FENOMENOLOGI DAN ETNOMETODOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Fenomenologi
Fenomenologi
merupakan cabang dari filsafat, karena asal-usulnya dari karya Husserl dan
kemudian penulis (misalnya, Heidegger, Sartre, Merleau-Ponty, yang mengambil
ide menjadi eksistensialisme). Tujuan dari fenomenologi, seperti yang
dikemukakan oleh Husserl, adalah untuk mempelajari fenomena manusia tanpa
mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan tentang penyebab mereka, realitas
objektif mereka, atau bahkan penampilan mereka. (El Karimah
dan Wahyudin, 2010).
Fenomenologi bersumber pada
pemikiran Edmund Husserl, yang memulai filsafat fenomenologinya dengan
pertanyaan tentang ”apa itu kenyataan”, yang menurut epistemologi positivisme
merupakan suatu ”emergent realiality out there”. Meskipun Husserl gagal
mewujudkan solusi filsafatinya untuk mengembangkan apa yang disebut teori
tentang kesadaran yang radikal yang diabstraksikan dari ”life world”,
namun gagasannya itu telah mendorong munculnya aliran pemikiran yang kemudiaan
menjadi landasan dari fenomenologi dan elaborasinya berupa etnometodologi. Menurut
Turner (1978) kritik Husserl terhadap pengetahuan positif telah membuka
kesadaran bahwa pengetahuan obyektif tentang manusia tidak dapat dikembangkan
melalui logika positivistik. Sementara kegagalan Husserl untuk menemukan solusi
radikal melalui pemikiran filsafatinya telah menyakinkan para ahli fenomenologi
bahwa untuk memahami kesadaran manusia dan kenyataan sosial, hanya dapat
dilakukan dengan menemukannya di dalam interaksi sosial aktual.
Pemikiran fenomenologi ini
diteruskan oleh Alfred Schutz muridnya yang paling terkemuka. Di dalam
metodologi keilmuannya Schutz memilih ”sympatetic intropection” atau ”verstehen”
sebagai metode keilmuan untuk memahami kesadaran manusia, dengan demikian
membebaskan fenomenologi Husserl dari kapasitasnya sebagai sebuah filsafat
menjadi suatu ilmu pengetahuan empiris yang mengkaji tentang apa yang ia sebut
sebagai ”the creation and maintenance of intersubyektivity”.
B. Etnometodologi
Etnometodologi
berasal tiga kata Yunani, Etnos yang berarti orang, Metodos yang
berarti metode, dan Logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah
etnometodologi adalah sebuah studi atau ilmu tentang metode yang digunakan oleh
orang awam atau masyarakat biasa untuk menciptakan perasaan keteraturan atau keseimbangan
didalam situasi dimana mereka berinteraksi.
Perkembangan
etnometodologi sebenarnya relatif baru bila dibandingkan dengan pendekatan
Struktural fungsional dan interaksionis-simbolis yang sudah mapan. Pendekatan
etnometodologi memiliki ragam yang berbeda, karena subject matternya adalah
berbagai jenis perilaku dalam kehidupan sehari-hari sehingga banyak muncul
kajian lanjutan sesuai dengan disiplin ilmu tertentu. Etnometodologi dengan
analisis percakapannya tidak dapat dipungkiri juga memberi pengaruh yang besar
dalam agenda penelitian komunikasi. Khususnya menyangkut konsep percakapan
sebagai suatu bentuk interaksi.
Orang sering
mengira etnometodologi adalah suatu metodologi baru dari etnologi, sering juga
dipertukarkan dengan etnografi. Etnometodologi yang diperkenalkan oleh Harold
Garfinkel adalah suatu ranah ilmiah yang unik, sekaligus radikal dalam kajian
ilmu sosial. Dikatakan radikal karena dikenal keras dalam mengkritik cara-cara
yang dilakukan para sosiolog sebelumnya.
Pada tataran
teoretis, Harold Garfinkel di tahun 1940 telah menolak pemikiran Emile Durkheim
tentang fakta sosial, baginya “aktor-sosial” bersifat menentukan dan tidak
pernah dibatasi oleh struktur dan pranata sosial. Dalam pemikiran
etnometodologi, para sosiolog yang menitikberatkan pada fakta sosial itu
disebut sebagai “kesepakatan si-dungu” (judgment-dopes), sebab kalangan
etnometodologi melihat fakta sosial sebagai prestasi anggota, sebagai produk
aktivitas metodologi anggota, bersifat lokal dan dihasilkan secara endogenous
untuk mengatasi masalahnya sendiri (George Ritzer 1996: 235, Denzin 1994:264).
Harold Garfinkel menjelaskan tentang analisis percakapan
yang memiliki tujuan memahami secara rinci struktur – struktur Fundamental
interaksi percakapan. Etnometodologi juga menjelaskan “pertanggungjawaban
tindakan praktis yang rasional” yaitu adanya (1) perbedaan antara ungkapan yang
objektif dan yang indeksikal, (2) refleksivitas berbagai tindakan praktis, dan
(3) kemampuan menganalisa tindakan tersebut dalam konteks sehari-hari. Ungkapan
indeksikal merupakan ungkapan yang dilakukan saat kita menjalankan kegiatan
praktis sehari-hari, sedangkan ungkapan objektif digunakan dalam dunia ilmiah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sekilas Tentang Alfred Schutz
Alfred Schutz lahir di Wina pada
tahun 1899 dan meninggal di New York pada tahun 1959. Ia menyukai musik, pernah
bekerja di bank mulai berkenalan dengan ilmu hukum dan sosial. Ia mengikuti
pendidikan akademik di Universitas Vienna, Austria dengan mengambil bidang
ilmu-ilmu hukum dan sosial. Gurunya yang sangat terkenal adalah Hans Kelsen
(ahli hukum), Ludwig Von Mises (ekonom), dan Friedrich Von Wieser dan Othmar
Spann (keduanya ahli sosiologi).
Pendidikan formal ini dijalankan
Schutz setelah ia mengikuti Perang Dunia I. Selama kuliah ia menjadi sangat
tertarik pada karya-karya Max Weber dan Edmund Husserl. Setelah lulus ilmu
hukum, dia malah bekerja di bidang perbankan untuk jangka waktu yang sangat
lama. Meskipun penghasilannya sangat besar tetapi dia merasa perbankan bukanlah
tempat yang cocok baginya untuk mengaktualisasikan diri.
Schutz akhirnya banting setir yang
mulai mempelajari sosiologi khususnya fenomenologi yang dianggap memberi makna
dalam pekerjaan dan hidup. Di tahun 1920-an meskipun bukan seorang dosen,
tetapi hampir seluruh temannya adalah dosen perguruan tinggi sehingga dia mulai
terjun ke dunia akademik. Dia mulai mengajar dengan bantuan temannya dan bahkan
memberikan kuliah di perguruan tinggi serta dapat berpartisipasi dalam diskusi
dan seminar ilmiah. Setelah menerbitkan Der Sinnhafte Aufbau der sozialen welt,
Schutz akhirnya berkenalan secara pribadi dengan Edmund Husserl yang
menawarinya menjadi asisten tetapi Schutz menolaknya.
Dalam teori Schutz sangat kental
pengaruh Weberian-nya khususnya karya-karya mengenai tindakan (action)
dan tipe ideal (ideal type). Meskipun Schutz terkagum-kagum pada Weber
tetapi ia beusaha mengatasi kelemahan yang ada di dalam karya Weber dengan
menyatukan ide filsuf besar Edmund Husserl
dan Henri Bergson.
B.
Pemikiran Alfred Schutz tentang
Fenomenologi
Pemikiran Alfred Schutz tentang
fenomenonologi dipengaruhi oleh dua tokoh yaitu Edmun Husserl dan Max Weber dengan
tindakan sosial, pemikiran dua tokoh ini sangat kental dalam teori Alfred
Schutz tentang pengetahuan dan pengalaman intersubjektif dalam kehidupan
sehari-hari yang melacak karakteristik kesadaran manusia yang sangat
fundamental, dengan memperlihatkan korelasi antara fenomenologi Transendental
(Edmund Husserl) dan verstehende soziologia (Max Weber). Karena Schutz
memandang bahwa keseharian sosial sebagai sesuatu yang intersubjektif.
Dalam wilayah yang dikenal sebagai
fenomenologi sosial itu, tulisan Alfred Schutz (Ardianto dan Bambang, 2007)
telah mempunyai pengaruh yang kuat dalam kerja ilmuwan sosiologi dan
komunikasi. Schutz menerima banyak prinsip dasar dibangun Husserl. Dia membahas
cara-cara agar intersubjektivitas kehidupan dunia dapat didekati dan dipahami.
Dengan kata lain schutz lebih menitikberatkan pada intensitas pembelajaran.
Menurut Schutz, keseharian
kehidupan dunia ini dapat dipahami dalam term-term yang kemudian disebutnya
sebagai pelambangan/ penipean (tyoications) yang digunakan untuk
mengorganisasikan dunia sosial.
Selanjutnya Schutz mengkhususkan
perhatiannya kepada bentuk subjektivitas yang disebut intersubjektivitas.
Konsep ini menunjukkan kepada dimensi kesadaran umum dan kesadaran khusus
kelompok sosial yang sedang saling berintegrasi. Intersubjektivitas yang
memungkinkan pergaulan sosial itu terjadi, tergantung kepada pengetahuan
tentang peranan masing-masing yang diperoleh melalui pengalaman yang bersifat
pribadi. Konsep intersubjektivitas ini mengacu kepada suatu kenyataan bahwa
kelompok-kelompok sosial saling menginterprestasikan tindakannya masing-masing
dan pengalaman mereka juga diperoleh melalui cara yang sama seperti yang
dialami dalam interaksi secara individual. Faktor saling memahami satu sama
lain baik antar individu maupun antar kelompok ini diperlukan untuk terciptanya
kerja sama di hampir semua organisasi sosial.
Dalam teori fenomenologi Alfred Schutz ada dua yang hal yang perlu
diperhatikan yaitu (mysampean.blogspot.com, 2012)
a.
Aspek Pengetahuan dan Tindakan.
Esensi dari
pengetahuan dalam kehidupan sosial menurut Alfred Schutz adalah Akal untuk
menjadi sebuah alat kontrol dari kesadaran manusia dalam kehidupan
kesehariannya. Karena akal merupakan sesuatu sensorik yang murni dengan melibatkan
imajinasi dan konsep-konsep, penglihatan, pendengaran, perabaan dan sejenisnya
yang selalu dijembatani dan disertai dengan pemikiran dan aktivitas kesadaran.
Demikian pula akal sehat dalam keseharian dan ilmu. Sehingga Alfred Schutz
menganggap bahwa apa yang kita lihat adalah bukanlah sesuatu yang sangat
konkret dan aktual karena akal selalu melibatkan abstraksi yang sangat kompleks
karena yang tampak itu hanyalah bagian luarnya.
Sehingga semua pengetahuan itu harus
dijembatani dengan oleh konstruksi intelektual yang melibatkan generalisasi,
idealisasi, dan abstraksi. Jadi, fakta yang selama ini yang kita gambarkan
merupakan sesuatu yang mampu berbicara untuk dirinya sendiri. Hal tidak akan
pernah terjadi karena fakta tersebut merupakan sebuah hasil dari seleksi dan penafsiran.
Fakta tersebut selalu membawa makna, dengan demikian jelas bahwa fakta itu merupakan
sesuatu yang dipilih, ditafsirkan, dan diabstraksikan. Pengetahuan kita sangat
bersifat perspektif oleh karenanya kita hanya menangkap aspek-aspek realitas
tertentu saja bukan seluruh realita yang konkret. Epistemologi semacam ini
berlaku untuk semua pengetahuan manusia.
Unsur-unsur
pengetahuan yang terkandung dalam fenomenologi Alfred Schutz adalah dunia
keseharian, sosialitas dan makna. Dunia keseharian adalah merupakan hal yang
paling fondasional dalam kehidupan manusia karena harilah yang mengukir
setiap kehidupan manusia. Konsep tentang sebuah tatanan adalah merupakan sebuah
orde yag paling pertama dan orde ini sangat berperan penting dalam membentuk
orde-orde selanjutnya. Kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagi kenyataan
yang ditafsirkan oleh manusia dan mempunyai makna subjektif bagi mereka sebagai
satu dunia yang koheren.
Makna dan
pembentukan makna merupakan sumbangan Schutz yang penting dan orisinal kepada
gagasan fenomenologi tentang makna dan bagaimana makna membentuk struktur
sosial. Kalau orde dasar bagi masyarakat adalah dunia sehari-hari maka makna
dasar bagi pengertian manusia adalah common sense, yang terbentuk dalam
bahasa percakapan sehari-hari. Common sense didefinisikan sebagai
pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini
sebagian besar tidak berasal dari penemuan sendiri, tetapi diturunkan secara
sosial dari orang-orang sebelumnya.
Misalnya,
bahasa ibu adalah sebuah khasanah pengetahuan pertama bagi setiap orang yang
telah dipelajari dan diterimanya begitu saja, tanpa orang mengetes kebenarannya
secara sadar. Common sense terbentuk melalui tipifikasi yaitu penyusunan
dan pembentukan tipe-tipe pengertian dan tingkah laku untuk memudahkan
pengertian dan tindakan. Tipifikasi ini tidak hanya menyangkut pandangan dan
tingkah laku, tetapi menyangkut juga pembentukan makna.
Dalam tipikasi
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan intersubjektivitas Alfred
Schutz yaitu :
·
Tipifikasi pengalaman (semua bentuk
yang dapat dikenali dan diidentifikasi, bahkan berbagai obyek yang ada di luar
dunia nyata, keberadaannya didasarkan pada pengetahuan yang bersifat umum).
·
Tipifikasi benda-benda (merupakan
sesuatu yang kita tangkap sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu).
·
Tipifikasi dalam kehidupan sosial
(yang dimaksudkan sosiolog sebagai System, role status, role expectation,
dan institutionalization itu dialami atau melekat pada diri individu
dalam kehidupan sosial).
Hal ini
terjadi karena orang-orang yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan
interaksi sosial kemudian membangun semacam sistem relevansi bersama, dengan
melepaskan dari tiap individu atau tiap peristiwa hal-hal yang bersifat
individual untuk merujuk satu atau beberapa ciri yang sama yang dianggap
relevan. Penggolongan makna ke dalam berbagai tipe kemudian menghasilkan apa
yang oleh Schutz dinamakan daerah makna yang terbatas (the finite province
of meaning).
b.
Realitas Ganda
Dalam hal ini
Alfred Schultz memodifikasi dasar-dasar pengertian Williams James “tentang
bagian alam semesta” James menyatakan bahwa sesuatu yang mendorong atau
merangsang ketertarikan kita akan memberikan sebuah kesan sebagai sesuatu yang
nyata, dan kesan kita selalu berada bersama kita selama hal tersebut tidak
bertentangan. Kita mengalami berbagai jenis realita atau bagian alam semesta
dari dunia fisik yang paling penting, dunia ilmu, hubungan ideal, dunia
keyakinan suatu suku, dunia supra natural, dunia opini individu, sampai pada
dunia kegilaan dan dunia khayalan.
Ketertarikan
manusia dalam dunia kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu yang sangat praktis
sifatnya dan tidak bersifat teoritis. Dalam “Sikap Alami Mereka”, diatur oleh
motif pragmatis yakni mereka berupaya mengontrol, menguasai atau mengubah dunia
dalam rangka menerapkan proyek-proyek dan tujuan-tujuan mereka. Schultz
menyebut kehidupan sehari-hari yang praktis sebagai “dunia kerja” realitas
puncak. Kehidupan sehari-hari manusia merupakan sebuah lahan yang harus digarap
setiap hari untuk mencapai sebuah tujuan hidup untuk mencapai tujuan ini aktor
harus mampu mengolah segala hambatan dari luar maupun dari dalam sesuai dengan
rencana sang aktor.
Dalam realitas
puncak terdapat harapan-harapan, ketakutan, dan keinginan-keinginan kita
mendesak untuk bertindak, merencanakan, mengatasi hambatan-hambatan dan
mewujudkan proyek-proyek kita. Tapi yang paling mendasar dalam kehidupan
manusia adalah pengetahuan dan ketakutan kita akan kematian. Ketakutan manusia
terhadap kematian adalah manusia selalu cemas terhadap harapan-harapan yang dia
belum capai sebelum meninggal menurut Schultz adalah hal merupakan kecemasan
yang fundamental.
Kecemasan
merupakan elemen yang asasi yang berasal dari pengalaman sosial di dalam dunia
kerja atau realitas puncak. Realitas puncak ini merupakan dunia puncak
dari suatu makna, tetapi masih banyak area “makna khusus” lainnya. Kalimat,
area makna khusus merupakan suatu cara untuk menerangkan arus kehidupan
sehari-hari manusia dalam berbagai ragam pengalaman yang bermakna dan merupakan
arus komunikasi kesadarannya. Dengan realitas puncak masih dapat mengubah dunia
khayalannya, manusia meninggalkan kehendaknya untuk menguasai dunia dan
motif-motif pragmatisnya. Dia menjadi pribadi yang penghayal yang bermain dalam
berbagai peran dan proyek dirinya ke dalam dunia yang dipilihnya sendiri. Kata
Schultz, dia memilih kebebasan yang tak bertanggung jawab, yakni kebebasan
khusus yang tidak ada dalam realitas puncak dan merupakan dunia yang impian.
C.
Contoh kasus fenomenologi
1. Kekerasan.
Saat sekarang ini kekerasan antar pelajar terlebih lagi mahasiswa sudah menjadi
budaya maupun kebiasaan yang kerap dilakukan jika terjadi kesalah pahaman maka
akan berujung pada tawuran antar kelompok tertentu. Bagi pelajar kekerasan yang
berkembang menjadi tawuran bukan hal yang baru lagi.
2. Ketertarikan
manusia sesama jenis, saat ini sudah menjadi fenomena yang berkembang di
masyarakat perempuan tertarik dengan perempuan dan disebut (Lesbian) dan
laki-laki tertarik sesama laki-laki (Homo)
3. Kupu-kupu
malam/ pekerja seks komersial. Wanita dalam menjalankan statusnya sebagai
wanita panggilan saat ini bukan hal yang tabuh bagi merekan bahkan mereka harus
menghidupi suami mereka dengan melakukan pekerjaan yang tidak etis tersebut
D. Sekilas Tentang Harold Garfinkel
Garfinkel dibesarkan di New, New
Jersey, pada tahun-tahun sebelum depresi besar. Ayahnya,
seorang pedagang furnitur, berharap anaknya akan mengikutinya ke dalam bisnis
keluarga. Ketika saatnya tiba untuk Harold untuk menghadiri kuliah, ia belajar
akuntansi di Universitas Newark . Pada musim
gugur tahun yang sama, Garfinkel terdaftar dalam program pascasarjana di Universitas North Carolina di Chapel Hill di mana ia
menyelesaikan gelar Master pada tahun 1942.
Sebagai seorang mahasiswa di Chapel Hill, ia
diperkenalkan dengan tulisan-tulisan Talcott Parsons. Pada
tahun 1946 Garfinkel pergi untuk belajar dengan Parsons di Departemen Hubungan Sosial,
Harvard University. Dia
juga berkenalan, selama periode ini, dengan sejumlah ilmuwan Eropa yang baru
saja berimigrasi ke AS ini akan mencakup Aron Gurwitsch, Felix Kaufmann, dan Alfred Schütz, yang
memperkenalkan sosiolog muda untuk ide-ide baru yang muncul dalam teori sosial, psikologi dan fenomenologi. Saat
masih menjadi mahasiswa di Harvard, Garfinkel diundang oleh sosiolog Wilbert
Moore Ellis untuk bekerja pada Proyek Perilaku Organisasi di Universitas Princeton .
Garfinkel bertanggung jawab untuk mengatur dua konferensi dalam hubungannya
dengan proyek ini. Ia membawanya dalam kontak dengan beberapa ulama yang paling
menonjol dari hari dalam ilmu perilaku, informasi, dan sosial termasuk: Gregory Bateson , Kenneth Burke , Paul Lazarsfeld , Frederick Mosteller , Philip Selznick , Herbert A. Simon , dan
John von Neumann.
Setelah meninggalkan Harvard, dia bekerja pada
dua proyek penelitian besar, yang melakukan studi kepemimpinan di
bawah naungan Dewan Riset Personil di Ohio State University dan
Proyek Juri Amerika yang dia lakukan penelitian lapangan di Arizona. Pada tahun
1954 ia bergabung dengan fakultas sosiologi di Universitas California, Los
Angeles. Selama periode 1963-1964 ia menjabat sebagai Research Fellow di Pusat
untuk Studi Ilmiah bunuh diri. Garfinkel menghabiskan tahun ajaran '75-'76 di Center for Advanced Studi di Ilmu Perilaku
dan, pada tahun 1979 - 1980, adalah sesama tamu di Universitas Oxford. Pada
tahun 1995 ia dianugerahi Penghargaan Cooley-Mead dari American Sociological Association
untuk kontribusi ke lapangan. Ia menerima gelar doktor kehormatan dari
University of Nottingham pada tahun 1996. Dia resmi pensiun dari UCLA pada
tahun 1987, meskipun terus sebagai profesor emeritus sampai kematiannya.
E. Pemikiran Harold Garfinkel tentang
Etnometodologi
Pemahaman tentang sifat dasar etnometodologi
akan bisa kita dapatkan dengan meneliti upaya pendirinya, Garfinkel untuk
mendefinisikannya seperti Durkheim, Garfinkel menganggap “fakta sosial” sebagai
fenomena sosiologi fundamental. Namun, fakta sosial menurut Garfinkel sangat
berbeda dari fakta sosial menurut Duekheim, fakta sosial berada di luar dan
memaksa individu. Objektivitas fakta sosial dianggap merupakan
prestasi anggota, yakni sebagai hasil aktivitas metodologis anggota.
Pakar yang menerima pemikiran
demikian cenderung melihat aktor dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan
pranata sosial dan sedikit sekali kemampuannya atau tidak mempunyai kebebasan
untuk membuat pertimbangan.
Garfinkel di saat awal memunculkan
atau mengembangkan studi ini sedang mendalami fenomena Alfred Schutz pada New
School For Social Research. Terdapat dugaan kuat bahwa fenomenologi Alfred
Schutz sangat mempengaruhi etnometodologi Garfinkel. Ini terbukti dari asumsi
sekaligus pendirian dari etnometodologi itu sendiri.
Pemahaman tentang sifat dasar
etnometodologi akan bisa kita dapatkan dengan meneliti upaya pendirinya,
Garfinkel untuk mendefinisikannya seperti Durkheim, Garfinkel menganggap “fakta
sosial” sebagai fenomena sosiologi fundamental. Namun, fakta sosial menurut
Garfinkel sangat berbeda dari fakta sosial menurut Duekheim, fakta sosial
berada di luar dan memaksa individu. Pakar yang menerima pemikiran demikian
cenderung melihat aktor dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan pranata
sosial dan sedikit sekali kemampuannya atau tidak mempunyai kebebasan untuk
membuat pertimbangan.
Garfinkel melukiskan sasaran
perhatian etnometodologi sebagai berikut:
Realitas objektif fakta sosial
bagi etnometodologi adalah fenomena fundamental sosiologi, karena merupakan
setiap produk masyarakat setempat yang diciptakan dan diorganisir secara
alamiah, terus-menerus, prestasi praktis, selalu, hanya, pasti dan menyeluruh,
tanpa henti dan tanpa peluang menghindar, menyembunyikan diri, melampaui, atau
menunda.
Salah satu pendirian kunci
Garfinkel mengenai etnometodologi adalah bahwa mereka “dapat dijelaskan secara
reflektif”. Penjelasan adalah cara aktor malakukan sesuatu seperti
mendeskripsikan, mengkritik, dan mengidealisasikan situasi tertentu. Penjelasan
(acaunnting) adalah proses yang dilalui aktor dalam
memberikan penjelasan untuk memahami dunia. Pakar etnometodologi menekankan
perhatian untuk menganalisis penjelasan aktor maupun cara-cara penjelasan
diberikan dan diterima (atau ditolak) oleh orang lain. Inilah salah satu alasan
mengapa pakar etnometodologi memustakan perhatian dalam mengalisis percakapan.
Sebagai contoh, ketika seorang mahasiswa
menerangkan kepada profesornya mengapa ia gagal mengambil ujian, ia sebenarnya
memberikan suatu penjelasan. Mahasiswa itu mencoba mengemukakan pemikiran
mengenai suatu peristiwa kepada profesornya. Pakar etnometodologi tertarik pada
sifat dasar panjelasan itu, dan lebih umum lagi, pada praktik penjelasan yang
dengannya mahasiswa memberikan penjelasan dan profesor menerima atau menolak.
Dalam menganalisis penjelasan, pakar etnometodologi menganut pendirian ketakacuhan metodologis. Artinya mereka tidak menilai
sifat dasar penjelasan, tetapi lebih menganalisis penjelasan itu dilihat dari
sudut pandang bagaimana cara penjelasan itu digunakan dalam tindakan praktis.
Bagimanapun juga, masalah pokok
yang menjadi sasaran studi etnometodologi adalah berbagai jenis kehidupan
sehari-hari yang terbatas. Karena itu akan semakin banyak studi makin banyak
diversifikasinya dan makin “growing paints”.
Etnometodologi merupakan suatu studi empiris tentang
bagamaina orang menanggapi pengalaman dunia sosialnya sehari-hari. Sehingga etnometodologi
mempelajari realitas sosial yang berlansung sehari-hari (Kuswarno, 2008).
Studi setting institusional melukiskan sejumlah
karya fariasi dalam etnometodologi, tetapi dalam sudut padang kita hanya ada
dua jenis studi etnometodologi yang menonjol, diantaranya:
1. Studi
etnometodologi tentang setting institusional
Dilakukan oleh pertama kali oleh
Garfinkel dan rekannya berlangsung dalam setting biasa dan tidak di
institusionalkan (non-institutonalized) seperti di
rumah, kemudian bergeser kearah studi kebiasaan sehari-hari dalam setting institusional
seperti dalam sidang pengadilan, klinik, dan kantor polisi. Tujuan studi
seperti ini adalah memahami cara orang dalam setting institusonal
melaksanakan tugas kantor mereka dan proses yang terjadi dalam institusi tempat
tugas itu berlangsung.
Misalnya, tingkat angka kriminal
disusun oleh kantor polisi bukan semata-mata karena akibat petugas mengikuti
peraturan yang ditetapkan secara jelas dalam tugas mereka. Petugas lebih
memanfaatkan prosedur berdasarkan akal sehat untuk memutuskan umpamanya apakah
korban harus digolongkan sebagi korban pembunuhan. Jadi, angka kriminal seperti
itu berdasarkan penafsiran pekerjaan dan profesional, dan pemeliharaan catatan
kriminal seperti itu adalah kegiatan yang berguna untuk studi yang sebenarnya.
2. Studi tentang
analisis percakapan (conversation analisis)
Tujuan analisis percakapan adalah
untuk memahami sacara rinci struktur fundamental interaksi melalui percakapan.
Percakapan didefinisikan dalam arti yang sama dengan unsur dasar perspektif
etnometodologi: “percakapan adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan
aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat
dianalisis”. Meski percakapan mempunyai aturan dalam prosedur keduanya tak
menentukan apa yang dikatakan, tetapi lebih digunakan untuk “menyempurnakan
percakapan”. Sasaran perhatian percakapan terbatas pada mengenai apa yang
dikatakan dalam percakapan itu sendiri dan bukan kekuatan eksternal yang
membatasi percakapan. Percakapan dipandang sebagai tatanan internal sekuensial.
Sasaran sentral kajian
etnometodologi adalah menganalisis penalaran sosiologis praktis dan melaluinya
aktivitas sosial diatur dan dijelaskan. Perhatian ini mengsumsikan gagasan
bahwa semua ciri scenic dari interaksi sosial
muncul sesekali dan dibentuk sebagai prestasi praktis, di mana melaluinya
masing-masing pihak menunjukkan kompetensi mereka dalam manajemen praktis dalam
tatanan sosial. Sebagai analisis, minat kita adalah untuk menerangkan, dalam
kaitannya dengan pemanfaatan, metode yang dengannya keteraturan semacam itu
dapat di tampilkan, dikelola, dan dikenali oleh anggotanya.
Bagi seorang ahli etnometodologi
asumsi-asumsi demikian secara substansial tidak ada dan di dalam
masing-masingnya, setiap kelas berkonspirasi secara bersama-sama, guna
memberikan kesan bahwa mereka ada. Kita sedang “membuat” sebuah kelas. Mahasiswa
saya sedang membuat dirinya sebagai seorang mahasiswa dan saya sedang membuat
diri saya sebagai seorang dosen. Setiap interaksi sosial yang stabil adalah
sebuah prestasi, sesuatu yang sudah dikerjakan, juga etnometodologi mencari
tahu bagaimana hal itu dikerjakan. Karena itu nama ologi (studi mengenai), ethno (orang-orang), method (metode) guna menciptakan keteraturan sosial.
F. Contoh-contoh
kasus dalam pendekatan etnometodologi :
1. Adat
Larung Sesaji. Sebenarnya tidak ada hubungan yang erat antara upacara atau
sesaji dengan berhentinya bencana. Hal ini terlihat dari meski adanya rutinitas
“nglarung” tetapi bencana alam maupun sosial masih terjadi di mana-mana. Namun
karena manusia memiliki refleksi, masih adanya bencana-bencana tersebut
direfleksikan berbeda, seperti, mereka mengatakan pada dirinya sendiri bahwa,
“Mungkin persembahan yang diberikan kurang banyak dan tak tepat waktu, sehingga
ritual tersebut tidak diterima dengan baik oleh Yang Maha Kuasa”. Dari sini
terlihat adanya proses berpikir dan evaluasi diri dari sang Peritual tersebut.
2. Membuat tertawa. Gail
Jefferson mempertanyakan bagaimana orang tahu kapan saatnya tertawa dalam
percakapan. Menurut pandangan awam, tertawa sama sekali bebas waktunya dalam
percakapan atau interaksi, artinya, kapan saja dikehendaki. Tetapi Jefferson
menemukan bahwa beberapa ciri structural mendasar suatu ucapan dimaksudkan
untuk membuat pihak lain agar tertawa yakni pertama, penempatan tawa oleh
pembicara di ujung ucapannya. Kedua, tertawa diletakkan di tengah pembicaraan,
misalnya di tengah kalimat. Jadi, kemungkinan yang dapat menimbulkan tertawa
tak diorganisir sebebas yang diperkirakan orang. Masalahnya bukanlah sesuatu
yang akan terjadi, tertawa atau apa pun lainnya, tapi tertawa harus terjadi
atas dasar suka rela atau oleh ajakan.
Dari contoh di atas, dapat
dijelaskan bahwa teori etnometodologi memberikan cara-cara atau metode yang di
gunakan dalam suatu interaksi antara sesama manusia agar tercipta suatu
keteraturan sosial yang baik dan sempurna
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fenomenologi adalah ilmu berorientasi untuk dapat
memahami penjelasan tentang realitas yang tampak. Fenomena yang tampak adalah
refleksi dari realitas yang tidak berdiri sendiri karena ia memiliki makna yang
memerlukan penafsiran lebih lanjut.Fenomenologi menerobos fenomena untuk dapat
mengetahui makna (hakikat) terdalam dari fenomena-fenomena yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari.
Fenomenologi berusaha untuk
memahami bagaimana orang membangun makna dan konsep kunci intersubjektivitas.Tujuannya
adalah untuk mempelajari bagaimana fenomena manusia yang berpengalaman dalam
kesadaran, dalam tindakan kognitif dan persepsi, serta bagaimana mereka dapat
dinilai atau dihargai estetis.
Sedangkan etnometodologi merupakan
salah satu metode yang dipakai orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan
sehari-hari. Dalam praktiknya, etnometodologi menekankan pada kekuatan
etnometodologi, dan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui
simulasi.
Tujuannya adalah untuk mempelajari
bagaimana fenomena manusia yang berpengalaman dalam kesadaran, dalam tindakan
kognitif dan persepsi, serta bagaimana mereka dapat dinilai atau dihargai
estetis..
No comments:
Post a Comment