Monday, January 19, 2015

MENGHINDARI PENGKHIANATAN YANG BERULANG. Farid Wadjdi (Anggota DPP Hizbut Tahrir Indonesia)

Rosullullah saw pernah menasehati sahabatnya dengan mengatakan bahwa orang yang beriman tidak akan digigit dua kali pada lubang yang sama. Peringatan dan nasehat Rosulullah saw ini, pantas kita renungi pada saat ini dalam situasi politik dukung mendukung capres yang semakin panas. Terbentuknya koalisi kebangsaan, yang sering diklaim sebagai bersatunya unsur Islam, nasionalisme maupun nashrani , pantas kita cermati. Demikian juga seakan berulang kita saksikan, ulama atau tokoh Islam , yang datang ke pusat-pusat kekuasaan, kemudian mengeluarkan pernyataan mendukung calon A atau B. Dengan mudah pula kita saksikan, bagaimana elit-elit kelompok atau partai Islam sering kali berubah pendapat dalam masalah hukum syara’ yang jelas-jelas qot’I(tegas). Tadinya halal kemudian haram, sebaliknya tadinya haram , sekarang menjadi halal.

Memang , dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, suara rakyat muslim tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Dukungan dan penolakan rakyat muslim yang mayoritas ini, jelas akan berpengaruh terhadap perubahan seperti apa yang diinginkan . Dan cara yang paling sederhana untuk meraih dukungan kaum muslim , ya lewat ulama-ulama mereka. Inilah yang sangat disadari oleh kekuatan-kekuatan politik yang berebut kekuasaan. Tidak mengherankan dalam sejarah pergulatan politik di Indonesia rakyat muslim dan para ulama mereka , sering dijadikan sebagai pendukung atau pemicu perubahan. Tidak ada yang membantah, ulama-ulama Islam dan kaum musliminlah yang berada digaris depan pengusiran penjajah kafir portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Darah para syuhada ini telah membasahi bumi persada atas dasar kewajiban jihad mengusir penjajah kafir. Bisa kita saksikan  pengorbanan rakyat Aceh yang dikenal sebagai muslim yang taat , saat menyumbangkan harta dan jiwa mereka saat melawan penjajah. Sejarah kepahlawan kita pun penuh dengan kisah-kisah yang penuh gagah berani dari para pemuka dan ulama Islam seperti Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Teuku Umar di Aceh, Pangeran Diponogoro di Mataram, Pangeran Hasanuddin di Sulawaesi. Termasuk politisi Islam terkemuka seperti Haji Agus Salim, Muhammad Natsir, Hamka, telah nyata sumbangsihnya bagi kemerdekaan Indonesia. Sejarah juga telah mencatat bagaimana umat Islam berada di garis yang paling depan saat melakukan perlawanan terhadap gerakan komunisme. Tokoh Islam, organisasi Islam, ulama-ulama dan ustadz-ustadz adalah korban yang paling banyak dari kebuasan gerakan komunisme. Umat Islam pula lah yang tidak kenal lelah, berjuang . Semua berjuang sebagai bentuk perlawanan terhadap atheisme yang kufur dan keinginan untuk menjaga aqidah umat dari penyesatan ide-ide komunisme. Demikian pula halnya  dalam gerakan reformasi ,tokoh-tokoh umat Islam tidak bisa diabaikan begitu saja.

Namun, apa yang menimpa umat Islam, saat kemenangan telah diraih. Umat Islam pula yang menjadi korban utama dari para politisi yang berebut kekuasaan tersebut. Para politisi nasionalis-sekuler , secara licik telah memanfaatkan umat ini untuk kepentingan politik sekulerisme mereka. Dan ironisnya sedikit umat Islam sadar , bahwa politisi sekuler berpolitik dengan arahan kepentingan asing,yakni negara-negara imperiliasme.

Atas nama nasionalisme, Sukarno-Hatta meminggirkan kekuatan Islam yang mengancam kepentingan mereka. Banyak tokoh-tokoh Islam yang dipenjara dan disempitkan kehidupannya. Masyumi yang dikenal sebagai organisasi Islam yang kuat saat itu  , kemudian dibubarkan oleh Sukarno, karena dianggap mengancam kepentingannya. Hal yang sama terjadi pada masa orde Baru, kekuatan-kekuatan politik Islam yang tidak mau tunduk kepada Suharto, disingkirkan atas nama stabilisasi. Menjaga ideologi Pancasila, menjadi alasan untuk menangkap, memenjarakan, menyiksa, sampai membunuh politisi Islam yang menolak kemungkaran yang dilakukan oleh rezim orde baru. Tidak jauh beda setelah reformasi. Perang melawan terorismepun yang dikomandoi oleh Amerika Serikat menjadi alasan untuk menyudutkan kaum muslim. Semua pihak berlomba-lomba untuk menunjukkan kesungguhannya memerangi terorisme,  yang sering kali didorong oleh  keinginan untuk  mengambil hati negara Imperialis yang menjadi sponsor.

Inilah yang harus direnungi bersama oleh kaum muslim, politisi Islam, parpol Islam, secara keseluruhan. Tindakan saling dukung mendukung capres pada saat ini, seharusnya tidak lagi mengulangi kesalahan yang berulang-ulang . Umat Islam seringkali  menjadi pendorong mobil mogok. Setelah kekuasaan diraih oleh para politisi sekuler, umat Islampun ditinggalkan, bahkan dipinggirkan. Untuk itu penting bagi kita merenungi kenapa sering kali posisi umat Islam, gerakan Islam, parpol Islam , dipinggirkan. Paling tidak ada beberapa point penting yang menjadi penyebabnya:

Pertama, sistem politik tempat umat Islam bermain adalah sistem sekuler. Sistem politik sekuler pastilah akan menguntungkan kepentingan kelompok sekuler. Karena itu jangan kita berharap banyak mendapat keuntungan dan kemenangan , selama permainan didasarkan atas sistem sekulerisme. Saat kita menyerukan syariah Islam, untuk diterapkan oleh negara, dengan gampang pihak sekuler menolak. Kalimat yang sering muncul : kita bukan negara agama, bung; kita ini bangsa yang plural bung. Sangat menyakitkan , bagaimana hanya kata-kata iman dan takwa dalam RUU Sisdiknas kemarin dipersoalkan oleh kelompok sekuler, dengan alasan agama jangan dibawa-bawa ke ruang publik. Apalagi kalau kita menyerukan pendidikan yang didasarkan ideologi Islam. Mengambalikan piagam Jakarta saja mendapat penolakan yang luar biasa. Padahal disitu hanya sebatas berisi menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, bukan menjalankan syariat Islam secara kaffah ( yang mengatur islam maupun non Islam). Jadi keberadaan sistem sekuler inilah yang justru menjadi penyebab kenapa umat Islam hanya menjadi pendorong. Tidak berperan banyak. Sebab , sistem sekuler akan menguntungkan orang-orang sekuler saja.

Kedua, gerakan Islam, politisi Islam, tokoh Islam yang berpikir pendek (pragmatis). Salah satu problem besar umat Islam  saat ini adalah sering melupakan pentingnya strategi jangka panjang, tujuan jangka panjang. Hal ini yang membuat umat Islam sering terjebak pada sikap pragmatisme, sebatas meraih kepentingan jangka pendek yang sangat minimalis. Hanya untuk meraih kekuasaan : posisi anggota parlemen, menteri, gubernur, Bupati, tidak sedikit membuat kita terjebak pada politik dukung mendukung. Atau sebatas meraih keuntungan materi, meskipun alasannya untuk membangun sekolah, pesantren dan sebagainya, tidak sedikit kita tanpa pikir panjang mendukung kekuatan politik yang ada. Tentunya, sangat menyedihkan, kalau memang ada ulama yang sengaja menjual ayat dan umatnya untuk kepentingan materi. Sesuatu yang tidak kita harapkan terjadi.

Saatnyalah kita bersikap tegas dalam garis perjuangan kita. Bahwa perjuangan haruslah kita arahkah pada perubahan yang mendasar. Yakni merubah sistem sekuler yang merugikan ini menjadi sistem Islam. Untuk itu bagaimana melanjutkan kehidupan Islam dengan penerapan hukum syara’ lewat Daulah Khilafah Islam , sekali lagi, penting menjadi acuan bersama dalam perjuangan ini.

Perjuangan juga harus tetap menjadikan syariah Islam sebagai dasar patokan kita berbuat ditengah hiruk pikuk situasi politik saat ini . Alasan kemashlahatan , yang sering dicari-cari sebagai pembenaran langkah keliru kita harus ditinggakan. Kemashlahatan bukanlah didasarkan kepada kepentingan politik jangka pendek. Dengan menegakkan syariah Islam-lah kemashlahatan akan kita raih. Untuk itu perjuangan Rosulullah yang selalu bermuara pada pembentukan  kesadaran umat akan Islam dan meraih dukungan umat akan Islam haruslah menjadi patokan. Sikap istiqomah (konsisten), tidak bisa dibeli oleh harta bahkan nyawa sekalipun harus menjadi sikap kita bersama. Kata-kata Rosul saat menolak  kekuasaan,harta, dan wanita, yang kalau dia menerima itu akan membuat dia menyimpang dari Islam pantas kita renungkan : “Demi Allah, seandainya mereka sanggup meletakkan matahari di sebelah kananku dan bulan di sebelah kiriku agar aku mau meninggalkan urusan (dakwah) ini, aku tidak akan meninggalkannya, sampai Allah memenangkah dakwah ini dan aku hancur karenanya “.(Siroh Ibn Hisyam)  Dengan cara inilah kita bisa menghindari pengkhianatan yang berulang. 


No comments:

Post a Comment

d'SwEEt piNk