Wednesday, May 15, 2013


FENOMENOLOGI DAN ETNOMETODOLOGI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Fenomenologi
Fenomenologi merupakan cabang dari filsafat, karena asal-usulnya dari karya Husserl dan kemudian penulis (misalnya, Heidegger, Sartre, Merleau-Ponty, yang mengambil ide menjadi eksistensialisme). Tujuan dari fenomenologi, seperti yang dikemukakan oleh Husserl, adalah untuk mempelajari fenomena manusia tanpa mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan tentang penyebab mereka, realitas objektif mereka, atau bahkan penampilan mereka. (El Karimah dan Wahyudin, 2010).
Fenomenologi bersumber pada pemikiran Edmund Husserl, yang memulai filsafat fenomenologinya dengan pertanyaan tentang ”apa itu kenyataan”, yang menurut epistemologi positivisme merupakan suatu ”emergent realiality out there”. Meskipun Husserl gagal mewujudkan solusi filsafatinya untuk mengembangkan apa yang disebut teori tentang kesadaran yang radikal yang diabstraksikan dari ”life world”, namun gagasannya itu telah mendorong munculnya aliran pemikiran yang kemudiaan menjadi landasan dari fenomenologi dan elaborasinya berupa etnometodologi. Menurut Turner (1978) kritik Husserl terhadap pengetahuan positif telah membuka kesadaran bahwa pengetahuan obyektif tentang manusia tidak dapat dikembangkan melalui logika positivistik. Sementara kegagalan Husserl untuk menemukan solusi radikal melalui pemikiran filsafatinya telah menyakinkan para ahli fenomenologi bahwa untuk memahami kesadaran manusia dan kenyataan sosial, hanya dapat dilakukan dengan menemukannya di dalam interaksi sosial aktual.
Pemikiran fenomenologi ini diteruskan oleh Alfred Schutz muridnya yang paling terkemuka. Di dalam metodologi keilmuannya Schutz memilih ”sympatetic intropection” atau ”verstehen” sebagai metode keilmuan untuk memahami kesadaran manusia, dengan demikian membebaskan fenomenologi Husserl dari kapasitasnya sebagai sebuah filsafat menjadi suatu ilmu pengetahuan empiris yang mengkaji tentang apa yang ia sebut sebagai ”the creation and maintenance of intersubyektivity”.

B. Etnometodologi
Etnometodologi berasal tiga kata Yunani, Etnos yang berarti orang, Metodos yang berarti metode, dan Logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah etnometodologi adalah sebuah studi atau ilmu tentang metode yang digunakan oleh orang awam atau masyarakat biasa untuk menciptakan perasaan keteraturan atau keseimbangan didalam situasi dimana mereka berinteraksi.
Perkembangan etnometodologi sebenarnya relatif baru bila dibandingkan dengan pendekatan Struktural fungsional dan interaksionis-simbolis yang sudah mapan. Pendekatan etnometodologi memiliki ragam yang berbeda, karena subject matternya adalah berbagai jenis perilaku dalam kehidupan sehari-hari sehingga banyak muncul kajian lanjutan sesuai dengan disiplin ilmu tertentu. Etnometodologi dengan analisis percakapannya tidak dapat dipungkiri juga memberi pengaruh yang besar dalam agenda penelitian komunikasi. Khususnya menyangkut konsep percakapan sebagai suatu bentuk interaksi.
Orang sering mengira etnometodologi adalah suatu metodologi baru dari etnologi, sering juga dipertukarkan dengan etnografi. Etnometodologi yang diperkenalkan oleh Harold Garfinkel adalah suatu ranah ilmiah yang unik, sekaligus radikal dalam kajian ilmu sosial. Dikatakan radikal karena dikenal keras dalam mengkritik cara-cara yang dilakukan para sosiolog sebelumnya.
Pada tataran teoretis, Harold Garfinkel di tahun 1940 telah menolak pemikiran Emile Durkheim tentang fakta sosial, baginya “aktor-sosial” bersifat menentukan dan tidak pernah dibatasi oleh struktur dan pranata sosial. Dalam pemikiran etnometodologi, para sosiolog yang menitikberatkan pada fakta sosial itu disebut sebagai “kesepakatan si-dungu” (judgment-dopes), sebab kalangan etnometodologi melihat fakta sosial sebagai prestasi anggota, sebagai produk aktivitas metodologi anggota, bersifat lokal dan dihasilkan secara endogenous untuk mengatasi masalahnya sendiri (George Ritzer 1996: 235, Denzin 1994:264).
        Harold Garfinkel menjelaskan tentang analisis percakapan yang memiliki tujuan memahami secara rinci struktur – struktur Fundamental interaksi percakapan. Etnometodologi juga menjelaskan “pertanggungjawaban tindakan praktis yang rasional” yaitu adanya (1) perbedaan antara ungkapan yang objektif dan yang indeksikal, (2) refleksivitas berbagai tindakan praktis, dan (3) kemampuan menganalisa tindakan tersebut dalam konteks sehari-hari. Ungkapan indeksikal merupakan ungkapan yang dilakukan saat kita menjalankan kegiatan praktis sehari-hari, sedangkan ungkapan objektif digunakan dalam dunia ilmiah.
























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sekilas Tentang Alfred Schutz

Alfred Schutz lahir di Wina pada tahun 1899 dan meninggal di New York pada tahun 1959. Ia menyukai musik, pernah bekerja di bank mulai berkenalan dengan ilmu hukum dan sosial. Ia mengikuti pendidikan akademik di Universitas Vienna, Austria dengan mengambil bidang ilmu-ilmu hukum dan sosial. Gurunya yang sangat terkenal adalah Hans Kelsen (ahli hukum), Ludwig Von Mises (ekonom), dan Friedrich Von Wieser dan Othmar Spann (keduanya ahli sosiologi).
Pendidikan formal ini dijalankan Schutz setelah ia mengikuti Perang Dunia I. Selama kuliah ia menjadi sangat tertarik pada karya-karya Max Weber dan Edmund Husserl. Setelah lulus ilmu hukum, dia malah bekerja di bidang perbankan untuk jangka waktu yang sangat lama. Meskipun penghasilannya sangat besar tetapi dia merasa perbankan bukanlah tempat yang cocok baginya untuk mengaktualisasikan diri.
Schutz akhirnya banting setir yang mulai mempelajari sosiologi khususnya fenomenologi yang dianggap memberi makna dalam pekerjaan dan hidup. Di tahun 1920-an meskipun bukan seorang dosen, tetapi hampir seluruh temannya adalah dosen perguruan tinggi sehingga dia mulai terjun ke dunia akademik. Dia mulai mengajar dengan bantuan temannya dan bahkan memberikan kuliah di perguruan tinggi serta dapat berpartisipasi dalam diskusi dan seminar ilmiah. Setelah menerbitkan Der Sinnhafte Aufbau der sozialen welt, Schutz akhirnya berkenalan secara pribadi dengan Edmund Husserl yang menawarinya menjadi asisten tetapi Schutz menolaknya.
Dalam teori Schutz sangat kental pengaruh Weberian-nya khususnya karya-karya mengenai tindakan (action) dan tipe ideal (ideal type). Meskipun Schutz terkagum-kagum pada Weber tetapi ia beusaha mengatasi kelemahan yang ada di dalam karya Weber dengan menyatukan ide filsuf  besar Edmund Husserl dan Henri Bergson.


B.     Pemikiran Alfred Schutz tentang Fenomenologi
Pemikiran Alfred Schutz tentang fenomenonologi dipengaruhi oleh dua tokoh yaitu Edmun Husserl dan Max Weber dengan tindakan sosial, pemikiran dua tokoh ini sangat kental dalam teori Alfred Schutz tentang pengetahuan dan pengalaman intersubjektif dalam kehidupan sehari-hari yang melacak karakteristik kesadaran manusia yang sangat fundamental, dengan memperlihatkan korelasi antara fenomenologi Transendental (Edmund Husserl) dan verstehende soziologia (Max Weber). Karena Schutz memandang bahwa keseharian sosial sebagai sesuatu yang intersubjektif. 
Dalam wilayah yang dikenal sebagai fenomenologi sosial itu, tulisan Alfred Schutz (Ardianto dan Bambang, 2007) telah mempunyai pengaruh yang kuat dalam kerja ilmuwan sosiologi dan komunikasi. Schutz menerima banyak prinsip dasar dibangun Husserl. Dia membahas cara-cara agar intersubjektivitas kehidupan dunia dapat didekati dan dipahami. Dengan kata lain schutz lebih menitikberatkan pada intensitas pembelajaran.
Menurut Schutz, keseharian kehidupan dunia ini dapat dipahami dalam term-term yang kemudian disebutnya sebagai pelambangan/ penipean (tyoications) yang digunakan untuk mengorganisasikan dunia sosial.
Selanjutnya Schutz mengkhususkan perhatiannya kepada bentuk subjektivitas yang disebut intersubjektivitas. Konsep ini menunjukkan kepada dimensi kesadaran umum dan kesadaran khusus kelompok sosial yang sedang saling berintegrasi. Intersubjektivitas yang memungkinkan pergaulan sosial itu terjadi, tergantung kepada pengetahuan tentang peranan masing-masing yang diperoleh melalui pengalaman yang bersifat pribadi. Konsep intersubjektivitas ini mengacu kepada suatu kenyataan bahwa kelompok-kelompok sosial saling menginterprestasikan tindakannya masing-masing dan pengalaman mereka juga diperoleh melalui cara yang sama seperti yang dialami dalam interaksi secara individual. Faktor saling memahami satu sama lain baik antar individu maupun antar kelompok ini diperlukan untuk terciptanya kerja sama di hampir semua organisasi sosial.



Dalam teori fenomenologi Alfred Schutz ada dua yang hal yang perlu diperhatikan yaitu (mysampean.blogspot.com, 2012)
a.      Aspek Pengetahuan dan Tindakan.
Esensi dari pengetahuan dalam kehidupan sosial menurut Alfred Schutz adalah Akal untuk menjadi sebuah alat kontrol dari kesadaran manusia dalam kehidupan kesehariannya. Karena akal merupakan sesuatu sensorik yang murni dengan melibatkan imajinasi dan konsep-konsep, penglihatan, pendengaran, perabaan dan sejenisnya yang selalu dijembatani dan disertai dengan pemikiran dan aktivitas kesadaran. Demikian pula akal sehat dalam keseharian dan ilmu. Sehingga Alfred Schutz menganggap bahwa apa yang kita lihat adalah bukanlah sesuatu yang sangat konkret dan aktual karena akal selalu melibatkan abstraksi yang sangat kompleks karena yang tampak itu hanyalah bagian luarnya.
 Sehingga semua pengetahuan itu harus dijembatani dengan oleh konstruksi intelektual yang melibatkan generalisasi, idealisasi, dan abstraksi. Jadi, fakta yang selama ini yang kita gambarkan merupakan sesuatu yang mampu berbicara untuk dirinya sendiri. Hal tidak akan pernah terjadi karena fakta tersebut merupakan sebuah hasil dari seleksi dan penafsiran. Fakta tersebut selalu membawa makna, dengan demikian jelas bahwa fakta itu merupakan sesuatu yang dipilih, ditafsirkan, dan diabstraksikan. Pengetahuan kita sangat bersifat perspektif oleh karenanya kita hanya menangkap aspek-aspek realitas tertentu saja bukan seluruh realita yang konkret. Epistemologi semacam ini berlaku untuk semua pengetahuan manusia. 
Unsur-unsur pengetahuan yang terkandung dalam fenomenologi Alfred Schutz adalah dunia keseharian, sosialitas dan makna. Dunia keseharian adalah merupakan hal yang paling fondasional dalam kehidupan manusia karena harilah yang mengukir setiap kehidupan manusia. Konsep tentang sebuah tatanan adalah merupakan sebuah orde yag paling pertama dan orde ini sangat berperan penting dalam membentuk orde-orde selanjutnya. Kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagi kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia dan mempunyai makna subjektif bagi mereka sebagai satu dunia yang koheren.
Makna dan pembentukan makna merupakan sumbangan Schutz yang penting dan orisinal kepada gagasan fenomenologi tentang makna dan bagaimana makna membentuk struktur sosial. Kalau orde dasar bagi masyarakat adalah dunia sehari-hari maka makna dasar bagi pengertian manusia adalah common sense, yang terbentuk dalam bahasa percakapan sehari-hari. Common sense didefinisikan sebagai pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini sebagian besar tidak berasal dari penemuan sendiri, tetapi diturunkan secara sosial dari orang-orang sebelumnya.
Misalnya, bahasa ibu adalah sebuah khasanah pengetahuan pertama bagi setiap orang yang telah dipelajari dan diterimanya begitu saja, tanpa orang mengetes kebenarannya secara sadar. Common sense terbentuk melalui tipifikasi yaitu penyusunan dan pembentukan tipe-tipe pengertian dan tingkah laku untuk memudahkan pengertian dan tindakan. Tipifikasi ini tidak hanya menyangkut pandangan dan tingkah laku, tetapi menyangkut juga pembentukan makna.
Dalam tipikasi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan intersubjektivitas Alfred Schutz yaitu :
·         Tipifikasi pengalaman (semua bentuk yang dapat dikenali dan diidentifikasi, bahkan berbagai obyek yang ada di luar dunia nyata, keberadaannya didasarkan pada pengetahuan yang bersifat umum).
·         Tipifikasi benda-benda (merupakan sesuatu yang kita tangkap sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu).
·         Tipifikasi dalam kehidupan sosial (yang dimaksudkan sosiolog sebagai System, role status, role expectation, dan institutionalization itu dialami atau melekat pada diri individu dalam kehidupan sosial). 
Hal ini terjadi karena orang-orang yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun semacam sistem relevansi bersama, dengan melepaskan dari tiap individu atau tiap peristiwa hal-hal yang bersifat individual untuk merujuk satu atau beberapa ciri yang sama yang dianggap relevan. Penggolongan makna ke dalam berbagai tipe kemudian menghasilkan apa yang oleh Schutz dinamakan daerah makna yang terbatas (the finite province of meaning). 
                 

b.      Realitas Ganda 
Dalam hal ini Alfred Schultz memodifikasi dasar-dasar pengertian Williams James “tentang bagian alam semesta” James menyatakan bahwa sesuatu yang mendorong atau merangsang ketertarikan kita akan memberikan sebuah kesan sebagai sesuatu yang nyata, dan kesan kita selalu berada bersama kita selama hal tersebut tidak bertentangan. Kita mengalami berbagai jenis realita atau bagian alam semesta dari dunia fisik yang paling penting, dunia ilmu, hubungan ideal, dunia keyakinan suatu suku, dunia supra natural, dunia opini individu, sampai pada dunia kegilaan dan dunia khayalan. 
Ketertarikan manusia dalam dunia kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu yang sangat praktis sifatnya dan tidak bersifat teoritis. Dalam “Sikap Alami Mereka”, diatur oleh motif pragmatis yakni mereka berupaya mengontrol, menguasai atau mengubah dunia dalam rangka menerapkan proyek-proyek dan tujuan-tujuan mereka. Schultz menyebut kehidupan sehari-hari yang praktis sebagai “dunia kerja” realitas puncak. Kehidupan sehari-hari manusia merupakan sebuah lahan yang harus digarap setiap hari untuk mencapai sebuah tujuan hidup untuk mencapai tujuan ini aktor harus mampu mengolah segala hambatan dari luar maupun dari dalam sesuai dengan rencana sang aktor.
Dalam realitas puncak terdapat harapan-harapan, ketakutan, dan keinginan-keinginan kita mendesak untuk bertindak, merencanakan, mengatasi hambatan-hambatan dan mewujudkan proyek-proyek kita. Tapi yang paling mendasar dalam kehidupan manusia adalah pengetahuan dan ketakutan kita akan kematian. Ketakutan manusia terhadap kematian adalah manusia selalu cemas terhadap harapan-harapan yang dia belum capai sebelum meninggal menurut Schultz adalah hal merupakan kecemasan yang fundamental.
Kecemasan merupakan elemen yang asasi yang berasal dari pengalaman sosial di dalam dunia kerja atau realitas puncak. Realitas puncak ini merupakan dunia puncak dari suatu makna, tetapi masih banyak area “makna khusus” lainnya. Kalimat, area makna khusus merupakan suatu cara untuk menerangkan arus kehidupan sehari-hari manusia dalam berbagai ragam pengalaman yang bermakna dan merupakan arus komunikasi kesadarannya. Dengan realitas puncak masih dapat mengubah dunia khayalannya, manusia meninggalkan kehendaknya untuk menguasai dunia dan motif-motif pragmatisnya. Dia menjadi pribadi yang penghayal yang bermain dalam berbagai peran dan proyek dirinya ke dalam dunia yang dipilihnya sendiri. Kata Schultz, dia memilih kebebasan yang tak bertanggung jawab, yakni kebebasan khusus yang tidak ada dalam realitas puncak dan merupakan dunia yang impian.

C.    Contoh kasus fenomenologi

1.      Kekerasan. Saat sekarang ini kekerasan antar pelajar terlebih lagi mahasiswa sudah menjadi budaya maupun kebiasaan yang kerap dilakukan jika terjadi kesalah pahaman maka akan berujung pada tawuran antar kelompok tertentu. Bagi pelajar kekerasan yang berkembang menjadi tawuran bukan hal yang baru lagi.
2.      Ketertarikan manusia sesama jenis, saat ini sudah menjadi fenomena yang berkembang di masyarakat perempuan tertarik dengan perempuan dan disebut (Lesbian) dan laki-laki tertarik sesama laki-laki (Homo)
3.      Kupu-kupu malam/ pekerja seks komersial. Wanita dalam menjalankan statusnya sebagai wanita panggilan saat ini bukan hal yang tabuh bagi merekan bahkan mereka harus menghidupi suami mereka dengan melakukan pekerjaan yang tidak etis tersebut


D. Sekilas Tentang Harold Garfinkel

Garfinkel dibesarkan di New, New Jersey, pada tahun-tahun sebelum depresi besar. Ayahnya, seorang pedagang furnitur, berharap anaknya akan mengikutinya ke dalam bisnis keluarga. Ketika saatnya tiba untuk Harold untuk menghadiri kuliah, ia belajar akuntansi di Universitas Newark . Pada musim gugur tahun yang sama, Garfinkel terdaftar dalam program pascasarjana di Universitas North Carolina di Chapel Hill di mana ia menyelesaikan gelar Master pada tahun 1942.
Sebagai seorang mahasiswa di Chapel Hill, ia diperkenalkan dengan tulisan-tulisan Talcott Parsons. Pada tahun 1946 Garfinkel pergi untuk belajar dengan Parsons di Departemen Hubungan Sosial, Harvard University. Dia juga berkenalan, selama periode ini, dengan sejumlah ilmuwan Eropa yang baru saja berimigrasi ke AS ini akan mencakup Aron Gurwitsch, Felix Kaufmann, dan Alfred Schütz, yang memperkenalkan sosiolog muda untuk ide-ide baru yang muncul dalam teori sosial, psikologi dan fenomenologi. Saat masih menjadi mahasiswa di Harvard, Garfinkel diundang oleh sosiolog Wilbert Moore Ellis untuk bekerja pada Proyek Perilaku Organisasi di Universitas Princeton . Garfinkel bertanggung jawab untuk mengatur dua konferensi dalam hubungannya dengan proyek ini. Ia membawanya dalam kontak dengan beberapa ulama yang paling menonjol dari hari dalam ilmu perilaku, informasi, dan sosial termasuk: Gregory Bateson , Kenneth Burke , Paul Lazarsfeld , Frederick Mosteller , Philip Selznick , Herbert A. Simon , dan John von Neumann.
Setelah meninggalkan Harvard, dia bekerja pada dua proyek penelitian besar, yang melakukan studi kepemimpinan di bawah naungan Dewan Riset Personil di Ohio State University dan Proyek Juri Amerika yang dia lakukan penelitian lapangan di Arizona. Pada tahun 1954 ia bergabung dengan fakultas sosiologi di Universitas California, Los Angeles. Selama periode 1963-1964 ia menjabat sebagai Research Fellow di Pusat untuk Studi Ilmiah bunuh diri. Garfinkel menghabiskan tahun ajaran '75-'76 di Center for Advanced Studi di Ilmu Perilaku dan, pada tahun 1979 - 1980, adalah sesama tamu di Universitas Oxford. Pada tahun 1995 ia dianugerahi Penghargaan Cooley-Mead dari American Sociological Association untuk kontribusi ke lapangan. Ia menerima gelar doktor kehormatan dari University of Nottingham pada tahun 1996. Dia resmi pensiun dari UCLA pada tahun 1987, meskipun terus sebagai profesor emeritus sampai kematiannya.

E. Pemikiran Harold Garfinkel tentang Etnometodologi
Pemahaman tentang sifat dasar etnometodologi akan bisa kita dapatkan dengan meneliti upaya pendirinya, Garfinkel untuk mendefinisikannya seperti Durkheim, Garfinkel menganggap “fakta sosial” sebagai fenomena sosiologi fundamental. Namun, fakta sosial menurut Garfinkel sangat berbeda dari fakta sosial menurut Duekheim, fakta sosial berada di luar dan memaksa individu. Objektivitas fakta sosial dianggap merupakan prestasi anggota, yakni sebagai hasil aktivitas metodologis anggota.
Pakar yang menerima pemikiran demikian cenderung melihat aktor dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan pranata sosial dan sedikit sekali kemampuannya atau tidak mempunyai kebebasan untuk membuat pertimbangan.  

Garfinkel di saat awal memunculkan atau mengembangkan studi ini sedang mendalami fenomena Alfred Schutz pada New School For Social Research. Terdapat dugaan kuat bahwa fenomenologi Alfred Schutz sangat mempengaruhi etnometodologi Garfinkel. Ini terbukti dari asumsi sekaligus pendirian dari etnometodologi itu sendiri.
Pemahaman tentang sifat dasar etnometodologi akan bisa kita dapatkan dengan meneliti upaya pendirinya, Garfinkel untuk mendefinisikannya seperti Durkheim, Garfinkel menganggap “fakta sosial” sebagai fenomena sosiologi fundamental. Namun, fakta sosial menurut Garfinkel sangat berbeda dari fakta sosial menurut Duekheim, fakta sosial berada di luar dan memaksa individu. Pakar yang menerima pemikiran demikian cenderung melihat aktor dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan pranata sosial dan sedikit sekali kemampuannya atau tidak mempunyai kebebasan untuk membuat pertimbangan.  

Garfinkel melukiskan sasaran perhatian etnometodologi sebagai berikut:

Realitas objektif fakta sosial bagi etnometodologi adalah fenomena fundamental sosiologi, karena merupakan setiap produk masyarakat setempat yang diciptakan dan diorganisir secara alamiah, terus-menerus, prestasi praktis, selalu, hanya, pasti dan menyeluruh, tanpa henti dan tanpa peluang menghindar, menyembunyikan diri, melampaui, atau menunda.
Salah satu pendirian kunci Garfinkel mengenai etnometodologi adalah bahwa mereka “dapat dijelaskan secara reflektif”. Penjelasan adalah cara aktor malakukan sesuatu seperti mendeskripsikan, mengkritik, dan mengidealisasikan situasi tertentu. Penjelasan (acaunnting) adalah proses yang dilalui aktor dalam memberikan penjelasan untuk memahami dunia. Pakar etnometodologi menekankan perhatian untuk menganalisis penjelasan aktor maupun cara-cara penjelasan diberikan dan diterima (atau ditolak) oleh orang lain. Inilah salah satu alasan mengapa pakar etnometodologi memustakan perhatian dalam mengalisis percakapan.
Sebagai contoh, ketika seorang mahasiswa menerangkan kepada profesornya mengapa ia gagal mengambil ujian, ia sebenarnya memberikan suatu penjelasan. Mahasiswa itu mencoba mengemukakan pemikiran mengenai suatu peristiwa kepada profesornya. Pakar etnometodologi tertarik pada sifat dasar panjelasan itu, dan lebih umum lagi, pada praktik penjelasan yang dengannya mahasiswa memberikan penjelasan dan profesor menerima atau menolak. Dalam menganalisis penjelasan, pakar etnometodologi menganut pendirian ketakacuhan metodologis. Artinya mereka tidak menilai sifat dasar penjelasan, tetapi lebih menganalisis penjelasan itu dilihat dari sudut pandang bagaimana cara penjelasan itu digunakan dalam tindakan praktis.
Bagimanapun juga, masalah pokok yang menjadi sasaran studi etnometodologi adalah berbagai jenis kehidupan sehari-hari yang terbatas. Karena itu akan semakin banyak studi makin banyak diversifikasinya dan makin “growing paints”.
Etnometodologi  merupakan suatu studi empiris tentang bagamaina orang menanggapi pengalaman dunia sosialnya sehari-hari. Sehingga etnometodologi mempelajari realitas sosial yang berlansung sehari-hari (Kuswarno, 2008).
Studi setting institusional melukiskan sejumlah karya fariasi dalam etnometodologi, tetapi dalam sudut padang kita hanya ada dua jenis studi etnometodologi yang menonjol, diantaranya:

1.      Studi etnometodologi tentang setting institusional
Dilakukan oleh pertama kali oleh Garfinkel dan rekannya berlangsung dalam setting biasa dan tidak di institusionalkan (non-institutonalized) seperti di rumah, kemudian bergeser kearah studi kebiasaan sehari-hari dalam setting institusional seperti dalam sidang pengadilan, klinik, dan kantor polisi. Tujuan studi seperti ini adalah memahami cara orang dalam setting institusonal melaksanakan tugas kantor mereka dan proses yang terjadi dalam institusi tempat tugas itu berlangsung.
Misalnya, tingkat angka kriminal disusun oleh kantor polisi bukan semata-mata karena akibat petugas mengikuti peraturan yang ditetapkan secara jelas dalam tugas mereka. Petugas lebih memanfaatkan prosedur berdasarkan akal sehat untuk memutuskan umpamanya apakah korban harus digolongkan sebagi korban pembunuhan. Jadi, angka kriminal seperti itu berdasarkan penafsiran pekerjaan dan profesional, dan pemeliharaan catatan kriminal seperti itu adalah kegiatan yang berguna untuk studi yang sebenarnya.

2.      Studi tentang analisis percakapan (conversation analisis)
Tujuan analisis percakapan adalah untuk memahami sacara rinci struktur fundamental interaksi melalui percakapan. Percakapan didefinisikan dalam arti yang sama dengan unsur dasar perspektif etnometodologi: “percakapan adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis”. Meski percakapan mempunyai aturan dalam prosedur keduanya tak menentukan apa yang dikatakan, tetapi lebih digunakan untuk “menyempurnakan percakapan”. Sasaran perhatian percakapan terbatas pada mengenai apa yang dikatakan dalam percakapan itu sendiri dan bukan kekuatan eksternal yang membatasi percakapan. Percakapan dipandang sebagai tatanan internal sekuensial.
Sasaran sentral kajian etnometodologi adalah menganalisis penalaran sosiologis praktis dan melaluinya aktivitas sosial diatur dan dijelaskan. Perhatian ini mengsumsikan gagasan bahwa semua ciri scenic dari interaksi sosial muncul sesekali dan dibentuk sebagai prestasi praktis, di mana melaluinya masing-masing pihak menunjukkan kompetensi mereka dalam manajemen praktis dalam tatanan sosial. Sebagai analisis, minat kita adalah untuk menerangkan, dalam kaitannya dengan pemanfaatan, metode yang dengannya keteraturan semacam itu dapat di tampilkan, dikelola, dan dikenali oleh anggotanya. 
Bagi seorang ahli etnometodologi asumsi-asumsi demikian secara substansial tidak ada dan di dalam masing-masingnya, setiap kelas berkonspirasi secara bersama-sama, guna memberikan kesan bahwa mereka ada. Kita sedang “membuat” sebuah kelas. Mahasiswa saya sedang membuat dirinya sebagai seorang mahasiswa dan saya sedang membuat diri saya sebagai seorang dosen. Setiap interaksi sosial yang stabil adalah sebuah prestasi, sesuatu yang sudah dikerjakan, juga etnometodologi mencari tahu bagaimana hal itu dikerjakan. Karena itu nama ologi (studi mengenai),  ethno  (orang-orang),  method (metode) guna menciptakan keteraturan sosial.

F.  Contoh-contoh kasus dalam pendekatan etnometodologi :

1.      Adat Larung Sesaji. Sebenarnya tidak ada hubungan yang erat antara upacara atau sesaji dengan berhentinya bencana. Hal ini terlihat dari meski adanya rutinitas “nglarung” tetapi bencana alam maupun sosial masih terjadi di mana-mana. Namun karena manusia memiliki refleksi, masih adanya bencana-bencana tersebut direfleksikan berbeda, seperti, mereka mengatakan pada dirinya sendiri bahwa, “Mungkin persembahan yang diberikan kurang banyak dan tak tepat waktu, sehingga ritual tersebut tidak diterima dengan baik oleh Yang Maha Kuasa”. Dari sini terlihat adanya proses berpikir dan evaluasi diri dari sang Peritual tersebut.

2.      Membuat tertawa. Gail Jefferson mempertanyakan bagaimana orang tahu kapan saatnya tertawa dalam percakapan. Menurut pandangan awam, tertawa sama sekali bebas waktunya dalam percakapan atau interaksi, artinya, kapan saja dikehendaki. Tetapi Jefferson menemukan bahwa beberapa ciri structural mendasar suatu ucapan dimaksudkan untuk membuat pihak lain agar tertawa yakni pertama, penempatan tawa oleh pembicara di ujung ucapannya. Kedua, tertawa diletakkan di tengah pembicaraan, misalnya di tengah kalimat. Jadi, kemungkinan yang dapat menimbulkan tertawa tak diorganisir sebebas yang diperkirakan orang. Masalahnya bukanlah sesuatu yang akan terjadi, tertawa atau apa pun lainnya, tapi tertawa harus terjadi atas dasar suka rela atau oleh ajakan.

Dari contoh di atas, dapat dijelaskan bahwa teori etnometodologi memberikan cara-cara atau metode yang di gunakan dalam suatu interaksi antara sesama manusia agar tercipta suatu keteraturan sosial yang baik dan sempurna


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fenomenologi adalah ilmu berorientasi untuk dapat memahami penjelasan tentang realitas yang tampak. Fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak berdiri sendiri karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran lebih lanjut.Fenomenologi menerobos fenomena untuk dapat mengetahui makna (hakikat) terdalam dari fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomenologi berusaha untuk memahami bagaimana orang membangun makna dan konsep kunci intersubjektivitas.Tujuannya adalah untuk mempelajari bagaimana fenomena manusia yang berpengalaman dalam kesadaran, dalam tindakan kognitif dan persepsi, serta bagaimana mereka dapat dinilai atau dihargai estetis.
Sedangkan etnometodologi merupakan salah satu metode yang dipakai orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari. Dalam praktiknya, etnometodologi menekankan pada kekuatan etnometodologi, dan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi.
Tujuannya adalah untuk mempelajari bagaimana fenomena manusia yang berpengalaman dalam kesadaran, dalam tindakan kognitif dan persepsi, serta bagaimana mereka dapat dinilai atau dihargai estetis..







No comments:

Post a Comment

d'SwEEt piNk