1. Pengertian Public Relation
Public Relations,
seperti yang kita ketahui, merupakan fungsi manajemen proaktif
yang melakukan upaya memantau trends, kejadian, issue-issue
yang dapat
timbul dan menganggu hubungan-hubungan penting di
perusahaan. Upaya pemantauan
secara kontinyu yang dilakukan oleh Public Relations
melalui hubungan informal,
dan lain-lain, akan memberikan manfaat yang besar pada
perusahaan ketika
krisis
terjadi.
2. Pengertian Krisis
Umumnya krisis
dilihat sebagai suatu situasi atau kejadian yang lebih banyak
punya implikasi negaqtif pada organisasi daripada
sebaliknya. Fearn-Banks
(1996:1)
mendefinisikan
krisis sebagai “a
major occurrence with a potentially negative outcome
affecting an organization, company or industry, as
well as its publics, products,
services or good name”. Biasanya sebuah krisis mengganggu
transaksi normal dan
kadang
mengancam kelangsungan hidup atau keberadaan organisasi. Krisis pada
dasarnya adalah sebuah situasi yang tidak terduga,
artinya organisasi umumnya
tidak dapat menduga bahwa akan muncul krisis yang dapat
mengancam keberadaanya.
Sebagai ancaman ia harus ditangani secara cepat agar
organisasi dapat
berjalan
normal kembali setelah itu. Untuk itu Holsti melihat krisis sebagai
“situations characterized by surprise, high threat to
important values, and a short
decision time” (Dikutip dalam Guth, 1995 : 125).
Krisis membawa keterkejutan dan
sekaligus
mengancam nilai-nilai penting organisasi serta hanya ada waktu yang
singkat untuk mengambil keputusan.
Krisis juga merupakan “a disruption that
physically affects a system as a whole
and threaten its basic assumptions, its subjective
sense of self, its exixtential core”.
Menurut mereka, krisis biasanya memiliki tiga dampak,
yaitu pertama ancaman
terhadap legitimasi organisasi, adanya perlawanan
terhadap misi organisasi, dan
ketiga, terganggunya cara orang melihat dan menilai
organisasi.
Contoh nyata untuk
menjelaskan hal ini adalah ketika pesawat Garuda
Indonesia jatuh di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu.
Hal ini merupakan
ancaman bagi reputasi Garuda sebagai perusahaan
penerbangan no. 1 di Indonesia
yang juga adalah perusahaan BUMN. Penilaian masyarakat
atau public dapat
berubah karena hal ini. Dan tentu saja, Ini merupakan
opini public yang tidak
menguntungkan bagi PT Garuda Indonesia. Yang terlihat
adalah bagaimana
Garuda secara cepat mengantisipasi dengan pendekatan
media relations yang baik.
Walaupun ada kesan mereka sangat hati-hati dalam
menyebutkan jumlah penumpang
yang tewas dalam peristiwa naas tersebut. Tetapi dapat
diperkirakan bahwa
reputasinya sebagai perusahaan penerbangan kelas 1 cukup
menurun dengan
adanya peristiwa tersebut.
Krisis menurut
Linke (Linke, 1989:166) juga merupakan suatu ketidaknormalan
dari konsekuensi negative yang mengganggu operasi
sehari-hari sebuah
organisasi. Bagi Linke, krisis mungkin bisa berakibat
pada kematian, menurunnya
kualitas kehidupan, berkurangnya tingkat kesejahteraan,
dan menurunnya reputasi
perusahaan.
Contoh yang nyata dari peritiwa ini adalah PT
Neumont Minahasa
Raya yang mengalami msalah dengan penduduk sekitar teluk
Buyat karena limbah
buangan perusahaan dianggap membahayakan warga sekitar.
Ini menunjukkan
bahwa keberadaan perusahaan mengganggu ekosistem sekitar
dan mengakibatkan
menurunnya kualitas kehidupan. Reputasi perusahaan juga
berkurang akibat hal
ini. Apalagi sejak dikeluarkannya keputusan Mahkamah
Agung tentang PT
Neumont Minahasa Raya yang dinyatakan tidak bersalah, dan
berbuntut pada
dibebaskannya Direktur Utama Richard Neiss dari segala
tuntutan, menyebabkan
warga menjadi resah dan marah. LSM lingkungan hidup pun
ikut “berteriak” seolah
penantian warga/komunitas sekitar selama 20 bulan kasus
ini disidangkan sama
sekali tidak berbuah hasil yang manis. Ironis memang,
tetapi wajah peradilan
Indonesia, ditambah dengan kehadiran Perusahaan PMA dan
hukum Indonesia
yang bisa ditarik ulur menyebabkan public yang terkena
imbas makin tersisih dan
hampir tidak memiliki jalan keluar. Bagi PT Neumont crisis is over, tetapi bagi
komunitas
sekitar, crisis
is still out there !.
Bagi Barton,
(1993:2) Sebuah krisis adalah peristiwa besar yang tidak terduga
yang secara potensial berdampak negative terhadap
organisasi dan publiknya.
Peristiwa ini mungkin secara cukup berarti merusak
organisasi, karyawan, produk
dan jasa yang dihasilkan organisasi, kondisi keuangan dan
reputasi perusahaan.
Untuk menjelaskan
krisis ini bisa dilihat melalui produk yang dinilai melanggar
aturan label halal misal Ajinomoto beberapa tahun lalu
yang diperkirakan
mengandung lemak babi. Ini merupakan krisis yang
mengancam peredaran produk
dan
kepercayaan public pada perusahaan,. Jika keuntungan perusahaan menurun,
tentu
berdampak juga pada kesejahteraan karyawan dan keluarga karyawan.
Tetapi ada juga yang melihat bahwa krisis tidak selalu
mengantar perusahaan
pada kebangkrutan. Fink (1986:15 dalam I Gusti Ngurah
Putra 1999 : 84) melihat
krisis
sebagai “an
unstable time or state of affairs in which a decive change is
implending – either one with the distinct possibility
of a highly undesirable outcome or
one with distinct possibility of a highly desirable
and extremely positive outcome”
Peristiwa yang
bisa menjelaskan hal ini adalah Kasus Tylenol yang terkenal dimana
tahun 1982, lusinan kapsul Tylenol yang diproduksi
Johnson and Johnson
terkontaminasi cyanide. Tujuh orang yang meminum kapsul
ini tewas seketika
ketika meminum obat ini. Ini menciptakan semacam bencana
nasional dan krisis
internal bagi Johnson and Johnson yang memproduksi kapsul
Tylenol ini. Mereka
pun menarik kembali produknya dipasaran dengan kerugian
biaya yang sangat
besar yakni mencapai lebih dari 100 juta dollar.
Berangkat dari pengalaman pahit
ini Johnson and Johnson berbenah diri dan melakukan
berbagai kampanye PR yang
akhirnya dapat memulihkan citra perusahaan mereka
kembali.
Selain itu Webster (dalam I Gusti Ngurah Putra 1999: 85)
mendefinisikan krisis
sebagai titik balik (turning
point) untuk menuju keadaan lebih baik atau lebih buruk
(turning point for the better or
worse)
jadi lebih dari suatu situasi ini, mungkin
perusahaan atau organisasi dapat menjadi lebih baik atau
lebih buruk.
Apakah krisis akan menjadikan organisasi menjadi lebih
baik atau lebih buruk
sangat tergantung pada bagaimana pihak manajemen
mempersepsikan dan
kemudian merespon situasi tersebut atau sangat tergantung
pada pandangan, sikap
atau tindakan yang diambil terhadap krisis tersebut
(Hardjana, 1998 : 15). Jika
manager sebuah organisasi melihat lingkungan
organisasinya potensial
menghasilkan bencana, maka ia akan melihat pentingnya
perencanaan krisis
sebagai bahan dari perencanaan strategis dan mengalokasikan
sumberdaya yang
memadai untuk itu. (Wisenblit 1989:33 dalam I Gusti
Ngurah Putra 1999:85).
3. Tahapan Krisis
Krisis tidak
bergerak spontan, ia selalu diawali dengan gejala. Yang kadang
tidak terlihat atau terdeteksi oleh perusahaan. Sehingga
kurang tepat jika ada
statement dari perusahaan atau organisasi yang mengatakan
bahwa krisis di
perusahaan mereka datangnya tiba-tiba. Mengapa ? karena
krisis bergerak dari satu
tahap ke tahap lainnya. Ketika tidak diantisipasi pada
tahap awal, ia akan makin
meluas dan merugikan organisasi dan publiknya.
Tahapan krisis
atau lazimnya disebut sebagai anatomi krisis memiliki arti yang
berbeda-beda oleh sebagian ahli. Oleh Fink (1986)
dan Sturges, dkk (1991)
menyatakan ada empat fase yang dilewati oleh sebuah
krisis. Sedangkan Fearn-
Banks (1996) menyebutkan lima fase dari sebuah krisis.
Namun secara garis besar
kedua pendapat ini tidak menunjukkan perbedaan yang cukup
berarti. Gonzales-
Herrero dan Pratt (1995) menganalogikan krisis seperti
tahapan kehidupan :
kehamilan, kelahiran, pertumbuhan, kedewasaan, dan
penurunan (kematian).
Tahap pertama adalah tahap “Crisis build up” (Sturges, dkk 1991) atau
pedromal periods (Fink, 1986). Pada fase ini gejala atau
tanda-tanda krisis mulai
muncul. Jika gejala ini cepat dikenali dan diatasi maka
terjadi crisis abortion
(Gonzales – Herrero & Pratt, 1995).
Pada tahap ini,
Public Relations perlu melakukan strategi berikut ini :
1. Melakukan pemantauan terhadap lingkungan untuk
mengetahui
kecenderungan-kecenderungan yang berkembang yang mungkin
mempengaruhi
organisasi
2. Mengumpulkan data masalah yang potensial menimbulkan
kesulitan bagi
organisasi
3. Mengembangkan strategi komunikasi dan berkonsentrasi
untuk mencegah
munculnya krisis. Jika perusahaan dapat cepat bergerak
mengatasi ini, maka
besar kemungkinan tidak akan terjadi krisis.
Tahap kedua, “Crisis Breakout” atau Acute Crisis, yakni telah terjadi kejadian
yang
menyebabkan perusahaan mulai mengalami kerugian. Tahap ini dikatakan
Fink
sebagai tahap the
pint of no return. Atau tahap krisis actual. Dalam tahap ini
kerusakan benar-benar telah terjadi. Jika kemudian
perusahana tidak dapat
mengatasinya, maka kerusakan lanjutan hanyalah masalah
waktu. Tahap inilah
korban-korban mulai terlihat. Bisa dalam bentuk kematian,
kerusakan property,
kerusakan lingkungan dan sebagainya. Pada tahap inilah
manajemen perusahaan
menghadapi ujian yang sangat berat. Penanganan dalam
tahap ini lebih sulit
dibanding penanganan pada fase sebelumnya. Pada awalnya,
umumnya perusahaan
mungkin mencoba menolak adanya krisis, tetapi pada
akhirnya organisasi harus
menyadari dan mengakui bahwa pada tahap ini krisis memang
benar-benar telah
terjadi dan tidak bisa mereka hindari.
Tahap ketiga yaitu “abatement” (peredaan) atau ‘chronic crisis stage”. Pada
tahap
ini sering juga disebut sebagai tahap transisi atau’ clean up stage” . Organisasi
berusaha untuk menangani atau berusaha kembali dan
melakukan perubahanperubahan
penting. Saat ini perusahaan mungkin harus menyelesaikan
masalah
tuntutan berbagai pihak yang antara lain dapat berbentuk
pemberian kompensasi,
ganti
rugi, cash
and carry, dan
masalah-masalah hukum lainnya. Tahap ini dapat
berlangsung sangat lama, lebih lama dari tahap krisis
sesungguhnya. Karena untuk
menentukan ganti rugi mungkin tidak begitu gampang.
Apalagi kalau melalui
proses peradilan. Belum lagi yang harus dilayani begitu
banyak. Contoh nyata dari
krisis tahap ketiga ini adalah PT Neumont Minahasa Raya
(MNR) yang menempuh
20 bulan proses peradilan yang panjang, tetapi toh
berujung pada ketidak puasan
warga sekitar dan LSM lingkungan hidup.
Tahap keempat, “crisis resolution stage” atau “termination stage”, yaitu ada
tanda-tanda penyelesaian akhir yang menandakan bahwa
krisis tidak lagi merupakan
ancaman bagi organisasi. Dalam hal ini ibarat orang sakit,
perusahaan sudah
menunjukkan proses kesembuhan. Jadi, krisis sudah mulai
reda. Namun demikian
krisis dapat kembali muncul. Pada tahap ini perusahaan
harus tetap ekstra hatihati.
Pada tahap ini perusahaan harus menaruh perhatian pada
berbagai publiknya.
Melanjutkan pemantauan terhadap masalah sampai intensitas
masalah yang
muncul berkurang, melanjutkan perhatian pada media dengan
mensupport informasi
yang dibutuhkan oleh media terkait dengan berbagai
tindakan yang dilakukan
oleh manajemen, mengevaluasi rencana penanganan krisis,
jika memang ada,
menjadikan umpan balik yang ada sebagai amsukan untuk
perencanaan krisis
dimasa mendatang dan mengembangkan strategi komunikasi
jangka panjang untuk
mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh krisis yang
terjadi (Gonzales-Herrero
& Pratt, 1995 : 29)
Krisis jarang
terjadi karena satu factor, umumnya terjadi karena akumulasi
dari factor-faktor yang lain juga. Penyebab krisis dapat
dikategorikan menjadi :
1. Karena kesalahan manusia (human error)
2. Karena kegagalan teknologi
3. Karena alasan social (kerusuhan, perang, sabotase,
teroris, dll)
4. Berkaitan dengan bencana alam (natural disaster)
5. Karena ketidakbecusan manajemen
(Shrivastava & Mitroff, 1987; Sen & Egelhoff,
1991 : 79)
4. Peran PR dalam Krisis
Krisis harus
direspon dengan baik oleh perusahaan, biasanya dapat dilakukan
melalui Public Relations yang menjembatani antara
organisasi dengan publiknya.
Disamping itu, PR adalah fungsi manajemen yang
mengidentifikasi sikap public.
Beranjak dari hekikat PR inilah maka kita dapat meresponi
setiap krisis yang
datang.
- Pertama, libatkan
manajemen secara langsung dalam krisis. Ini berarti juga
menolong memperkecil stress yang dialami oleh senior
management dalam mengambil
keputusan tentang penanggulangan krisis. PR dapat membuat
laporan secara
periodic mengenai progress dari krisis yang terjadi
bahkan sekaligus melibatkan
manajemen melalui kunjungan ke lokasi kejadian. Selain
itu jika terjadi korban
misalnya untuk kasus jatuhnya pesawat terbang bisa
mengajak senior management
untuk mendatangi pemakaman kru dan penumpang pesawat yang
jatuh, kompensasi
keuangan yang diberikan secara langsung, pembuatan
yayasan untuk
menangani anak-anak korban bencana Lumpur Lapindo,
misalnya, dan sebagainya.
- Kedua, Tindakan
komunikasi yakni apa yang harus dikatakan oleh
perusahaan mengenai krisis. Dalam hal ini informasi harus
betul-betul dikemas
dengan baik. Kebutuhan informasi menjadi sangat tinggi.
Karena itu informasi
harus cepat tetapi juga akurat dan selalu di update. Ini
merupakan prioritas utama.
Media harus digandeng untuk memberikan informasi yang
tepat dan akurat pada
public dan masyarakat secara luas. Informasi harus
terpusat dan satu pintu, untuk
memudahkan lalu lintas informasi, karena itu perlu dibuat
crisis center atau
emergency centre dengan staf yang
terlatih.
Public Relations
harus berperan dalam memberitahukan public tentang apa
yang terjadi, apa yang sedang dan akan dilakukan
perusahaan dan apa yang harus
di lakukan oleh public. Ini merupakan pendekatan simbolik
yang harus ditempuh
organisasi (Gould & Kelly, 1974 dalam Putra, 1999:
96). Bahkan pada waktu krisis
telah selesai ditanggulangi, peran PR adalah memperbaiki
hubungan dan posisi
perusahaan di masyarakat secara umum dan stakeholders
secara khusus. Ini dapat
dilakukan dengan pertemuan-pertemuan penting dengan
pemerintah, karyawan
dan keluarganya, media internal perusahaan, media massa
dan melanjutkan
strategi komunikasi jujur dan terbuka.
Dalam hal ini
kedua tindakan tadi harus mencerminkan 2 (dua ) hal. Pertama,
tanggungjawab yang tinggi dari pihak manajemen organisasi
terhadap harkat atau
nilai-nilai kemanusiaan. Upaya pencarian kambing hitam
atau pihak ketiga,
menghindari media, berdiam diri alias off the
record, ketidakjujuran, manipulasi
data, sebaiknya dihindari karena justru berujung pada
jatuhnya reputasi perusahaan.
Kedua, komunikasi yang dibangun atas dasar
kejujuran dalam upaya
membangun
hubungan yang baik dan kepercayaan public terhadap niat baik
organisasi. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama
lain, dan harus menjadi
wilayah
perhatian dari Public Relations. Seperti dikatakan oleh Sen & Egelhoff
(1991:81)
: “It
is always important to show concern for the victims. However, this must
be done in a credible way. Statement have to be
backed by actions. Good intentions
have to be actually implemented”.
No comments:
Post a Comment