BAB I
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang berisi petunjuk-petunjuk agar manusia secara
individual menjadi manusia yang baik, beradab, dan berkualitas. Di samping itu Islam
sebagai agama dakwah dari bahasa arab yang asal katanya
دعا- يدعو- دعوة artinya menyeru, mengajak, memanggil, menjamu. Maksudnya adalah
agama yang disebarluaskan secara damai, tidak lewat kekerasan. Dakwah memiliki tiga
unsur pengertian pokok yaitu :
1.
Dakwah
adalah proses penyampaian agama Islam dari seseorang kepada orang lain.
2.
Dakwah
adalah penyampain ajaran Islam tersebut dapat berupa amar makruf (ajaran
kepada kebaikan) dan nahi munkar (mencegah kemungkaran).
3.
Usaha
tersebut dilakukan secara dasar dengan tujuan terbentuknya suatu individu atau
masyarakat yang taat dan mengamalkan sepenuhnya ajaran Islam.
Dengan pengertian dakwah di atas, pola dakwah dapat mengambil bentuk antara
lain dakwah kultural, dakwah politik, dan dakwah ekonomi. Dakwah
kultural adalah aktivitas dakwah yang menekankan pendekatan Islam kultural
yaitu pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan doktrinal yang formal
antara Islam dan politik atau Islam dan negara. Dakwah politik adalah gerakan
dakwah yang ada di dalam atau ada pada kekuasaan. Dakwah ekonomi adalah upaya
mewujudkan dalam realitas kehidupan umat Islam, ajaran-ajaran Islam tertentu
yang dapat berfungsi untuk meningkatkan sosial ekonomi umat.
Kunci dari defenisi dakwah adalah panggilan atau ajakan kembali ke jalan
Allah karena hakikat dakwah adalah memanggil atau mengajak kembali manusia
kepada agama. Hal ini karena pada hakikatnya semua manusia dilahirkan dengan
keadaan bertuhan atau beragama. Manusia adalah makhluk religius. Jadi, tugas dakwah
adalah memanggil atau mengajak manusia agar kembali kepada apa yang pernah
diucapkan ketika masih berada di dalam ruh yaitu beriman kepada Allah.
Munculnya
gerakan dakwah keagamaan ala Muhammadiyah di atas panggung sejarah keagamaan
Islam di Indonesia sebenarnya merupakan peristiwa sosial-budaya biasa, yakni
peristiwa sosial-budaya bernapaskan keagamaan Islam, yang merupakan “eksperimen
sejarah” yang cukup spektakuler, khususnya untuk ukuran saat itu.
Tantangan zaman yang menghimpit umat Islam saat
berdirinya Muhammadiyah pada 1912 dapat disebutkan antara lain: umat
Islam–hampir di seluruh dunia−berada di bawah belenggu cengkraman penjajahan,
kebekuan pemikiran keagamaan, rendahnya mutu pendidikan umum yang
diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan yayasan-yayasan
Katolik dan Protestan. Hal ini tidak saja menyangkut pendidikan, tetapi juga
dalam pelayanan sosial, seperti rumah sakit, panti asuhan, rumah jompo, dan
lain sebagainya. Belum lagi menyebut situasi umu umat Islam yang sangat mudah
dijumpai di sana-sini seperti kebodhan, keterbelakangan, dan kemiskinan.
Dalam situasi yang menghimpit seperti itu,
muncullah gagasan untuk membentuk suatu “persyarikatan” (organisasi) keagamaan
yang berupaya sebisa-bisanya merespons tantangan zaman tersebut. Usaha umat
Islam untuk merespons tantangan zaman dan diwujudkan dalam bentuk pendirian
sebuah “organisasi”−di lingkungan Muhammadiyah lebih di kenal dengan istilah
“persyarikatan”−adalah ciri khas model gerakan pembaruan keagamaan di Indonesia
(Abdullah, 1995: 7).
Film Sang Pencerah karya Hanung
Bramantyo secara sederhana menggambarkan corak gerakan dakwah yang dilakukan
persyarikatan Muhammadiyah. Substansi gerakannya jelas. Ia ingin membersihkan
praktik keagamaan dari unsur lain yang kerap menggeser kemurnian ajaran dari
sumber utamanya Al-Qur’an, dan As-Sunnah. Misalnya, setting ketika Ahmad
Dahlan muda mendobrak tradisi dan meluruskan arah kiblat yang telah lama
melekat dalam praktik keagamaan masyarakat kampung Kauman Yogyakarta. Meski
sedikit mengundang kesan telah mengungkap luka lama yang pernah melilit
hubungan intern umat Islam, film itu tetap menjadi representasi gerakan dakwah
yang diperankan para pendahulu organisasi Muhammadiyah.
Hingga saat ini, corak gerakan dakwah itu tetap
tidak berubah. Benang merahnya terlihat jelas. Orientasi dakwah Muhammadiyah
merupakan implementasi gerakan pembaruan dalam pengertian pemurnian (purification)
ajaran Islam. Oleh karena itu organisasi ini kemudian dikategorikan sebagai
wujud formal gerakan pembaruan yang mulai muncul dengan masuknya abad ke -20
(Muhtadi, 2012: 45).
Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya,
maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.
Bagaimana doktrin dakwah Muhammadiyah?
2.
Bagaimana ciri gerakan dakwah Muhammadiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
Muhammadiyah
sebagai gerakan dan dakwah, sudah menjadi pemahaman umum di kalangan
masyarakat, baik di dalam atau di luar Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri pun
menyadarinya, bahwa predikat tersebut bukanlah merupakan asumsi yang salah. Sebab
motif utama pendirian Muhammadiyah –oleh para pendirinya, yang dipelopori oleh
KHA Dahlan−adalah untuk menjadi instrumen penting untuk pelaksanaan dakwah
islamiyah secara menyeluruh. Namun apa yang dilakukan dengan dakwah
Muhammadiyah bukan dakwah dalam arti sempit. Gerakan dakwah yang dilakukan
bersifat multi wajah, sebagaimana halnya Islam yang mengatur berbagai aspek
kehidupan manusia
A. Doktrin Dakwah
Muhammadiyah
Membahas doktrin berarti membahas tentang
normativitas sesuatu. Secara tekstual, dakwah sering diartikan dengan mana:
“mengajak” dengan beberapa derivasi maknanya. Bagi Muhammadiyah, dakwah itu
memerlukan sarana dan prasarana. Andaikata dakwah itu dimaknai sebagaimana
dalam QS/16:125,
ادْعُ
إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ
ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
"Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk".
maka QS. Ali Imran/3:104 dapat dimaknai bahwa
“dakwah” adalah serangkaian kegiatan manajerial “pengislaman” yang dikerjakan
secara sistemik, dengan serangkaian perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
dan pengawasan yang matang dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dakwah sebagai salah satu komponen penting dari
tindakan manusia sebagai khalifah haruslah dikemas sedemikian rupa sehingga
dapat menawarkan sesuatu yang berarti bagi umat manusia dalam rnagka menjadikan
dirinya sebagai hamba dan khalifah Allah secara ideal. Idealitas tersebut bisa
dijelaskan dengan beberapa ayat al-Qur’an yang secara eksplisit maupun implisit
menawarkan gagasan ideal tentang: input, proses, dan output yang
diharapkan Allah dalam wilayah personal, interpersonal dan sosial, karenanya,
proses dakwah di muhammadiyah merupakan serangkaian aktivitas manusia yang
diorganisasikan dalam berbagai sektor sehingga melahirkan sebuah gerakan nyata
dan dirasakan oleh masyarakat luas.
Dalam wilayah personal, Allah memperkenalkan
gagasan “taqwa”, yang ketika sifat itu melekat pada pribadi-pribadi
manusia, maka akan lahirlah hamba-hamba dan khalifah-khalifah ideal; dalam
wilayah interpersonal Allah menawarkan gagasan “ukhuwwah”, yang ketika
sikap itu dimiki oleh setiap orang dalam relasi interpersonalnya, maka akan
lahir hubungan interpersonal yang ideal; dalam wilayah sosial Allah menjelaskan
gagasan “ummatan wahidah”, sebagai produk ideal dari kesadaran untuk
bertakwa pada diri manusia dan berukhuwwah pada diri manusia dalam
relasi interpersonalnya.
Kesalehan personal (ketakwaan) dalam
Muhammadiyah harus dibuktikan denga keshalehan sosial. Hal inilah yang
mendasari sebelum berdirinya pimpinan Muhammadiyah di tingkat bawah (seperti
Cabang dan Ranting) disyaratkan sebelumnya harus memilki mal sosial, baik itu
majlis ta’lim, sekolah, panti asuhan, tempat kesehatan dan lain sebagainya.
Dengan demikian adapula yang disebut doktrin tauhid sosial dalam Muhammadiyah.
Doktrin Tauhid Sosial
Salah
satu peran dakwah Muhammadiyah sejak awal kelahirannya tidak lepas dari
ketegasannya dalam meluruskan aqidah umat Islam yang pada saat itu banyak
tercampuri oleh ajaran budaya lain yang dianggap bagian dari Islam, dahlan
mencoba menyampaikan risalah kebenaran ajaran Islam melalui jalur pemurnian
ajaran Islam dengan mengembalikan kepada sumber otentiknya yaitu Al Qur’an dan
Sunnah.
Namun,
melewati ajaran tauhid yang bersifat personal, Muhammadiyah juga melakukan
doktrin tauhid yang bersifat sosial. Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah tidak
hanya menyadarkan umat dari aspek personal tetapi juga membangun kesadaran
tauhid sosial sebagai basis dan komitmen dakwahnya.
Di
dalam perjalanannya upaya untuk mengimplementasikan atau membumikan tauhid sosial
didukung oleh empat doktrin lainnya yang juga hidup di kalangan warga Muhammadiyah. Empat doktrin tersebut
adalah:
1.
Doktrin Pencerahan Umat
Para tokoh Muhammadiyah pendahulu tidak pernah
bosan meningatkan masyarakat Islam Indonesisa bahwa ilmu pengetahuan aadalah
barnag kaum muslimin yang hilang yang harus direbut kembali. Itulah sebabnya,
pada tahap awal pertumbuhannya Muhammadiyah tidak langsung membangun
kongsi-kongsi dagang tetapi membangun sekolah sebanyak mungkin. Pertimbangannya
jelas yakni kebodohan telah menjadi musuh terbesar umat Islam dan mustahil
dapat membangun masa depan yang lebih baik bilamana kebodohan dan keterbelakangan
tetap saja melekat lengket dalam kehidupan mereka.
Lewat doktrin enlightment bagi umat
Islam Muhammadiyah merintis sekolah umum sebanyak-banyaknya. Bagi Muhammadiyah,
kitab kuning dan kitab putih sama pentingnya. Anjuran tokoh-tokoh Muhammadiyah
agar ZIS (Zakat, Infaq dan Shadaqah) tidak saja disalurkan ke mesjid, tetapi
kalau perlu lebih banyak lagi yang disalurkan ke lembaga-lembaga pendidikan.
Alasannya, yakni umat Islam yang banyak memadati masjid tidak akan pernah dapat
berangkat jauh bila mereka tetap terbelenggu dalam kebodohan dan
keterbelakangan.
2.
Doktrin Menggembirakan Amal Salih
Doktrin “iman tanpa amal salih” bagaikan “pohon
tanpa buah” sangat dipegang oleh seluruh warga Muhammadiyah. Dalam benak warga
Muhammadiyah, fungsi organisasi antara lain adalah untuk memobilisasi atau
dalam bahasa Muhammadiyah untuk menggembirakan amal salih kolektif
Dilihat dari perspektif ini, lahirnya
muhammadiyah merupakan terobosan besar. Sebelum muhammadiyah lahir, umat Islam
sudah terbiasa menggerakkan amal salih dalam berbagai bidang kehidupan, akan
tetapi hanaya bersifat kecil-kecilan di atas inisiatif individual belaka.
Setelah Muhammadiyah lahir, kemampuan dan semangat beramal dari berbagai
individu muslim dipadukan lewat sebuah organisasi.
3.
Doktrin kerjasama untuk kebajikan
“Bekerjasamalah dalam kebaikan dan taqwa dan
jangan bekerjasama dalam dosa dan permusuhan” (QS. Al-Maidah/5:2).
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَان ...
Ayat tersebut telah
dijadikan doktrin dalam perjuangan Muhammadiyah. Sebagai organisasi dakwah yang
berusaha mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk menegakkan kebajikan dan
mencegah kemungkaran, Muhammadiyah menghimbau para muballighin dan
muballighat-nya untuk selalu dapat bekerjasama dengan semua pihak demi
tercapainya tujuan baik bersama. Di kalangan para da’i Muhammadiyah ada semacam
slogan hanya dengan iblis Muhammadiyah tidak dapat bekerjasama.
4.
Doktrin
tidak berpolitik praktis
Dalam mencapai cita-cita perjuangannya untuk
membangun masyarakat yang diridhoi Allah Swt., Muhammadiyah menghindari kegiatan
politik praktis. Hal ini dikarenakan Muhammadiyah dalam membangun masyarakatnya
bersifat jangka panjang. Muhammadiyah tidak ingin mengambil short-cut
atau jalan pintas politik dengan membangun kekuasaan dan berambisi ikut berebut
kekuasaan dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada.
Logika Muhammadiyah adalah dengan membina
masyarakat lewat siraman nilai-nilai Islam,
Muhammadiyah berarti telah ikut mempersiapkan manusia-manusia yang
berakhlak, memegang nilai-nilai dan norma-norma moral secara kuat, sehingga
tatkala manusia-manusia tersebut masuk ke gelanggang politik praktis, mereka
tidak akan menjadi homo politikus yang mengejar kekuasaan demi kekuasaan semata
(Tabroni, 2012: 230-233).
B. Ciri
Gerakan Dakwah Muhammadiyah
Dakwah Muhammadiyah tidak semata persoalan
spiritual, tetapi juga sosial. Dakwah tidak dipahami sebagai tabligh, tetapi
gerakan massif pada berbagai aspek kehidupan manusia. Muhammadiyah
menyeimbangkan dakwah yang sifatnya spiritualitas dengan amal sosial sebagai
gerakan nyata sebagai jawaban atas problem umat di berbagai levelnya.
Oleh
karena, muhammadiyah memahami kata “dakwah” bukan sekadar melaksanakan kegiatan
pengislaman dalam arti formal. Lebih jauh dari itu, dakwah bagi Muhammadiyah
diartikan sebagai upaya penyeluruh untuk menumbuhkembangkan kondisi ideal dalam
takaran “Islam”. Sehingga rumusan tujuan Muhammadiyah selalu mengarah pada
“pengislaman” dalam arti yang sebenar-benarnya (Islam dalam pengertian
esensialnya).
Ciri-ciri perjuangan Muhammdiyah itu adalah
sebagai berikut:
1.
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam
Persyarikatan Muhammadiyah dibangun oleh KH
Ahmad Dahlan sebagai hasil kongkrit dari telaah dan pendalaman (tadabbur)
terhadap Alquranul Karim. Faktor inilah yang sebenarnya paling utama yang
mendorong berdirinya Muhammadiyah, sedang faktor-faktor lainnya dapat dikatakan
sebagai faktor penunjang atau faktor perangsang semata. Dengan ketelitiannya
yang sangat memadai pada setiap mengkaji ayat-ayat Alquran, khususnya ketika
menelaah surat Ali Imran, ayat:104, maka akhirnya dilahirkan amalan kongkret,
yaitu lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah. Kajian serupa ini telah dikembangkan
sehingga dari hasil kajian ayat-ayat tersebut oleh KHR Hadjid dinamakan “Ajaran
KH Ahmad Dahlan dengan kelompok 17, kelompok ayat-ayat Alquran”, yang didalammya
tergambar secara jelas asal-usul ruh, jiwa, nafas, semangat Muhammadiyah dalam
pengabdiannya kepada Allah SWT.
Kelahiran
Muhammadiyah itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi, dan disemangati oleh
ajaran-ajaran Al-Qur’an karena itu pula seluruh gerakannya tidak ada motif lain
kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam. Segala
yang dilakukan Muhammadiyah, baik dalam bidang pendidikan dan pengajaran,
kemasyarakatan, kerumahtanggaan, perekonomian, dan sebagainya tidak dapat
dilepaskan dari usaha untuk mewujudkan dan melaksankan ajaran Islam. Tegasnya
gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud
yang riil, kongkret, dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan, dan dinikmati
oleh umat sebagai rahmatan lil’alamin.
2.
Muhammadiyah Adalah Gerakan Dakwah Islam Amar
Ma’ruf Nahi Munkar
Ciri kedua dari gerakan Muhammadiyah dikenal
sebagai gerakan dakwah Islamiyah. Ciri yang kedua ini muncul sejak dari
kelahirannya dan tetap melekat tidak terpisahkan dalam jati diri Muahammadiyah.
Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian sebelumnya bahwa faktor utama yang
mendorong berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah berasal dari pendalaman KHA
Dahlan terdapat ayat-ayat Alquran Alkarim, terutama sekali surat Ali Imran, Ayat:104.
Berdasarkan Surat Ali Imran, ayat : 104 inilah Muhammadiyah meletakkan khittah
atau strategi dasar perjuangannya, yaitu dakwah (menyeru, mengajak) Islam, amar
ma’ruf nahi munkar dengan masyarakat sebagai medan juangnya. Gerakan
Muhammadiyah berkiprah di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan
membangun berbagai ragam amal usaha yang benar-benar dapat menyentuh hajat
orang banyak seperti berbagai ragam lembaga pendidikan sejak taman kanak-kanak
hingga perguruan tinggi, membangun sekian banyak rumah sakit, panti-panti
asuhan dan sebagainya. Semua amal usaha Muhammadiyah seperti itu tidak lain
merupakan suatu manifestasi dakwah islamiyah. Semua amal usaha diadakan dengan
niat dan tujuan tunggal, yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah Islamiyah.
3. Muhammadiyah Adalah Gerakan
Tajdid
Ciri ke
tiga yang melekat pada Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai Gerakan Tajdid
atau Gerakan Reformasi. Muhammadiyah sejak semula menempatkan diri sebagai
salah satu organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran Agama Islam
sebagaimana yang tercantum dalam Alquran dan Assunah, sekaligus membersihkan
berbagai amalan umat yang terang-trangan menyimpang dari ajaran Islam, baik
berupa khurafat, syirik, maupun bid’ah lewat gerakan dakwah. Muhammadiyah sebagai
salah satu mata rantai dari gerakan tajdid yang diawali oleh ulama besar Ibnu
Taimiyah sudah barang tentu ada kesamaaan nafas, yaitu memerangi secara total
berbagai penyimpangan ajaran Islam seperti syirik, khurafat, bid’ah dan tajdid,
sebab semua itu merupakan benalu yang dapat merusak akidah dan ibadah
seseorang. Pemurnian tauhid dan ibadah tersebut, seperti:
ü Meniadakan
kebiasaan menujuhbulani (Jawa: tingkeban), yaitu selamatan bagi orang yang
hamil pertama kali memasuki bulan ke tujuh. Kebiasaan ini merupakan peninggalan
dari adat-istiadat Jawa kuno, biasanya diadakan dengan membuat rujak dari
kelapa muda yang belum berdaging yang dikenal dengan nama cengkir dicampur
dengan berbagai bahan lain, seperti buah delima, buah jeruk, dan lain-lain.
Masing-masing daerah berbeda-beda cara dan macam upacara tujuh bulanan ini,
tetapi pada dasarnya berjiwa sama, yaitu dengan maksud mendoakan bagi
keselamatan calon bayi yang masih berada dalam kandungan itu.
ü Menghilangkan
tradisi keagamaan yang tumbuh dari kepercayaan Islam sendiri, seperti selamatan
untuk menghormati Syekh Abdul Qadir Jaelani, Syekh Saman, dll yang dikenal
dengan manakiban. Selain itu, terdapat pula kebiasaan membaca barzanji, yaitu
suatu karya puisi serta syair-syair yang mengandung banyak pujaan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disalahartikan. Dalam acara-acara
semacam ini, Muhammadiyah menilai, ada kecenderungan yang kuat untuk
mengultusindividukan seorang wali atau nabi, sehingga hal itu dikhawatirkan
dapat merusak kemurnian tauhid. Selain itu, ada juga acara yang disebut
“khaul”, atau yang lebih populer disebut khal, yaitu memperingati hari dan
tanggal kematian seseorang setiap tahun sekali, dengan melakukan ziarah dan
penghormatan secara besar-besaran terhadap arwah orang-orang alim dengan
upacara yang berlebih-lebihan. Acara seperti ini oleh Muhammadiyah juga
dipandang dapat mengeruhkan tauhid.
ü Bacaan
surat Yasin dan bermacam-macam zikir yang hanya khusus dibaca pada malam Jumat
dan hari-hari tertentu adalah suatu bid’ah. Baginya ziarah hanya pada
waktu-waktu tertentu dan pada kuburan tertentu, ibadah yang tidak ada dasarnya
dalam agama, juga harus ditinggalkan. Yang boleh adalah ziarah kubur dengan
tujuan untuk mengingat adanya kematian pada setiap makhluk Allah.
Mendoakan
kepada orang yang masih hidup atau yang sudah mati dalam Islam sangat
dianjurkan. demikian juga berzikir dan membaca Alquran juga sangat dianjurkan
dalam Islam. Akan tetapi, jika di dalam berzikir dan membaca Alquran itu
diniatkan untuk mengirim pahala kepada orang yang sudah mati, hal itu tidak
berdasar pada ajaran agama, oleh karena itu harus ditinggalkan. Demikian juga
tahlilan dan salawatan pada hari kematian ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan
ke-1000 hari, hal itu merupakan bid’ah yang mesti ditinggalkan dari perbuatan
Islam. Selain itu, masih banyak lagi hal-hal yang ingin diusahakan oleh
Muhammadiyah dalam memurnikan tauhid[1].
Sifat
Tajdid yang dikenakan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak hanya sebatas
pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel
pada tubuhnya, melainkan juga termasuk upaya Muhammadiyah melakukan berbagai
pembaharuan cara-cara pelaksanaan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, semacam
memperbaharui cara penyelenggaraan pendidikan, cara penyantunan terhadap fakir
miskin dan anak yatim, cara pengelolaan zakat fitrah dan zakat harta benda,
cara pengelolaan rumah sakit, pelaksanaan sholat Id dan pelaksanaan kurban dan
sebagainya.
Untuk
membedakan antara keduanya maka tajdid dalam pengertian pemurnian dapat disebut
purifikasi (purification) dan tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi
(reformation). Dalam hubungan dengan salah satu ciri Muhammadiyah sebagai
gerakan tajdid, maka Muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai Gerakan Purifikasi
dan Gerakan Reformasi[2].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah tidak
hanya menyadarkan umat dari aspek personal tetapi juga membangun kesadaran
tauhid sosial sebagai basis dan komitmen dakwahnya. Di dalam perjalanannya
upaya untuk mengimplementasikan atau membumikan tauhid sosial didukung oleh
empat doktrin lainnya yang juga hidup di kalangan warga Muhammadiyah. Empat doktrin tersebut
adalah doktrin pencerahan umat, doktrin menggembirakan amal salih, doktrin
kerjasama untuk kebajikan, doktrin tidak berpolitik praktis.
Dakwah Muhammadiyah tidak semata persoalan
spiritual, tetapi juga sosial. Dakwah tidak dipahami sebagai tabligh, tetapi
gerakan massif pada berbagai aspek kehidupan manusia. Muhammadiyah
menyeimbangkan dakwah yang sifatnya spiritualitas dengan amal sosial sebgaai
gerakan nyata sebagai jawaban atas problem umat di berbagai levelnya. Ciri-ciri perjuangan dalam dakwah Muhammdiyah
itu adalah muhammadiyah sebagai gerakan islam, muhammadiyah
adalah gerakan dakwah islam amar ma’ruf nahi munkar, muhammadiyah adalah gerakan tajdid.
DAFTAR REFERENSI
Abdullah,
M. Amin. 1995. Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru
(Pendekatan “Teologis” Dalam Memahami Muhammadiyah. Bandung: Mizan
Muhtadi,
Asep S. 2012. Meretas Jalan Dakwah: Benang Merah Gerakan Ormas Islam (Dakwah
dan Gerakan Pembaruan Muhammadiyah). Bandung: MUI Kota Bandung.
Sya'bi, Akhmad. 1997. Kamus An-Nur. Surabaya :
Halim.
Tabroni,
Roni. 2012. Meretas Jalan Dakwah: Benang Merah Gerakan Ormas Islam
(Revitalisasi Gerakan Dakwah Muhammadiyah). Bandung: MUI Kota Bandung.
jsnurul.wordpress.com.
mantaps mbk pink, ijin meresume ya buat tugas, thanks.
ReplyDeletehttp://totaltren.blogspot.com/2014/10/makalah-pendidikan-agama-1.html
Yeup sama2... Semoga bermanfaat :)
ReplyDelete