Wednesday, July 24, 2013

PERANAN PUBLIC RELATION DALAM MENGATASI KRISIS

1. Pengertian Public Relation

Public Relations, seperti yang kita ketahui, merupakan fungsi manajemen proaktif
yang melakukan upaya memantau trends, kejadian, issue-issue yang dapat
timbul dan menganggu hubungan-hubungan penting di perusahaan. Upaya pemantauan
secara kontinyu yang dilakukan oleh Public Relations melalui hubungan informal,
dan lain-lain, akan memberikan manfaat yang besar pada perusahaan ketika
krisis terjadi.

2. Pengertian Krisis

Umumnya krisis dilihat sebagai suatu situasi atau kejadian yang lebih banyak
punya implikasi negaqtif pada organisasi daripada sebaliknya. Fearn-Banks (1996:1)
mendefinisikan krisis sebagai “a major occurrence with a potentially negative outcome
affecting an organization, company or industry, as well as its publics, products,
services or good name”. Biasanya sebuah krisis mengganggu transaksi normal dan
kadang mengancam kelangsungan hidup atau keberadaan organisasi. Krisis pada
dasarnya adalah sebuah situasi yang tidak terduga, artinya organisasi umumnya
tidak dapat menduga bahwa akan muncul krisis yang dapat mengancam keberadaanya.
Sebagai ancaman ia harus ditangani secara cepat agar organisasi dapat
berjalan normal kembali setelah itu. Untuk itu Holsti melihat krisis sebagai
“situations characterized by surprise, high threat to important values, and a short
decision time” (Dikutip dalam Guth, 1995 : 125). Krisis membawa keterkejutan dan
sekaligus mengancam nilai-nilai penting organisasi serta hanya ada waktu yang
singkat untuk mengambil keputusan.
Krisis juga merupakan “a disruption that physically affects a system as a whole
and threaten its basic assumptions, its subjective sense of self, its exixtential core”.
Menurut mereka, krisis biasanya memiliki tiga dampak, yaitu pertama ancaman
terhadap legitimasi organisasi, adanya perlawanan terhadap misi organisasi, dan
ketiga, terganggunya cara orang melihat dan menilai organisasi.
Contoh nyata untuk menjelaskan hal ini adalah ketika pesawat Garuda
Indonesia jatuh di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Hal ini merupakan
ancaman bagi reputasi Garuda sebagai perusahaan penerbangan no. 1 di Indonesia
yang juga adalah perusahaan BUMN. Penilaian masyarakat atau public dapat
berubah karena hal ini. Dan tentu saja, Ini merupakan opini public yang tidak
menguntungkan bagi PT Garuda Indonesia. Yang terlihat adalah bagaimana
Garuda secara cepat mengantisipasi dengan pendekatan media relations yang baik.
Walaupun ada kesan mereka sangat hati-hati dalam menyebutkan jumlah penumpang
yang tewas dalam peristiwa naas tersebut. Tetapi dapat diperkirakan bahwa
reputasinya sebagai perusahaan penerbangan kelas 1 cukup menurun dengan
adanya peristiwa tersebut.
Krisis menurut Linke (Linke, 1989:166) juga merupakan suatu ketidaknormalan
dari konsekuensi negative yang mengganggu operasi sehari-hari sebuah
organisasi. Bagi Linke, krisis mungkin bisa berakibat pada kematian, menurunnya
kualitas kehidupan, berkurangnya tingkat kesejahteraan, dan menurunnya reputasi
perusahaan.
 Contoh yang nyata dari peritiwa ini adalah PT Neumont Minahasa
Raya yang mengalami msalah dengan penduduk sekitar teluk Buyat karena limbah
buangan perusahaan dianggap membahayakan warga sekitar. Ini menunjukkan
bahwa keberadaan perusahaan mengganggu ekosistem sekitar dan mengakibatkan
menurunnya kualitas kehidupan. Reputasi perusahaan juga berkurang akibat hal
ini. Apalagi sejak dikeluarkannya keputusan Mahkamah Agung tentang PT
Neumont Minahasa Raya yang dinyatakan tidak bersalah, dan berbuntut pada
dibebaskannya Direktur Utama Richard Neiss dari segala tuntutan, menyebabkan
warga menjadi resah dan marah. LSM lingkungan hidup pun ikut “berteriak” seolah
penantian warga/komunitas sekitar selama 20 bulan kasus ini disidangkan sama
sekali tidak berbuah hasil yang manis. Ironis memang, tetapi wajah peradilan
Indonesia, ditambah dengan kehadiran Perusahaan PMA dan hukum Indonesia
yang bisa ditarik ulur menyebabkan public yang terkena imbas makin tersisih dan
hampir tidak memiliki jalan keluar. Bagi PT Neumont crisis is over, tetapi bagi
komunitas sekitar, crisis is still out there !.
Bagi Barton, (1993:2) Sebuah krisis adalah peristiwa besar yang tidak terduga
yang secara potensial berdampak negative terhadap organisasi dan publiknya.
Peristiwa ini mungkin secara cukup berarti merusak organisasi, karyawan, produk
dan jasa yang dihasilkan organisasi, kondisi keuangan dan reputasi perusahaan.
Untuk menjelaskan krisis ini bisa dilihat melalui produk yang dinilai melanggar
aturan label halal misal Ajinomoto beberapa tahun lalu yang diperkirakan
mengandung lemak babi. Ini merupakan krisis yang mengancam peredaran produk
dan kepercayaan public pada perusahaan,. Jika keuntungan perusahaan menurun,
tentu berdampak juga pada kesejahteraan karyawan dan keluarga karyawan.
Tetapi ada juga yang melihat bahwa krisis tidak selalu mengantar perusahaan
pada kebangkrutan. Fink (1986:15 dalam I Gusti Ngurah Putra 1999 : 84) melihat
krisis sebagai “an unstable time or state of affairs in which a decive change is
implending – either one with the distinct possibility of a highly undesirable outcome or
one with distinct possibility of a highly desirable and extremely positive outcome”
Peristiwa yang bisa menjelaskan hal ini adalah Kasus Tylenol yang terkenal dimana
tahun 1982, lusinan kapsul Tylenol yang diproduksi Johnson and Johnson
terkontaminasi cyanide. Tujuh orang yang meminum kapsul ini tewas seketika
ketika meminum obat ini. Ini menciptakan semacam bencana nasional dan krisis
internal bagi Johnson and Johnson yang memproduksi kapsul Tylenol ini. Mereka
pun menarik kembali produknya dipasaran dengan kerugian biaya yang sangat
besar yakni mencapai lebih dari 100 juta dollar. Berangkat dari pengalaman pahit
ini Johnson and Johnson berbenah diri dan melakukan berbagai kampanye PR yang
akhirnya dapat memulihkan citra perusahaan mereka kembali.
Selain itu Webster (dalam I Gusti Ngurah Putra 1999: 85) mendefinisikan krisis
sebagai titik balik (turning point) untuk menuju keadaan lebih baik atau lebih buruk
(turning point for the better or worse) jadi lebih dari suatu situasi ini, mungkin
perusahaan atau organisasi dapat menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Apakah krisis akan menjadikan organisasi menjadi lebih baik atau lebih buruk
sangat tergantung pada bagaimana pihak manajemen mempersepsikan dan
kemudian merespon situasi tersebut atau sangat tergantung pada pandangan, sikap
atau tindakan yang diambil terhadap krisis tersebut (Hardjana, 1998 : 15). Jika
manager sebuah organisasi melihat lingkungan organisasinya potensial
menghasilkan bencana, maka ia akan melihat pentingnya perencanaan krisis
sebagai bahan dari perencanaan strategis dan mengalokasikan sumberdaya yang
memadai untuk itu. (Wisenblit 1989:33 dalam I Gusti Ngurah Putra 1999:85).

3. Tahapan Krisis

Krisis tidak bergerak spontan, ia selalu diawali dengan gejala. Yang kadang
tidak terlihat atau terdeteksi oleh perusahaan. Sehingga kurang tepat jika ada
statement dari perusahaan atau organisasi yang mengatakan bahwa krisis di
perusahaan mereka datangnya tiba-tiba. Mengapa ? karena krisis bergerak dari satu
tahap ke tahap lainnya. Ketika tidak diantisipasi pada tahap awal, ia akan makin
meluas dan merugikan organisasi dan publiknya.
Tahapan krisis atau lazimnya disebut sebagai anatomi krisis memiliki arti yang
berbeda-beda oleh sebagian ahli. Oleh Fink (1986) dan Sturges, dkk (1991)
menyatakan ada empat fase yang dilewati oleh sebuah krisis. Sedangkan Fearn-
Banks (1996) menyebutkan lima fase dari sebuah krisis. Namun secara garis besar
kedua pendapat ini tidak menunjukkan perbedaan yang cukup berarti. Gonzales-
Herrero dan Pratt (1995) menganalogikan krisis seperti tahapan kehidupan :
kehamilan, kelahiran, pertumbuhan, kedewasaan, dan penurunan (kematian).
Tahap pertama adalah tahap “Crisis build up” (Sturges, dkk 1991) atau
pedromal periods (Fink, 1986). Pada fase ini gejala atau tanda-tanda krisis mulai
muncul. Jika gejala ini cepat dikenali dan diatasi maka terjadi crisis abortion
(Gonzales – Herrero & Pratt, 1995).
Pada tahap ini, Public Relations perlu melakukan strategi berikut ini :
1. Melakukan pemantauan terhadap lingkungan untuk mengetahui
kecenderungan-kecenderungan yang berkembang yang mungkin mempengaruhi
organisasi
2. Mengumpulkan data masalah yang potensial menimbulkan kesulitan bagi
organisasi
3. Mengembangkan strategi komunikasi dan berkonsentrasi untuk mencegah
munculnya krisis. Jika perusahaan dapat cepat bergerak mengatasi ini, maka
besar kemungkinan tidak akan terjadi krisis.
Tahap kedua, “Crisis Breakout” atau Acute Crisis, yakni telah terjadi kejadian
yang menyebabkan perusahaan mulai mengalami kerugian. Tahap ini dikatakan
Fink sebagai tahap the pint of no return. Atau tahap krisis actual. Dalam tahap ini
kerusakan benar-benar telah terjadi. Jika kemudian perusahana tidak dapat
mengatasinya, maka kerusakan lanjutan hanyalah masalah waktu. Tahap inilah
korban-korban mulai terlihat. Bisa dalam bentuk kematian, kerusakan property,
kerusakan lingkungan dan sebagainya. Pada tahap inilah manajemen perusahaan
menghadapi ujian yang sangat berat. Penanganan dalam tahap ini lebih sulit
dibanding penanganan pada fase sebelumnya. Pada awalnya, umumnya perusahaan
mungkin mencoba menolak adanya krisis, tetapi pada akhirnya organisasi harus
menyadari dan mengakui bahwa pada tahap ini krisis memang benar-benar telah
terjadi dan tidak bisa mereka hindari.
Tahap ketiga yaitu “abatement” (peredaan) atau ‘chronic crisis stage”. Pada
tahap ini sering juga disebut sebagai tahap transisi atau’ clean up stage” . Organisasi
berusaha untuk menangani atau berusaha kembali dan melakukan perubahanperubahan
penting. Saat ini perusahaan mungkin harus menyelesaikan masalah
tuntutan berbagai pihak yang antara lain dapat berbentuk pemberian kompensasi,
ganti rugi, cash and carry, dan masalah-masalah hukum lainnya. Tahap ini dapat
berlangsung sangat lama, lebih lama dari tahap krisis sesungguhnya. Karena untuk
menentukan ganti rugi mungkin tidak begitu gampang. Apalagi kalau melalui
proses peradilan. Belum lagi yang harus dilayani begitu banyak. Contoh nyata dari
krisis tahap ketiga ini adalah PT Neumont Minahasa Raya (MNR) yang menempuh
20 bulan proses peradilan yang panjang, tetapi toh berujung pada ketidak puasan
warga sekitar dan LSM lingkungan hidup.
Tahap keempat, “crisis resolution stage” atau “termination stage”, yaitu ada
tanda-tanda penyelesaian akhir yang menandakan bahwa krisis tidak lagi merupakan
ancaman bagi organisasi. Dalam hal ini ibarat orang sakit, perusahaan sudah
menunjukkan proses kesembuhan. Jadi, krisis sudah mulai reda. Namun demikian
krisis dapat kembali muncul. Pada tahap ini perusahaan harus tetap ekstra hatihati.
Pada tahap ini perusahaan harus menaruh perhatian pada berbagai publiknya.
Melanjutkan pemantauan terhadap masalah sampai intensitas masalah yang
muncul berkurang, melanjutkan perhatian pada media dengan mensupport informasi
yang dibutuhkan oleh media terkait dengan berbagai tindakan yang dilakukan
oleh manajemen, mengevaluasi rencana penanganan krisis, jika memang ada,
menjadikan umpan balik yang ada sebagai amsukan untuk perencanaan krisis
dimasa mendatang dan mengembangkan strategi komunikasi jangka panjang untuk
mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh krisis yang terjadi (Gonzales-Herrero
& Pratt, 1995 : 29)
Krisis jarang terjadi karena satu factor, umumnya terjadi karena akumulasi
dari factor-faktor yang lain juga. Penyebab krisis dapat dikategorikan menjadi :
1. Karena kesalahan manusia (human error)
2. Karena kegagalan teknologi
3. Karena alasan social (kerusuhan, perang, sabotase, teroris, dll)
4. Berkaitan dengan bencana alam (natural disaster)
5. Karena ketidakbecusan manajemen
(Shrivastava & Mitroff, 1987; Sen & Egelhoff, 1991 : 79)

4. Peran PR dalam Krisis

Krisis harus direspon dengan baik oleh perusahaan, biasanya dapat dilakukan
melalui Public Relations yang menjembatani antara organisasi dengan publiknya.
Disamping itu, PR adalah fungsi manajemen yang mengidentifikasi sikap public.
Beranjak dari hekikat PR inilah maka kita dapat meresponi setiap krisis yang
datang.
  • Pertama, libatkan manajemen secara langsung dalam krisis. Ini berarti juga
menolong memperkecil stress yang dialami oleh senior management dalam mengambil
keputusan tentang penanggulangan krisis. PR dapat membuat laporan secara
periodic mengenai progress dari krisis yang terjadi bahkan sekaligus melibatkan
manajemen melalui kunjungan ke lokasi kejadian. Selain itu jika terjadi korban
misalnya untuk kasus jatuhnya pesawat terbang bisa mengajak senior management
untuk mendatangi pemakaman kru dan penumpang pesawat yang jatuh, kompensasi
keuangan yang diberikan secara langsung, pembuatan yayasan untuk
menangani anak-anak korban bencana Lumpur Lapindo, misalnya, dan sebagainya.
  • Kedua, Tindakan komunikasi yakni apa yang harus dikatakan oleh
perusahaan mengenai krisis. Dalam hal ini informasi harus betul-betul dikemas
dengan baik. Kebutuhan informasi menjadi sangat tinggi. Karena itu informasi
harus cepat tetapi juga akurat dan selalu di update. Ini merupakan prioritas utama.
Media harus digandeng untuk memberikan informasi yang tepat dan akurat pada
public dan masyarakat secara luas. Informasi harus terpusat dan satu pintu, untuk
memudahkan lalu lintas informasi, karena itu perlu dibuat crisis center atau
emergency centre dengan staf yang terlatih.
Public Relations harus berperan dalam memberitahukan public tentang apa
yang terjadi, apa yang sedang dan akan dilakukan perusahaan dan apa yang harus
di lakukan oleh public. Ini merupakan pendekatan simbolik yang harus ditempuh
organisasi (Gould & Kelly, 1974 dalam Putra, 1999: 96). Bahkan pada waktu krisis
telah selesai ditanggulangi, peran PR adalah memperbaiki hubungan dan posisi
perusahaan di masyarakat secara umum dan stakeholders secara khusus. Ini dapat
dilakukan dengan pertemuan-pertemuan penting dengan pemerintah, karyawan
dan keluarganya, media internal perusahaan, media massa dan melanjutkan
strategi komunikasi jujur dan terbuka.
Dalam hal ini kedua tindakan tadi harus mencerminkan 2 (dua ) hal. Pertama,
tanggungjawab yang tinggi dari pihak manajemen organisasi terhadap harkat atau
nilai-nilai kemanusiaan. Upaya pencarian kambing hitam atau pihak ketiga,
menghindari media, berdiam diri alias off the record, ketidakjujuran, manipulasi
data, sebaiknya dihindari karena justru berujung pada jatuhnya reputasi perusahaan.
Kedua, komunikasi yang dibangun atas dasar kejujuran dalam upaya
membangun hubungan yang baik dan kepercayaan public terhadap niat baik
organisasi. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan harus menjadi
wilayah perhatian dari Public Relations. Seperti dikatakan oleh Sen & Egelhoff
(1991:81) : “It is always important to show concern for the victims. However, this must
be done in a credible way. Statement have to be backed by actions. Good intentions
have to be actually implemented”.








No comments:

Post a Comment

d'SwEEt piNk