamaah usai. Saya teringat juga cerita ibu saya saat ikut
shalat berjamaah di salah satu mesjid di daerah Cilincing, Jakarta.Dia juga
heran saat semua jamaah berjejeran salaman sebelum keluar mesjid.Namun pada
malam-malam berikutnya saya tetap kaget mendengar teriakan-teriakan itu
meskipun sudah mulai terbiasa dan menerima perbedaan tersebut.
b.
Analisis
Masalah
Apa yang saya alami dalam cerita di atas biasa disebut dengan cultural
shock, yakni suatu fase yang dialami oleh seseorang yang baru mendiami
suatu daerah dan menemukan hal-hal yang berbeda dengan pengalaman sebelumnya.
Perbedaan budaya ini terkait persoalan etika kesopanan yang berbeda di
kabupaten Bone dengan di kota Bandung ataupun Jakarta.
Di kabupaten Bone, bersalaman dengan para jamaah setelah berdiri
itu dianggap tidak sopan.Itulah sebabnya di sana salaman dilakukan setelah
berdoa sebelum berdiri untuk shalat sunnah. Demikian pula shalawat yang dijawab
serempak oleh para jamaah dengan nada berteriak.Hal itu dianggap sangat tidak
mematuhi sopan santun di mesjid.
c.
Solusi
Permasalahan
Manusia sebagai mahluk
sosial dan dinamis memerlukan kemampuan beradaptasi dan belajar memahami
hal-hal yang baru dalam hidup.
3.
a. Pohon
Harapan
Suatu hari, saya dan teman-teman kembali
mengunjugi daerah lokasi KKN kami tahun lalu yakni desa Kanreapia kabupaten
Gowa, Sulawesi Selatan.Saat itu ada warga yang mengadakan hajatan pindah rumah
dan mengundang kami untuk menghadirinya.Kami pun menghadiri acara tersebut.
Keesokan harinya, kami diajak mengunjungi
tempat permandian air panas.di kabupaten Sinjai. Sekilas tidak ada yang menarik
dengan tempat tersebut.Kami pun mencoba menyentuh air di sungai tersebut, namun
ternyata suhunya normal.Penasaran di mana letak air panas alaminya, kami pun
bertanya kepada warga yang ikut bersama kami.Mereka lalu menunjukkan sebuah
sumur yang mengeluarkan asap. Di sekitar sumur berbau tidak sedap karena ada
sisa-sisa telur yang biasanya pengunjung masukkan ke dalam sumur tersebut.
Warga yang punya hajatan mengeluarkan
berbagai macam makanan kemudian membakar kemenyan di dekat sajian tersebut.
Setelah salah seorang dari mereka berdoa (baca-baca) di depan makanan itu, kami
pun diajak makan siang bersama di tempat tersebut.Setelah makan, kami melihat
ada yang berbeda dengan pohon yang tumbuh di dekat sumur air panas itu.
Pohon tersebut berhias banyak tali
berwarna-warni dengan gantungan berbagai jenis botol-botol.Hampir semua dahan
pohon tersebut dipenuhi ikatan tali.Salah seorang warga pun menjelaskan bahwa
ikatan-ikatan tersebut adalah tanda bahwa ada orang yang mempuyai keinginan dan
mengikat tali dipohon itu.Satu ikatan untuk satu keinginan.Ketika suatu saat
keinginan tersebut terpenuhi maka orang yang mengikat tali tersebut harus
kembali untuk melepas ikatan tali tersebut. Kalau mereka tidak kembali untuk
melepasnya, maka akan kesialan atau bencana yang akan menimpa mereka. Itulah
kepercayaan warga tersebut.
b. Analisis
Masalah
Benturan
budaya dalam cerita di atas dapat dianalisis terkait perspektif agama dan
estetika. Kepercayaan warga dengan mengikat tali untuk sebuah keinginan
merupakan hal yang tidak ada dalam ajaran agama islam. Apalagi mempercayai
bahwa mereka akan sial ketika ikatan itu tidak dilepas. Hal ini dapat dikatakan
sebagai budaya yang menyebabkan suatu bentuk penyimpangan dari ajaran
agama.Ketika mereka mempercayai bahwa yang menyebabkan keinginan mereka
terkabul adalah ikatan tersebut dan percaya pula bahwa ikatan di pohon tersebut
yang dapat membuat mereka sial maka, otomatis mereka melakukan dosa besar yakni
syirik. Naudzubillah…
...اِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ
حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الجَنَّةَ وَمَأْوَهُ النَّارُ....( الما ئدة : 72 )
Artinya ;
‘Sesunguhnya
oang yang menyekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkansurga baginya dan ia
ditempatkan di dalam neraka” (Q. S. Al-Ma’idah: 72)
Di
sisi lain ikatan-ikatan tali dan gantungan yang ada di pohon tersebut
menyebabkan berkurangnya estetika alam di lokasi rekreasi tersebut. Pohon
tampak kotor dan semrawut ditambah lagi berbagai macam sampah di
bawahnya.Mungkin orang yang melepas ikatannya tidak membuang sampahnya di
tempat sampah sehingga hanya menjatuhkannya begitu saja.
c. Solusi Permasalahan
Hendaknya ada
pihak yang berkompeten untuk meluruskan akidah masyarakat yang mempercayai hal
tersebut sejak lama secara turun-temurun.Misalnya da’I atau tokoh masyarakat
yang sudah memahami bagaimana karakteristik masyarakat itu sehingga dapat
dengan mudah memperbaikinya.Kepercayaan tersebut harus dihentikan sebelum
berlanjut kepada generasi setelah mereka.
Setelah
kepercayaan mereka dibersihkan, maka selanjutnya mengatasi masalah estetika
alam yang terganggu tersebut.Hal ini harusnya ditangani oleh pihak pemerintah
terlebih dahulu dengan melakukan sosialisasi pada warga yang bermukim di
sekitar objek wisata tersebut.Pemerintah juga harus lebih mengeksplorasi daerah
tersebut agar tampak lebih menarik bagi pengunjung yang ingin berwisata.Hal ini
tentu saja juga mendatangkan keuntungan bagi pendapatan daerah kabupaten
Sinjai.
No comments:
Post a Comment